RENCANA Kemendikbud mengubah
kurikulum membuat masyarakat menunggu dengan harap-harap cemas. Wajar saja
sikap seperti itu muncul karena masyarakat ingin segera mengetahui perubahan
kurikulum seperti apa yang akan dilakukan Kemendikbud.
Saat Kemendikbud masih dalam
proses mematangkan rancangan perubahan kurikulum itu, muncul artikel berjudul
‘Kuda Mati Bernama Ujian Nasional’ yang ditulis Kreshna Aditya dan dimuat
harian Media Indonesia pada Senin, 15 Oktober 2012.
Artikel itu, antara lain,
menyatakan mengubah kurikulum merupakan niatan perubahan yang baik. Namun,
perubahan kurikulum sebaik apa pun akan percuma apabila di ujungnya tetap
diletakkan proses evaluasi yang hanya menguji kognitif rendah dan diposisikan
bersifat high-stake bagi pelaku pendidikan (siswa, guru, dan sekolah).
Proses persekolahan tetap akan
bersifat teaching to-the-test. Tanpa reposisi ujian nasional, kurikulum sebaik
apa pun pada tataran kebijakan hanya akan berubah menjadi kurikulum berbasis
ujian nasional pada penerapan di lapangan.
Bak pantun berbalas, artikel itu
langsung mendapat tanggapan dari Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi dan
Media Sdr Sukemi, lewat artikelnya yang berjudul ‘Mitos Keliru tentang UN’ dan
dimuat di Media Indonesia, 23 Oktober 2012. Sukemi menyatakan sedikitnya ada
sembilan mitos keliru tentang UN yang berkembang di publik. Sembilan hal yang dianggap
mitos itu diuraikan dalam artikelnya.
Polemik antara Kreshna Aditya dan
Sukemi terjadi karena keduanya berpijak pada dua hal yang berbeda. Di satu
sisi, Sukemi lebih berpijak pada hal-hal yang diharapkan bisa didapat dan
diukur dari pelaksanaan UN. Sifatnya teoretis yang bertujuan dibuat dan dipertahankan
demi kebijakan tentang UN. Di sisi yang lain, Kreshna Aditya mengemukakan apa
yang sesungguhnya terjadi selama kebijakan UN diberlakukan. Ia menyatakan
penerapan UN dan yang terjadi di lapangan ternyata melenceng jauh dari apa yang
sesungguhnya diharapkan ketika rancangan UN itu dibuat.
Soal pentingnya reposisi UN
(bukan menghapus UN) yang dikemukakan Kreshna Aditya, itu perlu lebih didalami
lewat sebuah pertanyaan berikut, “Reposisi UN seperti apa yang harus dilakukan
agar penerapan UN dan praktik di lapangan sesudah reposisi itu tidak
menimbulkan masalah lagi?“ Berbagai alternatif model reposisi UN perlu dicari.
Alternatifalternatif itu seyogianya diusulkan kalangan masyarakat yang masih
punya kepedulian tinggi untuk perbaikan pendidikan Indonesia. Peran serta
masyarakat dalam hal ini mutlak harus digalang agar ke depan kualitas
pendidikan Indonesia lebih terjaga. Menjadi tugas dan kewenangan Kemendikbud
untuk memilih alternatif terbaik atau memadu padankan berbagai alternatif yang
diusulkan itu sehingga pada akhirnya reposisi UN bisa dilaksanakan tanpa
menimbulkan masalah lagi.
Dalam menanggapi tulisan Kreshna
Aditya, argumentasiargumentasi yang dikemukakan Sukemi dari sudut pandang
pendidikan dan kenyataan di lapangan justru memunculkan banyak pertanyaan.
Berbagai pertanyaan itu perlu saya ke mukakan di tulisan ini agar bisa
digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan ketika kita menyodorkan
alternatif model reposisi UN.
Pertama, yang dikemukakan Sdr
Sukemi soal `mitos UN selalu bocor dan penuh kecurangan'. Sederet pertanyaan
berikut bisa kita ajukan. Jika hal itu memang mitos, mengapa Kemendikbud sampai
harus mengumumkan daerah yang dianggap paling jujur dalam pelaksanaan UN?
Mengapa Kemendikbud sampai harus memperbanyak varian soal UN, dari 1 varian
menjadi 2, kemudian jadi 5, dan mulai UN 2013 menjadi 20 varian? Mengapa Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) beberapa kali melakukan UN ulang di berbagai
daerah? Tiga pertanyaan itu saja (masih banyak pertanyaan lain yang bisa
diajukan) jelas menunjukkan UN selalu bocor dan penuh kecurangan bukanlah
mitos.
Kedua, soal `mitos tentang UN
adalah termometer yang rusak'. Sukemi menyatakan UN bukan termometer, bukan
pula barometer, melainkan multimeter. Alasannya, yang hendak diukur UN mencakup
sejumlah aspek yang melekat pada peserta didik, tenaga pendidik dan
kependidikan, satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode pengajaran,
serta sarana dan prasarana. Pertanyaannya, bisa difungsikan sehebat itukah UN
yang hanya berlangsung beberapa hari? Mengapa hasil pengukuran-pengukuran yang
dilakukan lewat UN selama ini tidak pernah diumumkan? Andai benar yang
dikatakan Sukemi bahwa UN adalah multimeter, jelas UN adalah multimeter rusak
sehingga tidak pernah bisa menunjukkan hasil pengukurannya.
Ketiga, soal ‘mitos UN meneror
murid, guru, dan orangtua’. Terhadap hal itu, Sukemi menyatakan UN bagian dari
proses pendidikan dengan tujuan, antara lain, memetakan kualitas peserta didik,
tenaga pendidik dan kependidikan, serta satuan pendidikan dan kebijakan
pendidikan. Pertanyaannya, jika UN dimaksudkan untuk memetakan kualitas tenaga
pendidik dan kependidikan, mengapa masih harus diadakan uji kompetensi guru
(UKG)? Yang perlu saya garis bawahi, setelah UKG dilaksanakan, kejanggalan
dunia pendidikan justru semakin tampak. Coba kita bandingkan hasil UN dan hasil
UKG. Selama ini tingkat kelulusan dalam UN selalu hampir 100%. Namun, skor
rata-rata UKG di bawah 40 alias jeblok. Pertanyaannya, bagaimana mungkin
guru-guru yang kualitasnya (berdasar hasil UKG) memprihatinkan bisa
mengantarkan hampir semua siswa lulus UN yang katanya berfungsi sebagai
multimeter, tidak bocor, dan tidak curang? Berdasar hasil UN dan UKG yang
bertolak belakang itu, patut diduga minimal satu di antaranya tidak va lid atau
bahkan keduanya samasama tidak valid.
Keempat, soal ‘mitos keliru yang
menyatakan bahwa UN hanya menguji kemampuan kognisi siswa’. Ia memulai
argumentasinya dengan suatu pertanyaan, “Apakah setiap jawaban berganda itu
berlandaskan kekuatan hafalan belaka?” Pertanyaan yang dikemukakan itu terkesan
membelokkan persoalan dari kualitas soal yang diujikan menjadi model soal
ujian.
Masalah utama pada format tes
multiple choice ialah jawaban benar belum tentu karena siswa paham, tetapi bisa
juga karena menebak. Bahkan, tanpa membaca soal pun, hanya dengan memilih salah
satu huruf yang jadi pilihan di lembar jawaban, siswa bisa memperoleh jawaban
benar. Sukemi juga memberi pernyataan berikut, “Ujian dengan jawaban pilihan
berganda itu juga bisa dipakai untuk mengukur kemahiran analisis dan kemampuan
sintesis. Pendekatan itu pula yang ditempuh dalam UN, ada soal untuk mengukur
kekuatan hafalan, ada soal menguji kemahiran analisis, dan ada pula soal untuk
mengetahui kemampuan sintesis.“
Yang ingin saya ingatkan, jika
benar ada soal UN untuk menguji kemahiran analisis, dapat dipastikan itu hanya
menguji analisis tingkat rendah. Analisis tingkat menengah dan tinggi hanya
mungkin jika jumlah soalnya 2 sampai 5 untuk waktu ujian 150 menit. Tidak untuk
jumlah soal 40! Apalagi untuk soal sintesis. Untuk satu soal, butuh waktu
penyelesaian sekitar 120-150 menit. Sintesis merupakan proses reanalisis
berulang. Yang dikembangkan yaitu kreativitas, sedangkan jawaban yang sudah
disediakan justru menjauhkan atau bahkan membunuh kreativitas.
Kelima, judul yang dipakai Sukemi
untuk tulisannya tanpa ia sadari sesungguhnya telah membenarkan masalah-masalah
yang muncul berkaitan dengan UN, yang selama ini telah berkembang di publik.
Judul tulisannya adalah `Mitos Keliru tentang UN'. Mitos ialah sesuatu yang
tidak berdasar fakta. Maka, `Mitos Keliru tentang UN' dapat diartikan atau
dapat ditulis dalam bentuk lain menjadi `Fakta tentang UN'.
Tentu saya mengerti apa yang
sesungguhnya dimaksudkan Sukemi dalam tulisannya. Ia bermaksud menunjukkan apa
yang selama ini berkembang di masyarakat itu sesungguhnya tidak benar, hanya
mitos. Namun, judul yang ia tulis itu, jika kita hanya fokus pada arti yang
sebenarnya dari judul tersebut, malah menyatakan kebalikan dari yang ia
maksudkan. Apa yang saya kemukakan tentang judul tulisannya Sukemi tergolong
sebagai `perdebatan semantik'. Mengapa itu saya anggap perlu untuk dikemukakan?
Karena hal itu pula yang dilakukan Sukemi ketika membahas soal amar putusan MA
berkaitan dengan UN. Ia menyatakan, “Dalam amar putusan MA, tidak ada satu kata
pun yang menyatakan penghentian pelaksanaan UN.“ Ia hanya berkilah dengan apa
yang tersurat dan tidak mau tahu dengan apa yang tersirat, abai terhadap jiwa
dari amar putusan. Itu pula yang selama ini dilakukan Kemendikbud soal amar
putusan MA mengenai UN, hanya perdebatan semantik!
Artikel yang ditulis Sdr Sukemi
itu justru menunjukkan logika yang jungkir balik. Apa yang ia nyatakan sebagai
mitos, itulah kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Ia justru telah memunculkan
mitos dengan argumen-argumennya. Jika logika model begini yang dipakai dan
dijadikan pembenar untuk terus mempertahankan kebijakan yang seharusnya
dikoreksi, niscaya pendidikan kita akan semakin terpuruk. Sudah lama pendidikan
negeri ini menunjukkan wajah buramnya. Akibatnya, keindonesiaan kita semakin
jauh dari yang seharusnya. Sangat bijaksana jika Kemendikbud dan pemerintah
bisa bersikap terbuka dan jujur.
Sulistyanto
Soeyoso ;
Anggota
Dewan Pendidikan Jawa Timur
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi