Siapakah kiranya yang mesti
disalahkan jika salah satu makna kebebasan celakanya termasuk mengambil
kebebasan orang lain, atas nama apa pun, secara ideologis bisa begitu benar
bagi mereka yang mempercayainya? Dalam kasus penulisan, penulisnya dapat begitu
canggih dalam kiat-kiat penulisan, sehingga dapat melakukan manipulasi
kata-kata untuk membuat pembaca percaya akan setiap gagasan ideologis di
dalamnya. Dalam hal ini mungkin dapat dikatakan bahwa penulis merampas
kebebasan pembaca untuk bersikap kritis, dan membiarkannya tersesat dalam
konstruksi kata-kata penulis.
Bagaimana
jika ini berlangsung dalam konteks media baru?
Tanpa konteks media baru pun,
dalam kuasa tulisan semacam itu, seperti dalam propaganda politik yang sukses
atau teks iklan yang cerdik, makna kuasa bukanlah membebaskan melainkan
melakukan manipulasi. Sebab, meski jika khalayak merasa terbebaskan, tulisan
itu sendiri tidak memberi kesempatan kepada pembaca untuk berpikir dari atau
dengan gagasan mereka sendiri. Masalahnya, kebebasan itu sendiri memang
bukanlah kebebasan jika dapat diberikan, karena ruang kebebasan sebaliknya
justru harus selalu diperjuangkan. Kebebasan yang dihadiahkan hanyalah setara
suaka margasatwa.
Ini berarti tidak keliru juga
dikatakan bahwa, jika seorang pembaca terdominasi suatu wacana tekstual,
tidaklah hal ini harus ditafsirkan sebagai tindakan pasif, karena apa yang
berlangsung tentu sebaliknya: ketika pembaca menyukai gagasan dari apa yang
dibacanya, hal itu selalu didasari sudut pandang mereka sendiri, bukan sudut
pandang penulisnya.
Namun terdapat juga jenis
penulisan yang memberi pembaca ruang lebih luas untuk berpikir, bukan hanya
untuk bersetuju dengan persepsi masing-masing, tetapi juga untuk menggugat yang
dibacanya. Dalam kasus ini, pembacanya harus berpartisipasi lebih, bukan hanya
untuk menikmati serta bersetuju atau tidak setuju, tetapi juga melakukan
rekonstruksi atas setiap unsur pemikiran dalam tulisan, karena peluang tersebut
diberikan oleh tulisan itu sendiri, dan itulah suatu jenis penulisan yang
memberi jalan bagi pembaca untuk menulis konstruksi kata-katanya sendiri di
dalam kepala. Inilah jenis penulisan tempat kuasa muncul bukan dari penulis,
melainkan dari pembaca.
Mungkin saja ini terdengar
seperti gagasan teks "readerly" dan "writerly" sebagaimana
teori Barthes, tetapi perbincangan ini hanya ingin menunjukkan bahwa yang
pertama lebih dominan daripada yang belakangan, dan dalam kenyataannya yang
disebut kelompok terbawahkan (kadang disebut-meski tidak
selalu-"tertindas") hanya bisa merasa tercerahkan, dan secara efektif
mendapatkan harapan, dari jenis penulisan ini. Membicarakannya pada hari dan
zaman kini, tak dapat tidak dipertimbangkan bahwa eksistensi medium klasikal
bagi kata-kata tertulis seperti media cetak, termasuk buku, sekarang telah,
atau akan-setidaknya berkemungkinan--menjadi inferior terhadap media baru
dengan segala kepentingan politik maupun bisnis di baliknya, yang atas nama
kata-kata ekonomis, apa pun yang tertulis semakin diabdikan terutama kepada
fungsi sahaja.
Pergulatan
Antarmedia
Dengan kata lain, konstelasi baru
media dapat mengubah cara kata-kata tertulis, jika bukan karena perubahan
teknis yang dituntut oleh mediumnya, bisa juga karena perkembangan mutakhir ini
ujung-ujungnya berdampak kepada bagaimana kata-kata harus ditulis dalam media
cetak. Kenapa tidak, jika bahkan naratif media visual pun berdampak pada
estetika susastra? Saya hanya bisa merasa optimistis bahwa, ketika media cetak
akan mendapat jalan dalam penyelamatannya, sama seperti radio dan film setelah
munculnya televisi, penulisan itu akan menyesuaikan diri dan menghadirkan
kembali gagasan-gagasan secara proporsional seperti kemungkinan-kemungkinan
yang diberikan medium lainnya.
Adapun yang akan menjadi masalah
adalah fakta bahwa, dalam beberapa hal, kata-kata tertulis di media baru adalah
eksistensi atau kepanjangan dari kebudayaan lisan, alias suatu keberlisanan
kedua-sedangkan sifat keberaksaraan sebagai keberlisanan kedua disebut
menumpulkan, dibandingkan dengan keberaksaraan yang mencerdaskan. Namun, saya
pikir, sejarahnya yang masih pendek menunjukkan bahwa media baru terbukti
sangat efektif sebagai media subversif, sebagaimana telah sangat
dimungkinkannya-dan fakta ini, ketika terlalu banyak kemapanan cenderung korup,
bagi saya sungguh melegakan.
Meskipun begitu, saya jauh lebih
merasa lega ketika, dalam diskusi bersama para juri Anugerah Adiwarta pada
Ramadan lalu, para wartawan media baru, baik yang bermigrasi dari media cetak
seperti Nezar Patria maupun Heru Margiyanto yang dilahirkan media baru tersebut,
mengakui bahwa sebuah kode etik bukan hanya diperlukan, melainkan harus segera
disusun dengan segala penyesuaian terhadap karakter medianya, untuk menghindari
jurnalisme anarkistis.
Betapapun, memang harus jelas dan
tegas siapa wartawan siapa bukan, untuk menghargai apa itu profesionalisme.
Seno
Gumira Ajidarma ;
Wartawan
KORAN
TEMPO, 23 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi