Pemerintah sudah kali kesembilan
mengubah kurikulum sejak Indonesia merdeka. Tersingkat, kurikulum 2004 atau
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang hanya berumur dua tahun. Pada 2006, KBK berubah menjadi kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Bila kita cermati, tidak ada
perubahan mendasar, kecuali penambahan jumlah mata pelajaran (mapel), bukan
pengembangan kualitas isi, dan penambahan jam belajar menjadi pokok bahasan
(SM, 07/11/12). Dalam pandangan penulis, terkait dengan pengembangan kurikulum,
rasanya kurang tepat kalau hanya mengejar kuantitas (jumlah jam pelajaran).
Pemerintah pasti melibatkan pakar
ekonomi, sosial, psikologi, iptek, dan sebagainya dalam penyusunan kurikulum
kendati pada tahap akhir lebih banyak melibatkan peran pakar pendidikan
profesional. Program kurikulum haruslah menyajikan program yang memungkinkan
terjadinya transformasi sosial. Jika
tidak tanggap maka kita akan hanyut ditelan gelombang globalisasi.
Dewasa ini masyarakat dunia sudah
melebur dalam satu komunitas, yang dalam bahasa Prof Tilaar disebut global
village. Berkait dengan realitas tersebut penyusunan kurikulum harus membuka
diri dari berbagai kekuatan luar. Kurikulum juga harus peka terhadap perubahan
sosial agar tidak tertinggal.
Angka pengangguran yang masih
tinggi, pemujaan kepada ijazah formal, pemalsuan ijazah dan berbagai gejala
negatif yang lain menjadi indikator kegagalan kurikulum forma. Realitasnya,
kurikulum yang sekarang diterapkan belum sesuai dengan perubahan sosial di
masyarakat, apalagi bila dikaitkan dengan kepesatan perubahan global.
Melihat kondisi itu, terasa cocok
menerapkan kurikulum pendidikan multikultural kepada masyarakat Indonesia yang
majemuk. Terlebih dewasa ini pemaknaan budaya kerap direduksi menjadi hanya
sebatas kesenian berikut adat-istiadat dengan berbagai benda tradisionalnya.
Padahal kebudayaan yang multi tersebut juga menyangkut cara berpikir,
pengetahuan, pandangan hidup, pranata, dan nilai-nilai.
Jika pemerintah ingin mewujudkan
pendidikan yang manusiawi berarti harus siap menghadapi keberagaman. Mengaitkan
dengan tujuan itu, berarti perlu menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan
kondisi masyarakat dan lingkungan secara nyata. Cara itu bisa ditempuh lewat
pendekatan multikultural yang menekankan pada pengembangan kesadaran dan
pengalaman dalam kehidupan sosial senyatanya.
Pribadi
Tangguh
Jawa Tengah memiliki banyak
potensi dan keunggulan, baik sumber daya alam maupun hasil kerajinan khas, dan
beberapa sudah memasuki pasar global. Kenyataan ini seharusnya menjadi perhatian pakar pendidikan
karena bila sistem pendidikan menganut asas desentralisasi maka selayaknya
potensi dan keunggulan daerah itu harus bisa menjadi bagian dari kurikulum.
Hal ini mengingat anak didik
nantinya terjun ke masyarakat dengan segala permasalahan, sehingga harus
memiliki bekal yang memadai dari sekolah supaya bisa menjadi pribadi yang
tangguh, mandiri, bertanggung jawab pada kehidupan pribadi dan sosial.
Realitas di lapangan, pemerintah
masih menjejali anak didik dengan berbagai konsep dan teori tapi kurang
mengembangkan aspek keterampilan dan kecakapan hidup mereka. Dalam sistem
pendidikan yang terdesentralisasi, seyogianya pemerintah mengembangkan
keberagaman potensi di Jawa Tengah. Upaya itu supaya pada masa mendatang
peserta didik bisa merasakan manfaat potensi daerahnya.
Potensi itu semisal industri
batik, tempat wisata, makanan, kerajinan tangan dan sebagainya. Pemerintah bisa
mengembangkan keragaman potensi ini pada diri anak melalui jalur pendidikan
formal, dengan catatan terus menyesuaikan muatan kurikulum itu dengan perubahan
zaman. Pemilihan kebijakan itu bisa membuat potensi Jawa Tengah makin
berkembang di tengah global village.
Sri
Lestari ;
Mahasiswa
Program Pascasarjana Prodi IPS Universitas Negeri Semarang (Unnes), Guru SD Hj
Isriati Baiturrahman 2 Semarang
SUARA
MERDEKA, 20 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi