Sudah saatnya rapor memuat juga
uraian komprehensif indikator perkembangan sikap-sikap utama, seperti
kejujuran, tanggung jawab, disiplin, motivasi, kerja sama, dan lain-lain.
Bukankah indikator-indikator ini yang lebih dekat dengan gambaran tentang kualitas
output pendidikan?
Penerapan Kurikulum Tematik
Integratif (KTI) untuk sekolah dasar, yang diumumkan oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan M. Nuh, Sabtu dua pekan lalu, Kamis ini memasuki tahap uji
publik. Keputusan itu patut diapresiasi mengingat sedikitnya ada dua hal di
dalamnya. Pertama, perampingan muatan kurikulum dari 10 menjadi enam mata
pelajaran. Kedua, sifat integratif kurikulum yang akan dialirkan melalui
tema-tema.
Perampingan itu membuka ruang
lebih luas bagi pembangunan aspek-aspek penting perkembangan anak, yang selama
ini terdesak oleh beban target menuju berhala ujian akhir nasional. Aspek-aspek
penting itu antara lain kecerdasan ragawi, afeksi, daya nalar, social skill,
dan moral. Bagian-bagian utama pembangunan karakter itu selama ini tersisih
oleh perburuan indikator kompetensi yang sumir, yang berkutat pada kemampuan
mengerjakan soal-soal ujian.
Pembangunan karakter merupakan
proses panjang pengaktifan seluruh sendi kecerdasan anak. Di dalamnya ada
pembangunan logika sebab-akibat, termasuk menyangkut perbuatan dan tanggung
jawab. Ada latihan menarik kesimpulan dari pengalaman. Ada penanaman konsep
kebahasaan. Ada telaah tentang sudut pandang diri dan orang lain. Dan banyak
lagi.
Belajar
Sejak Bayi
Pendidikan berarti pembangunan
karakter, membangun kesiapan anak untuk mengarungi kehidupan sebagai manusia
yang utuh. Seluruh proses itu bermula dari taraf serba konkret: mendengar,
melihat, menyentuh, merasakan benda-benda di sekeliling. Proses itu dimulai
sejak anak lahir, yang oleh psikolog Swiss, Jean Piaget, diuraikan sebagai
asimilasi dan akomodasi schema. Schema adalah instrumen untuk mempelajari
sesuatu dalam interaksi dengan benda atau orang di sekitarnya. Misalnya, saat
merasakan jari sang ibu di tangannya, bayi tergerak untuk menggenggam dan
berusaha membawanya ke mulut.
Kualitas schema meningkat seiring
dengan keragaman stimulus yang dijumpai. Dari domain konkret, schema beranjak
ke ranah abstrak. Konsep abstrak tak bisa dibangun dengan benar tanpa
pembangunan konsep yang benar pada fase konkret. Pendidikan seharusnya adalah
upaya sengaja membantu transformasi itu sesuai dengan tahap-tahap perkembangan.
Membangun sikap cinta belajar dan kecakapan belajar (how to learn) lebih utama
ketimbang memburu pencapaian indikator kompetensi. Sebab, pendidikan bukanlah
upaya mencetak manusia sesuai dengan pesanan ruang-ruang kerja industri.
Dengan sifat integratifnya, KTI
dapat diharapkan melatih anak memandang suatu persoalan secara utuh dengan
kemampuan mengklasifikasi bagian-bagiannya. Ini menjadi modal dasar dalam
operasi berpikir logis-analitis. Sebagai contoh, uraian materi Tema Laut bisa
membawa anak menjelajahi pengetahuan IPS dalam klasifikasi Sub-Tema Sumber
Ekonomi Laut. Pada bagian lain, pengetahuan IPA dapat dialirkan dalam klasifikasi
Sub-Tema Binatang Laut atau Sub-Tema Air Laut. Selain cermat menyiapkan materi
tema, guru dituntut menjadi pribadi yang tak pernah lelah "belanja"
pengetahuan. Dari guru yang kaya pengetahuan, penjelajahan murid pun menjadi
kaya.
Desain
Penerapan
Bertolak dari uraian di atas,
sedikitnya empat aspek perlu segera dirumuskan menyangkut KTI. Pertama,
klasifikasi tahap pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran tak bisa lepas dari
desain kegiatan yang sesuai dengan tahap perkembangan (developmentally appropriate
practices). Klasifikasi perlu dijabarkan secara spesifik berkesinambungan
menurut tahap-tahap perkembangan anak.
Secara formal, saat ini berlaku
pemisahan fase prasekolah dari nomenklatur "pendidikan dasar".
Padahal, pada fase prasekolah dan SD, terdapat irisan periode pola belajar yang
tak bisa diingkari: anak usia 0 sampai 8 tahun memiliki pola belajar sambil
bermain. Jika pemisahan tersebut tetap berlaku, perlu sinkronisasi kebijakan
lintas jenjang satuan pendidikan, agar terjadi kesinambungan proses
pembelajaran.
Terkait dengan itu, penting
dirumuskan aspek kedua dari KTI, yakni desain strategi pembelajaran. Model
berbasis proyek bisa menjadi satu alternatif. Sebagai contoh, jika fondasi
prasekolah sampai masa transisi kuat, suasana pembelajaran seperti ini bisa
diharapkan muncul pada kelompok anak kelas IV SD: guru membuka pembahasan
interaktif materi tema yang relevan dengan mata pelajaran. Setelah itu, anak
mengerjakan empat sampai lima proyek dengan pendampingan guru. Proyek bisa
berupa observasi (field trip), menggali informasi dari buku dan ensiklopedi,
membuat laporan, dan menjawab pertanyaan guru. Setelah itu, kelas melakukan
recalling atas proses selama jam belajar.
Aspek ketiga adalah sumber
pembelajaran. Janji buku gratis dari Wakil Mendikbud Musliar Kasim, dan isyarat
penghapusan lembar kerja siswa (LKS), bisa menjadi titik awal yang baik.
Keberadaan LKS harus diakui turut menjauhkan praktek sehat dari keseharian
anak, yaitu mencatat. Mencatat, terutama yang bertumpu pada inisiatif anak dan
dengan tulisan tangan, adalah cara belajar yang efektif, karena kegiatan itu
melibatkan kerja aktif otak (part-of-mind activity).
Intinya, penyediaan sumber
pembelajaran yang berlimpah dengan mutu terjaga menjadi keharusan. Isi buku
pelajaran seyogianya mengusung faktor penggugah minat belajar dan mengindahkan
faktor kesesuaian dengan tahap perkembangan anak. Misalnya, anak kelas I SD,
yang baru menapaki fase belajar baca-tulis, membutuhkan tampilan buku dengan
porsi informasi visual lebih besar ketimbang informasi verbal.
Aspek keempat, instrumen
evaluasi, perlu segera dipertegas titik tekannya, apakah sebagai tiket naik
jenjang ataukah instrumen pemetaan dan acuan tindakan. Penegasan ini penting
guna menentukan desain evaluasi. Selain itu, perlu ditinjau kembali desain
laporan hasil belajar (rapor) yang cenderung berisi angka-angka kering nilai
mata pelajaran. Sudah saatnya rapor memuat juga uraian komprehensif indikator
perkembangan sikap-sikap utama, seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, motivasi,
kerja sama, dan lain-lain. Bukankah indikator-indikator ini yang lebih dekat
dengan gambaran tentang kualitas output pendidikan?
Yanto
Musthofa ;
Anggota
Majelis Pengurus Pusat ICMI
Bidang
Pemberdayaan Anak dan Remaja
KORAN
TEMPO, 01 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi