Indonesia saat ini menghadapi
masalah krusial dihadapkan pada masa depan toleransi yang sedang dalam keadaan
bahaya. Sebab, bibit-bibit radikalisme yang dapat mematikan toleransi itu
ternyata bisa juga bersemayam dalam diri seseorang yang kerap disebut sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa, yakni guru. Fakta ini bisa disaksikan dari hasil
survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) beberapa waktu lalu.
Lakip menyurvei 590 guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi (Jabodetabek). Hasil survei itu menyebutkan bahwa responden, guru PAI,
ada yang memberikan dukungan terhadap aksi kekerasan. Bahwa dua bahkan
mendekati tiga dari 10 responden menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang
memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu
agama. Bahkan, beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan
mengatasnamakan agama.
Fenomena ini tentu menjadi ikut
mewarnai masa depan pendidikan sekaligus iklim toleransi di negeri ini. Sebab,
apakah masih berlaku atau tidak, ada adagium yang mengatakan bahwa jika guru
kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, jika gurunya saja bisa
membenarkan aksi kekerasan dan tindakan intoleransi, bagaimana dengan muridnya.
Menurut Brenda Watson dalam
Education and Belief (1987), salah satu sebab utama berkocolnya bibit
radikalisme kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru.
Sang guru dalam memahami agama terlalu rigit dan tekstual sehingga agama hanya
mampu dicerna dari simbolnya saja, sementera substansi agama terabaikan, kalau
tidak mau dibilang tercerabut. Hal itu ditambah dengan kurangnya wawasan
kebangsaan dan toleransi yang dimiliki oleh guru.
Karena itu, sudah saatnya pada
momentum hari guru yang jatuh pada hari Senin lalu ada semacam refleksi bersama
ihwal "karakter" keberagamaan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan
kata lain, para guru khususnya guru agama dalam mengajarkan materi-materi
keagamaan harus memiliki bekal wawasan kebangsaan dan kemajemukan.
Guru harus memahami bahwa manusia
pada hakekatnya adalah makhluk individual dan komunal, suka hidup bersama,
mengelompokkan diri, saling membutuhkan, saling berelasi, dan saling
mempengaruhi. Sentimen agama dan kelompok secara berlebihan hanya akan
menimbulkan kehidupan kian retak. Dalam hal ini, Karen Armstrong (2000) pernah
mengatakan bahwa fanatisme agama secara membabi buta bisa mendatangkan
tindakan-tindakan intoleransi.
Sebab, kemajemukan, termasuk
dalam bidang keagamaan, merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Konsekuensi
dari kemajemukan itu tentu saja kebutuhan dan kewajiban untuk menerima dan
mengusahakan kerukunan dan toleransi. Masyarakat atau umat beragama yang
menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi pada dasarnya menolak atau
merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Mereka lupa bahwa kerukunan dan
toleransi merupakan kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang universal, yakni
tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan.
Karena itu, perlu juga bagi
seorang guru belajar tentang arti pentingnya multikulturalisme sebagai modal
memperkuat wawasan kebangsaan. Sebab dalam spirit multikultural mengandung
beragam prinsip penting, pertama, prinsip universalitas, yakni sebagi
unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur
kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity). Kedua, prinsip
kesetaraan (equality), sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat
kesetaraan disamping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimnana
tercermin tentang arah kemajuan harus terus ditempuh, juga agar setiap orang
seyogyanya mampu menuju keadaban yang maju, budaya dan persatuan bangsa.
Spirit inilah yang nantinya akan
menggiring watak guru menjadi inklusif, terbuka oleh kritik dan masukan. Guru
sebagai suluh peradan tentu mutlak memegang prinsip seperti itu. Sebab
maju-mundurnya suatu bangsa tak lepas dari peran seorang guru. Guru perannya
sangat sentral dalam posisinya di dunia pendidikan, bahkan kehidupan
masyarakat. Lebih dari itu, posisi guru juga sangat strategis dalam menanamkan
watak dan karakter terhadap anak didik. Ketika guru telah membenarkan tindakan
anarkisme, hal itu akan terus dingat oleh sang murid sampai ia besar kelak.
Inilah yang dapat dianggap berbahaya.
Karena itu, spirit multikultural
sekaligus watak toleransi harus dimiliki oleh seorang guru secara substansial.
Para guru (juga) bisa belajar dari ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi'i. Banyak orang yang kagum dengan cara berfikir para cendekiawan
muslim ini. Abu Hanifah, misalnya, dalam hidupnya selalu berusaha menghilangkan
fanatisme terhadap sebuah pendapat. Ia selalu membuka ruang dan kesempatan bagi
orang lain untuk mengeluarkan pendapatnya.
Ia pernah berkata, "Ucapan
kami ini adalah pendapat kami, menurut kami ini benar, bila ada seseorang
memiliki pendapat yang lebih baik dan lebih benar, maka pendapat itulah yang
berhak diambil."
Begitu pula dengan Imam Syafi'i.
Ia adalah sosok yang meletakkan konsep penting tentang berdialog, menghindari
fanatisme dan tidak mudah mencela pendapat orang lain. Imam Syafi'i pernah
berkata, "Pendapat kami benar adanya, tapi memungkinkan adanya kesalahan,
pendapat dari orang selain kami salah adanya tapi memungkinkan adanya
kebenaran."
Ali
Rif’an ;
Peneliti
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi
dari Belanda
SUARA
KARYA, 28 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi