“Amat
banyak yang masih harus diperjuangkan dalam diri sendiri dan banyak pula
perjuangan yang harus diselesaikan, barulah berbagai pendirian dan dasar hidup
yang sudah kolot itu, yang tidak sepadan dengan zaman, terkubur dalam-dalam di
dalam tanah sehingga tiada bangun-bangun lagi”. Surat Kartini kepada Nyonya Van Kol,
19 Agustus 1901
Peringatan
Kartini menjadi lebih berarti karena sungguh relevan dengan kondisi bangsa kita
sekarang.
Hari-hari
ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terus menjadi sorotan
publik. Inilah salah satu kementerian yang kebijakannya tiada henti menuai
kritik.
Setelah
Kurikulum 2013 yang secara keseluruhan memperlihatkan ketergesa-gesaan
sekaligus ketidakpahaman terhadap pedagogis anak, sekarang giliran pelaksanaan
ujian nasional (UN) yang begitu amburadul.
Penyelenggaraan
Terburuk
Secara
teknis boleh dikatakan inilah penyelenggaraan UN terburuk sepanjang sembilan
tahun terakhir. Demikian pula halnya dengan Kurikulum 2013 yang diterapkan pada
akhir masa kabinet, sebagai hal yang sulit dicerna akal sehat. Belum lagi kalau
kita mengkritisi substansinya.
Demikian
pula halnya dengan pelaksanaan UN yang sungguh membuat kepercayaan terhadap
Kemdikbud makin merosot. Sisi teknis yang seharusnya sudah semakin baik karena
sudah berlangsung sejak tahun 2005 justru menjadi titik lemah. Padahal, baik
Kurikulum 2013 maupun ujian nasional, substansinya juga menyisakan begitu
banyak pertanyaan yang belum dijawab.
Masalah
lain yang pantas untuk dicermati adalah bagaimana cara Kemdikbud menerima (atau
tidak menerima) dan menggunakan (atau tidak menggunakan) kritik masyarakat.
Membela
Diri
Mendengar
Kemdikbud menjawab kritik dan saran masyarakat, yang terasa adalah nuansa
membela diri, bukan upaya introspeksi. Dalam hal Kurikulum 2013 sebagai contoh,
jawabannya adalah pasti diberlakukan. Namun, pertanyaan mengenai evaluasi dan
data yang dimiliki Kemdikbud mengenai kurikulum sebelumnya ataupun Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) belum pernah disampaikan kepada masyarakat.
Padahal,
sebagian praktisi pendidikan menangkap masalah utama justru pada penangkapan
spirit KTSP, pemahaman para guru, dan penerapannya di kelas. Artinya, jumlah
pertemuan dan pendekatan pelatihan menjadi sangat krusial. Sekali lagi, meski
sudah banyak ulasan dari para praktisi pendidikan, soal KTSP belum juga
ditindaklanjuti.
Sampai
saat ini yang terdengar masih asas ”pokoknya”. Pokoknya harus dilakukan segera.
Akibatnya, pesan yang ditangkap komunitas pendidikan adalah ”siapa memegang
kekuasaan, dialah pemegang kebenaran”.
Memprihatinkan
Betapa
memprihatinkan situasi ini karena hal ini terjadi justru dalam dunia
pendidikan. Apakah yang sesungguhnya diperjuangkan mati-matian oleh Kemdikbud
saat ini? Kepentingan anak-anak kita bersama yang akan memimpin bangsa ke depan
atau sekadar menyelamatkan ego sesaat?
Di
mana sifat satria dan kejujuran yang lebih dibutuhkan sebagai contoh, terutama
di kementerian yang mengurusi perkembangan anak bangsa?
Robert
Frost pernah mengatakan, ”Pendidikan adalah kemampuan untuk mendengar
apa pun tanpa menjadi marah atau kehilangan rasa percaya diri.”
Akan
tetapi, ungkapan Frost menjadi ironi ketika dalam siaran langsung di salah satu
televisi, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan jawaban yang
membuat orang mengelus dada. Ia mengatakan, ”Penundaan UN sebaiknya
diambil hikmahnya agar ananda (catatan: saat itu ada seorang siswa SMA yang
menyatakan kebingungannya) dan teman-teman bisa belajar dan bersiap lebih
banyak lagi.”
Mengikuti
logika itu, Sang Pencipta adalah yang bertanggung jawab terhadap ketidakberesan
persiapan dan perencanaan UN. Inikah indikator ketidaksanggupan Wamen dan
tentunya Kemdikbud sebagai instansi untuk introspeksi terhadap kekurangan diri?
Ternyata permintaan maaf dipandang sudah cukup dan kehendak Tuhan menjadi jalan
keluarnya.
Pernyataan
Wamen memang sangat sejalan dengan semangat Kurikulum 2013 yang menanamkan
moral kepada anak didik. Temuan yang dipandang Kemdikbud tidak mencerminkan
”akhlak mulia” (belum jelas apa deskripsi dan indikatornya) membuat anak didik
dicekoki pelajaran agama lebih dari biasanya. Bukan hanya dari segi waktu,
materi pun ditambah dengan mengaitkan seluruh pelajaran pada garis ke-Tuhan-an.
Perlu
Contoh Nyata
Sampai
sekarang kita tahu bahwa pengetahuan tidaklah sejalan dengan praktik dalam
keseharian. Nilai kehidupan hanya bisa diwariskan melalui kegiatan keseharian
dan contoh yang terjadi di sekitar kita. Kejujuran untuk mengakui kekeliruan,
memperbaiki, dan memperlihatkan kemampuan mendengar dengan hati terbuka sangat
penting. Itulah yang sesungguhnya perlu dicontohkan Kemdikbud.
Kartini
sudah mengingatkan kita untuk mengubur semua yang tidak sepadan dengan zaman,
termasuk di dalamnya perasaan paling benar, paling mengetahui, dan paling
berkuasa dalam menentukan arah pendidikan.
Henny Supolo Sitepu ;
Ketua
Yayasan Cahaya Guru
KOMPAS, 20 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi