JAWA POS Metropolis edisi 5 Januari 2013
memberitakan rencana ITS untuk menyetop pengiriman mahasiswa (mungkin dosen)
untuk belajar di Malaysia mulai tahun ini. Alasannya, kualitas kuliah di ITS
tidak kalah jika dibandingkan dengan kampus di Malaysia. ITS akan mengirimkan mahasiswanya
untuk belajar ke negara maju seperti Inggris, Amerika, atau Jepang.
Unair dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
juga akan ikut. Kepala International Office Unair menyatakan bahwa saat ini
Malaysia memang bukan tujuan utama studi dosen Unair. Hanya ada sepuluh dosen
yang sedang belajar di sana. Wakil rektor Unesa juga menyatakan bahwa Unesa
tidak kalah kualitas dengan perguruan tinggi di Malaysia.
Kemendikbud juga makin langka memberikan
beasiswa tugas belajar ke Malaysia. Saya pernah mengajukan beasiswa studi luar
negeri ke Dirjen Dikti. Nama saya sempat ada di daftar calon penerima beasiswa
dan setelah itu hilang tanpa penjelasan apa pun.
Self
Proclaimed
Ada kesan, penyetopan belajar S2 dan S3 adalah
adanya self proclaimed (merasa diri lebih baik) daripada jiran. Sayang, klaim
ini tidak didasari ukuran yang jelas. Di Malaysia ada Institusi Pengajian
Tinggi Awam (IPTA) dan Institusi Pengajian Tinggi Swasta (IPTS). Tidak seperti
kita yang PTN-nya sering dianggap lebih baik, ada beberapa kampus yang
seminegeri (dimiliki oleh negeri, state atau negara bagian) dengan kualitas
setara atau bahkan melebihi IPTA.
Berdasar peringkat 100 universitas terbaik
berusia di bawah 50 tahun versi Time Higher Education, Universiti Kebangsaan
Malaysia (UKM) berada pada peringkat 98, satu level di bawah Universitas
Limerick, Irlandia. Pada level Asia, UKM peringkat ke-58, setara dengan
Universitas Indonesia (59), USM Penang (63), Universiti Putra Malaysia (76).
Lantas, Institut Teknologi Bandung (113), UGM (118), Unair (135).
Di Malaysia, universitas sudah dikelompokkan
dalam tiga grup, yaitu universitas riset, universitas fokus khusus (seperti
teknologi, pendidikan, dan pertahanan), dan universitas umum. Dosen junior yang
kurang berpengalaman dalam riset jangan masuk unversitas riset karena kultur di
sana sangat berbeda. Kinerja riset yang diukur dengan jumlah publikasi di
jurnal yang terindeks Scopus mutlak. Tanpa publikasi di jurnal, tidak akan ada
viva voce alias tidak akan lulus S3.
Kenapa
Tidak
Meski belum sebanding negara maju, eksposur
international universitas di Malaysia relatif baik. Banyak mahasiswa asing,
baik dari Timur Tengah, Afrika, dan wilayah bekas Uni Soviet, Pakistan,
Bangladesh, selain juga banyak mahasiswa dari Indonesia. Banyak dosen dari
Indonesia, Jepang, Inggris, India, dan beberapa negara persemakmuran yang
mengajar sebagai dosen kontrak di Malaysia. Di universitas kita umumnya dosen
adalah pegawai tetap dan kalaupun tidak berprestasi dipelihara sampai pensiun.
Otomatis, eksposur penggunaan bahasa Inggris
dan Arab relatif lebih baik. Kalau kita berkunjung ke Universiti Islam Antar
Bangsa (UAIA), bahasa sehari-hari 50 persen Inggris, 35 persen Arab, 10 persen
Melayu, dan 5 persen bahasa Indonesia karena banyaknya dosen dan mahasiswa dari
Indonesia. Alhasil, bagi mahasiswa dari Indonesia, kemampuan berbahasa
Inggrisnya menjadi lebih baik yang berguna saat presentasi makalah di luar
negeri.
Biaya studi S3 di Malaysia relatif lebih
murah. Ada universitas negeri dalam peringkat ke-4 (very good) yang SPP-nya per
semester hanya setara Rp 5 juta. Tidak ada biaya lain seperti sumbangan
operasional pendidikan (SOP). Sebagai pembanding, di Unair SPP untuk S3 ekonomi
Rp 15 juta plus SOP Rp 10 juta. Belum lagi kesempatan untuk memperoleh tambahan
income sebagai asisten pengajaran atau asisten riset sampai RM 3.000 (Rp 8,5
juta). Bagi yang belajar atas biaya orang tua, bonus setelah lulus boleh
menjadi asisten dosen dengan gaji RM 4.000. Keunggulan lain adalah jarak dan
biaya lebih murah karena faktor Air Asia maupun Mandala Air.
Profesor di Malaysia juga relatif fokus karena
tidak "ngobyek" proyek. Gajinya sudah tingggi. Dalam sebulan,
profesor penuh (VK) mendapat gaji dan tunjangan sampai RM 20.000 (Rp 55 juta).
Kalau perjalanan dinas, profesor selalu naik pesawat first class dan hotel
bintang 5 yang dibiayai negara. Namun, kalau menguji di kampus atau ceramah di
universitas lain, tidak boleh menerima honorarium lain-lain dari APBN.
Semua hibah penelitian di sana dikelola pusat
penelitian dengan pengawasan akuntan. Ketika ada teman dosen dari Indonesia
mendapat hibah penelitian senilai RM 100.000, saya pikir paling tidak akan
mengantongi RM 30.000. Ketika itu saya tanyakan, dia tertawa dan "Sini
bukan Indonesia, Mas". Hibah penelitian yang dapat dinikmati adalah
publikasi jurnal dan ikut konferensi dengan dana hibah. Hanya itu dan harus itu
saja. Cerita dana riset jadi pagar rumah atau uang muka mobil tidak ada.
Kita harus membuat universitas dan dunia
pendidikan kita lebih baik. Mengirim dosen untuk belajar sains dan teknologi ke
negara maju memang keharusan. Malaysia mengirim dosen ke Inggris dan Amerika
secara besar-besaran. Dihindari adanya inbreeding, yaitu menyekolahkan dosen ke
kampus sendiri karena merasa lebih bagus.
Sebelum berangkat perlu studi awal dan
pemetaaan keahlian serta kekuatan sebuah universitas dan fakultas. Contoh,
kalau mau studi Islamic banking dan Islamic finance, kuliah di UAIA atau INCEIF
(International Centre for Education in Islamic Finance) jelas lebih baik,
bahkan jika dibandingkan dengan universitas di negara maju sekalipun.
Abdul
Mongid ;
Dosen
STIE Perbanas Surabaya; Sedang studi S3 di Malaysia
JAWA
POS, 09 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi