Kemenangan
Kebudayaan
Barangkali tak perlu lagi membuat perhitungan,
baik sebelum maupun sesudah kemenangan sensasional dan spektakuler Spanyol
serta rekor luar biasa yang ditorehkannya.
Baik hitungan di atas kertas, statistik, mental,
maupun kematangan. Di atas itu semua, akhir dari ajang kompetisi sepak bola
terbesar antarbangsa Eropa ini menghasilkan kemenangan keindahan, art of
football, seni sebagai inti dari kebudayaan.
Sebagai sesama negeri Latin dari kawasan
Mediterania, Spanyol dan Italia, sebagaimana negeri-negeri Latin di Amerika
Selatan, memiliki pemain-pemain dengan kemampuan individual tinggi sehingga
mereka tidak berlari dengan bola, tetapi menari bersamanya. Kita
saksikan—terutama—Spanyol seperti menciptakan puisi pada setiap pemain dan
menciptakan prosa dalam roman yang tidak hanya best-seller, tetapi juga
bersejarah dan berkaliber Nobel.
Kembali
ke Khitah
Tentu saja, kemenangan kebudayaan ini bukan hanya
bermakna artistik, sebagaimana Latin tidak hanya dipenuhi dengan karya sastra
dan intelektual. Ini adalah kemenangan atas mainstream di dua-tiga dekade
terakhir yang dikuasai kecepatan dan tenaga, speed and power.
Sepak bola didominasi oleh fisik, pola, dan skema
yang sangat sistemik, bahkan mekanik. Sebuah arus yang diperlihatkan dengan
cara luar biasa oleh beberapa negara Eropa Utara, seperti Jerman, Belanda,
Kroasia, dan Denmark.
Bisa jadi, inilah kemenangan peradaban Selatan,
yang umumnya ditandai dengan konservativisme, tradisionalisme, kekeluargaan,
juga kemaritiman. Sebut misalnya China, Jepang, dan Amerika. Peradaban yang
dalam banyak gradasi berbeda dengan Utara yang relatif lebih rasional-mekanis,
progresif, teknologis, dan individualistis.
Dengan latar kultural semacam itu, sepak bola
dunia seperti kembali ke khitah sebagai seni menggocek dan menyerang. Karena
itulah, orang-orang Selatan yang rata-rata lebih pendek ketimbang Utara dapat
memamerkan kapasitas secara optimal. Tim Spanyol mungkin dapat dianggap tim
”terpendek” di Eropa, termasuk salah satu pahlawannya, bek sayap Jordi Alba.
Ini sangat disadari oleh Xavi Hernandez, sang
jenderal dan maestro passing terbaik dunia (165 cm), yang merasa sangat
beruntung dengan perubahan arus utama. Hal yang diamini oleh Andres Iniesta,
Cesc Fabregas, David Silva, dan tentu Alba, yang memiliki tinggi rata-rata
sama. Ini pula yang mencuatkan Lionel Messi sebagai keajaiban baru dalam sepak
bola modern.
Filosofi
Del Bosque
Semua tentu saja tak lepas dari peran luar biasa
salah satu pelatih timnas tersukses dan terbaik dunia, Vicente del Bosque.
Pelatih kalem, rendah hati, analis tajam, dan dijunjung tinggi ini adalah
pelatih Pep Guardiola, pelatih klub paling fenomenal.
Para pengamat dan penggila bola sempat meragukan
dirinya ketika ia memainkan pola yang belum pernah digunakan tim mana pun
sepanjang sejarah sepak bola, 4-6-0. Ia menumpuk enam pemain tengah dan
menafikan kehadiran pencetak gol betapapun ia memiliki stok berkaliber dunia,
seperti Fernando Torres, Llorente, Negredo, dan Almeida.
Dalam penglihatan saya, Del Bosque bukan hanya
bereksperimen. Ia memang menawarkan konsep dan filosofi baru dalam
persepakbolaan dunia. Tumpukan gelandang di tengah tidak hanya menghilangkan
perebutan peran, tetapi juga justru menjadi inti dari konsep tiki-taka yang
akan segera ditiru di seluruh dunia setelah total football atau catenaccio,
misalnya.
Inti itu datang dari potensi pemain tengah Spanyol
yang seluruhnya berkapasitas sebagai target-man atau pencetak gol. Maka, pola
baru Del Bosque ini memberi Spanyol bukan hanya enam pemain tengah paling luar
biasa, melainkan juga enam striker dahsyat. Dari delapan gol yang diciptakan
Spanyol hingga final, semua dilesakkan oleh lima pemain tengah dengan rata-rata
1,6. Hanya sebuah gol yang dihasilkan oleh striker (Torres). Bandingkan dengan
Italia yang juga dipuji barisan tengahnya, hanya tiga gelandang mencetak gol,
berarti rata-rata 1.
Bahkan, di final, pemain belakang, bek kiri
suksesor Carlos Puyol, Jordi Alba, pun mampu menciptakan gol dengan kapabilitas
dan ketenangan seorang striker, persis dengan apa yang ditunjukkan Torres. Kita
pun melihat, bagaimana para pemain belakang lain, Pique, Ramos dan Arbeloa,
begitu kerap berada di daerah pertahanan musuh, bahkan di kotak 16.
Saya mengira, eksperimen—jika itu ada—yang sedang
dilakukan oleh Del Bosque adalah bagaimana menciptakan tim 10 pemain dengan
semua kapasitas: bertahan, gelandang, dan penyerang. Saya menyebutnya sebagai
”pemain segala” (total player). Anda saksikan, bahkan ketika bola digenggam
Gianluigi Buffon, 6-7 pemain Spanyol berjaga di sekitar kotak 16. Sebuah pola
yang sungguh tinggi tingkat keberaniannya. Apa yang terjadi pada lawan dengan
pola itu?
Ruang sebagai
Peluang
Lawan pun menjadi grogi. Sekaligus merasa rendah
diri. Mereka harus memompa semangat dua kali lebih dahsyat dari normal.
Maknanya: tensi. Lawan sudah tegang sebelum peluit awal di bunyikan. Itu
sebagian dari taktik psikologis Del Bosque yang genial. Ini terlihat pada awal
final kemarin malam. Semua pemain Italia, dibantu kru, paduan suara, dan
penonton, menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh penghayatan, seperti
mengempos daya lebih mental mereka.
Sebaliknya, tidak satu pun pemain, pelatih, bahkan
kru tim Spanyol yang ikut bernyanyi saat lagu kebangsaan mereka dinyanyikan.
Mereka tidak membutuhkan emposan itu karena kekuatan batin (mental) mereka
sudah lebih dari cukup. Sikap dan raut muka mereka menunjukkan kematangan luar
biasa. Saya kira kemenangan Spanyol sudah terjadi di detik ini. Sebelum mental
kalah muncul seusai gol kedua, terutama setelah keluarnya Thiago Motta.
Sejak Luis Aragones memimpin tim Spanyol merebut
Piala Eropa 2008, filosofi sepak bola Spanyol mengentak dunia. ”Bermain bola”
adalah ”memainkan peluang” dan peluang itu berarti ”ruang”. ”Peluang” itu
bukanlah sesuatu yang datang atau tercipta, melainkan diciptakan dengan
kejelian, kecepatan berpikir, dan keputusan.
Itu diungkap (lagi) oleh satu di antara dua pemain
terbaik dunia (setelah Messi), Xavi. ”Ruang. Di mana ruang, bola harus segera
dialirkan ke arahnya”. Inilah dasar filosofi dan inilah representasi dari
kebudayaan itu.
Bisa jadi sepak bola adalah ruang yang memberi
siapa pun peluang merebut hati publik, bahkan dengan cara menggelikan dan
memalukan. Sepak bola adalah magi dari keindahan kebudayaan, seni imajinatif di
mana kita bisa sembunyi atau lari dari realitas faktual (Spanyol dan Italia
adalah penderita utama resesi ekonomi Eropa saat ini).
Apakah ruang atau kesempatan itu pula yang dilihat
oleh para politisi kita, pengusaha, baik yang senior maupun dadakan? Mereka
seharusnya bisa melihat ruang untuk membawa bangsanya menuju kesejahteraan.
Bukan diri sendiri.
Radhar
Panca Dahana
Budayawan
KOMPAS,
04 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi