Keterasingan
Pendidikan Nasional
TAWURAN antarsekolah, kekerasan di sekolah, serta
aksi-aksi premanisme mengoyak ketenteraman dan kedamaian kita selama bulan
puasa ini. Kasus kekerasan di SMA Don Bosco dalam masa orientasi siswa baru
seperti mengingatkan kita kembali terhadap kejadian serupa di banyak sekolah di
Tanah Air. Belum lagi praktik premanisme seperti yang terjadi beberapa waktu
lalu, ketika sekitar 50 orang bersenjata parang menyerang 10 orang yang melayat
Bob Stanley Sahusilawane di halaman parkir Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto,
Jakarta. Dua orang meninggal dunia dan empat orang terluka parah.
Peristiwa serupa juga terjadi pada 4 April 2010.
Kerusuhan dua kelompok pemuda terjadi di kelab malam Blowfish, Gedung City
Plaza, Jakarta Selatan. Satu orang tewas, dua orang luka parah, dan kelab malam
rusak akibat kerusuhan tersebut. Pada 14 April 2010, bentrokan juga terjadi
antara warga dan aparat di wilayah Koja, Jakarta Utara, mengakibatkan dua orang
tewas, sekitar 130 orang luka-luka, dan puluhan mobil dibakar.
Itu juga menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah
akibat arus lalu lintas barang ekspor-impor ke pelabuhan terhambat. Bentrokan
terjadi ketika Pemerintah Kota Jakarta Utara menertibkan bangunan dan aktivitas
Priok di TPU Dobo. Bentrokan dua kelompok massa pun pecah pada 29 September
2010 di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya. Tiga
orang tewas dan tiga Kopaja dirusak akibat bentrokan itu. Selama kerusuhan,
lalu lintas dan aktivitas masyarakat lumpuh.
Sengketa lahan seluas 4.000 m2 yang melibatkan
tiga pihak (pemilik sertifikat tanah, PT Mastraco, dan warga yang menempati
lahan) berujung bentrok warga dengan sekelompok orang di Jalan Arjuna, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat.
Bentrokan tersebut mengakibatkan sebuah metromini
dan tiga sepeda motor terbakar serta menimbulkan kemacetan di sekitar ruas
Jalan Arjuna pada 14 Oktober 2011. Bentrok antaranggota organisasi
kemasyarakatan terjadi pada 13 Februari 2012 di dekat Taman Permakaman Umum
Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Akibat bentrokan, sebuah posko ormas rusak dan
delapan orang ditahan polisi. Kemacetan sepanjang 1,5 km di Jalan RS Veteran,
Tanah Kusir, terjadi sejak tengah hari hingga sore hari.
Riuhnya ruang premanisme di Ibu Kota seakan
membenarkan satire Slamet Mulyanto, “Sejahat-jahatnya ibu tiri, lebih jahat Ibu
Kota.“ Hampir tidak ada sejengkal tanah di Ibu Kota yang lepas dari aksi
kekerasan. Mengapa kekerasan menjadi hal biasa di Republik ini? Bagaimana
pendidikan berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut?
Kesepian
dan Keterasingan
Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa
kesepian dalam diri seseorang. Kesepian (loneliness) tidak identik dengan
kesunyian (solitude). Dalam kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, `aku'
dan `diriku'.
Hannah Arendt menyebut keadaan itu sebagai `dua
dalam satu' (two in one). Karena itu, dalam kesunyian, manusia (aku) masih
mempunyai teman untuk berdialog, yaitu diriku. Dialog pada `dua dalam satu'
tidak kehilangan hubungan dengan dunia sesama karena diriku merupakan
perwakilan dari dunia. Kesunyian dapat menjadi kesepian jika aku ditinggalkan
oleh diriku.
Dalam kesepian, manusia adalah satu, “Aku
ditinggalkan oleh orang-orang lain.“ Hal paling tak tertahankan dalam kesepian
ialah hilangnya jati diri (dalam kesunyian jati diri masih dapat diwujudkan)
dan makin lemahnya identitas dalam kebersamaan. Hal itu muncul karena tiadanya
suasana me mercayai dan dipercayai sesama. Dalam kesepian, aku kehilangan teman
untuk berdialog, yaitu diriku. Manusia dalam kondisi itu akan kehilangan rasa
percaya terhadap pikiran pikirannya sendiri. Akibat paling menakutkan dari
kesepian ialah baik diri sendiri, dunia, maupun kemampuan untuk berpikir dan
mengalami hilang secara bersamaan.
Itu sebuah kondisi yang jauh dari realitas
kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk berpikir. Dengan berpikir, manusia dapat
disebut manusia. Begitulah Descartes, filsuf kesohor, mendaku dalam filsafat
manusia. Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kebutuhan untuk berpikir
(kebutuhan nalar, meminjam istilah Immanuel Kant). Kebutuhan untuk berpikir
hanya mampu dipenuhi lewat berpikir, bukan lewat pengetahuan. Dengan demikian,
berpikir berkaitan dengan menarik diri dari dunia ke dalam kesunyian sehingga
tercipta dialog internal antara aku dan diriku. Melalui berpikir, aku
menciptakan ruang bagi diriku.
Lebih lanjut, pada saat manusia kese pian,
satu-satunya EBET hal yang masih dipercaya ialah kemampuan bernalar secara
logis. Padahal, pernyataan yang logis belum tentu sesuai dengan realitas.
Satu-satunya kebenaran yang masih dapat dipercaya
manusia dalam kesepian ialah kaidah-kaidah logika, yang dianggap tidak dapat
sesat, meski dalam ke sepian mutlak. Manusia dalam kondisi tersebut
mencampuradukkan kebenaran pada tingkat ko herensi dengan kebenaran
korespondensi. Kesepian menyebabkan hilangnya akal sehat. Maka kebenaran yang
sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran hidupnya, menyebabkan manusia
tercabut dari realitas.
Kebenaran seperti itu sebenarnya bersifat hampa
karena tidak dapat mengungkapkan apa-apa. Proses pemikiran yang ditandai dengan
keper cayaan penuh terhadap kaidah logika menye babkan manusia merasa tidak
memiliki tempat untuk berlari. Efek yang ditimbulkan dari kesepian, dengan
mengacu pada perkataan Luther, ialah menganggap segala sesuatu bersifat buruk.
Jadi dapat kita simpulkan, orang yang mengalami kesepian sulit melihat sisi
positif dari apa pun (Rieke Diah Pitaloka, 2004).
Cara pandang negatif terhadap sesuatu
mengakibatkan hilangnya akal waras manusia. Akal waras tertimbun oleh nafsu
untuk mengenyahkan orang lain jika mengganggu aktivitas atau mengusik kelompok
tertentu. Manusia seperti itu menegaskan diri (mengakukan diri) sebagai yang
terkuat dan terhebat. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan pengasingan
terhadap diri sendiri. Keterasingan mennyebabkan manusia lupa akan entitas diri
dan lingkungan.
Peng-aku-an yang menghilangkan ke-kita-an itu
menyembul ke ruang publik dan menimbulkan kerusakan.
Kerusakan itu menghancurkan tatanan sosial
masyarakat. Kerusakan yang berujung pada penghilangan nyawa orang lain pun
merupakan fakta. Padahal, menghilangkan nyawa manusia merdeka merupakan
perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Pendidikan
Maka dari itu, menurut hemat saya, untuk
mengurangi dampak keterasingan dan kesepian manusia yang merupakan bawaan intrinsik
kelemahan manusia secara psikologis, manusia perlu melatihnya melalui kemampuan
berpikir kritis yang sudah selayaknya disemai di pawiyatan (pendidikan).
Pendidikan merupakan salah satu sarana paling ampuh dalam mendorong seseorang
berpikir logis dan kritis.
Guna membangun pendidikan seperti itu, menurut
Paulo Freire, pendidikan harus berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika,
memancing peserta didik untuk berdialog, membiarkan mereka mengucapkan sendiri
perkataan mereka, mendorong mereka untuk menamai dan dengan demikian mengubah
dunia. Singkatnya, paradigma pendidikan menurut pedagogi Ignasian disebut
dengan istilah pendidikan transformatif (J Drosj SJ, 2000), sistem pamong
menurut Ki Hajar Dewantara (Jumhur, 1981), sistem pendidikan kedewasaan menurut
Ki Sarino Semarang (Hadi Su peno, 1999), atau dalam istilah Indonesia
kontemporer sistem pengembangan potensi. Itulah jalan pembebasan manusia yang
sesungguhnya (Nuru Huda SA, 2002).
Maka dari itu, sudah selayaknya pemerintah
mengagendakan dan terus berusaha mewujudkan model pendidikan seperti itu. Tanpa
hal tersebut, pendidikan hanya akan menjadi menara gading, jauh dari realitas.
Pendidikan akan terasing dan teralienasi dari dunianya. Jika hal yang demikian
terjadi, benarlah apa yang dikatakan WS Rendra dalam sajaknya, Seonggok Jagung.
Apakah guna pendidikan
bila hanya membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalan keadaannya ...
bila pulang ke daerahnya, lalu berkata
Di sini aku asing dan sepi
Pada akhirnya, banalitas kejahatan oleh aksi
premanisme yang selalu mengusik alam bawah sadar kita seakan membenarkan
preposisi yang sering menyebut betapa pendidikan nasional belum mampu menyentuh
(berkontribusi) dalam menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk masalah
kekerasan di sekolah. Pendidikan masih saja terlalu asyik dengan dunianya
sehingga pendidikan sepertinya hanya berkontribusi terhadap dunia kerja semata.
Tugas pendidikan yang seolah hanya sebagai
penyuplai tenaga kerja siap pakai dan mengikuti tren internasional di bidang
industri seolah menyepakati runtuhnya nilainilai luhur yang seharusnya
disumbangkan dunia pendidikan. Karena itu, tak mengherankan jika peserta didik
menjadi terasing dan tidak memiliki kemandirian dalam hidup dan berpikir, bahkan
seakan rela untuk terus hidup saling menyakiti di antara sesama anak bangsa.
Benni
Setiawan
Pemerhati
Pendidikan
MEDIA
INDONESIA, 30 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi