Psikotes
Belakangan ini sedang mencuat isu tentang psikotes
untuk calon legislator (caleg). Awalnya, Ketua Umum PDIP Megawati-lah yang
meluncurkan isu tersebut. Maksudnya sangat mulia dan memang masuk akal.
Prestasi anggota-anggota DPR sekarang (apalagi
DPRD) memang jauh di bawah harapan. Karena itu,menurut Megawati, para caleg
harus diskrining dulu dengan psikotes. Tentu saja gagasan Megawati itu disambut
dengan gembira oleh banyak pihak,khususnya oleh mereka yang sudah capai dengan
kualitas anggota DPR/D yang sekarang.
Tapi
sebelum masuk terlalu jauh, sebaiknya diketahui dulu apa psikotes itu. Berbeda dari anggapan awam,psikotes bukanlah
tongkat sakti tukang sulap yang dengan “simsalabim” bisa membuka kepribadian
orang dan mengungkap semua kebaikan dan kejelekan orang. Psikotes hanyalah alat
ukur untuk mengukur aspek-aspek
TERTENTU
saja dari kepribadian.Suatu batere (rangkaian) tes tertentu biasanya disusun
untuk mengukur aspek-aspek tertentu sesuai dengan tujuan diselenggarakannya tes
itu. Di bidang psikologi industri dan organisasi (PIO), misalnya, psikotes
biasa dilakukan untuk tujuan seleksi, penempatan, rotasi, mutasi atau promosi.
Untuk itu
pertama sekali perlu dilakukan analisis jobuntuk mendapatkan job description
dari jabatan atau posisi yang mau diisi. Berdasarkan job desk ditentukan
kompetensi psikologis yang dibutuhkan untuk job itu dan berdasarkan kompetensi
psikologis yang dibutuhkan disusunlah tes-tes yang relevan untuk mengukur tiap
aspek psikologis yang diperlukan seperti kecerdasan umum, daya analisis,
memori, kemampuan bekerja dengan angka, kemampuan sintesis, sikap kerja,
ketelitian, ketahanan menghadapi stres,dan sebagainya.
Pertanyaan
kita sekarang, sudah adakah job desk untuk anggota DPR/D? Tiga fungsi parlemen,
legislasi, penganggaran, dan pengawasan, tidak cukup hanya disebut dalam UU,
tetapi harus diurai dalam job desk yang terperinci untuk tiap anggota. Misalnya
bagaimana bisa menjadi anggota Banggar kalau tidak bisa membaca neraca
pembukuan? Bagaimana bisa menelusuri neraca pembukuan kalau tidak bisa bekerja
dengan angka, tidak teliti, dan tidak sabar duduk berjam-jam meneliti angka?
Tapi
anggota Banggar bukan cuma akuntan negara, dia harus mampu pula mengaitkan
angka-angka rencana anggaran dengan visi dan misi negara, meletakkan yang
penting di prioritas atas dan yang lain di prioritas bawah. Selanjutnya dia
harus bisa mengorasikan pandangannya secara jelas, runut, logis, tetapi juga
dengan retorika di siding-sidang Banggar dan kalau perlu disidangpleno. Intinya
dia harus bisa meyakinkan anggota DPR yang lain tentang pendapatnya.
Kemampuan
ini dalam psikologi disebut kemampuan persuasi. Adu persuasi dengan argumentasi
yang berbasis data yang faktual inilah yang akan menghasilkan produkDPR/D yang
optimal, relevan, dan langsung menyangkut kebutuhan rakyat yang diwakili
anggota badan legislatif itu. Tidak ada lagi debat kusir dan adu interupsi yang
modalnya hanya kekerasan suara dan emosi marah-marah. Inilah yang dimaksud
Megawati ketika ia meluncurkan ide psikotes untuk anggota DPR/D.
Tapi karena
job desk anggota DPR/D belum ada, sulitlah bagi para psikolog nantinya untuk
menentukan batere tes yang pas. Apalagi dalam praktiknya nanti, ketika seorang
caleg sudah dinyatakan lolos psikotes, ternyata dia tidak terpilih. Yang
terpilih malah yang tidak lolos. Tambah runyam lagi akibatnya, karena begitu
banyak dana akan terbuang untuk investasi psikotes ini. Karena itu sebaiknya
psikotes diselenggarakan sesudah caleg terpilih jadi anggota dengan tujuan
untuk menempatkan caleg dalam komisi atau badan yang sesuai dengan kompetensi
masing-masing.
Dengan
perkataan lain, psikotes dipakai untuk tujuan penempatan (placement) bukan
untuk tujuan seleksi. Tapi bagaimana kalau ada caleg yang tidak pas di
mana-mana? Bahkan sama sekali tidak layak ikut fit and proper untuk jadi caleg?
Kalau hanya menyangkut kompetensi (misalnya mampu baca neraca atau bisa
memahami hukum), mungkin masih bisa dilatih atau dikursusi kilat. Tapi kalau
sudah menyangkut integritas kepribadian, seperti kejujuran, konsistensi, loyalitas,
dsb., sulit untuk dibentuk dalam waktu singkat.
Bahkan
psikotes sekalipun belum tentu bisa mengungkapnya. Psikotes mungkin bisa
mengukur profesionalisme (termasuk konsistensi antara laporan dan fakta, alias
kejujuran dalam melaksanakan tugas), tetapi tidak bisa menjamin integritas
kepribadian secara utuh. Seorang anggota dari sebuah partai agama pun bisa
tertangkap basah sedang melihat situs porno melalui iPadnya di tengah-tengah
sidang.
Atau
seorang caleg yang selama ini dikenal profesional dan berintegritas tinggi
tiba-tiba masuk infotainment sedang “main” dengan seorang wanita dan
video-clip-nya beredar ke mana-mana. Intinya, psikotes tidak menjamin untuk
menjaring orang bermental nabi atau malaikat untuk menjadi anggota DPR. Para
petinggi Kementrian Agama yang rata-rata sudah haji pun ternyata bisa
mengorupsi Alquran.
Sudah jadi
rahasia umum bahwa Kemenag dan Kemendikbud jadi sarang koruptor. Jadi bagaimana
caranya kita mengawal caleg-caleg 2014 agar memenuhi persyaratan mental seperti
yang diharapkan Megawati?
Dulu orang percaya bahwa Pancasila bisa mengatasi
segala-galanya. Maka Presiden Suharto membangun sistem pendidikan Pancasila,
mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.
Pada zaman
itu, jangan harap lulus S-1 tanpa lulus mata kuliah pancasila. Mata pelajaran
budi pekerti yang diajarkan sejak saya masih Sekolah Rakyat dihapus, digantikan
dengan mata pelajaran Pancasila. Untuk kalangan pegawai negeri sipil dan tokoh
masyarakat juga disiapkan kursus P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Saya sendiri punya sertifikat P4, bahkan punya wing (lencana)
Manggala (guru besarnya Pancasila) yang dididik selama 10 hari di Istana Bogor.
Tapi hasil
strategi Presiden Suharto jauh dari memuaskan. Bahkan KKN yang paling seru
justru di lingkungan Jalan Cendana sendiri. Maka orang pun beralih ke agama.
Agama itu ciptaan Allah, bukan bikinan manusia seperti Pancasila, maka pastilah
lebih sip. Jadi apa-apa obatnya selalu dicarikan ke agama. Dari penyalahgunaan
narkoba sampai KKN dituding penyebabnya adalah karena kurang takwa dan kurang
iman. Maka agama digalakkan di mana-mana. Tapi nyatanya juga sama saja.
Malah
konflik antaragama makin seru dan korupsi makin merajalela di semua sektor,
termasuk sektor agama dan sektor legislatif, termasuk juga dari partai-partai
agama. Setelah gagal dengan agama, Megawati mengusulkan psikotes. Gagasannya
mulia, tetapi seperti halnya Pancasila dan agama, psikotes bukanlah obat.
Pancasila dan agama sama-sama merupakan ukuran (moral), sedangkan psikotes
adalah alat ukurnya (kompetensi dan moral), tetapi untuk mengubah perilaku tak bermoral
menjadi bermoral, diperlukan lebih dari sekadar ukuran dan alat ukur.
Diperlukan
banyak hal yang didukung oleh sebuah sistem yang memaksa orang untuk tidak
punya pilihan lain kecuali bekerja profesional dan berintegritas. Sistem
seperti itu bukan utopis, melainkan sudah ada di sekitar kita.
Beberapa
BUMN dan perusahaan swasta Indonesia sudah berhasil mewujudkannya sehingga
berhasil menembus pasar internasional dan menyebabkan Indonesia tidak ikut
terpuruk bersama krismon global tahun-tahun terakhir ini. Bahkan beberapa
pemerintah daerah sudah berhasil melakukannya. Jadi marilah kita mulai dengan
sistem, baru ke psikotes.
Sarlito
Wirawan Sarwono
Guru
Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan
Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
KOMPAS,
29 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi