Tahun 1928, saat sejumlah pemuda
mendeklarasikan jati diri bangsanya, dapat dikatakan itulah kelahiran resmi
budaya bernalar di Nusantara.
Jika sang rasionalis René Descartes
dianggap sebagai pencetus kebudayaan bernalar dan juga bidan revolusi sains,
maka—sesama penggila matematika—Tan Malaka adalah penggagas budaya bernalar
untuk bangsa kita. Malahan, lebih dari tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda, Tan
yang tak kenal kompromi ini sudah merumuskan gagasan keindonesiaan, disebarkan
lewat brosur ”Naar de Republiek Indonesia”.
Dengan kegigihannya bernalar, Tan
yang kerap menganalogikan dirinya sebagai guru matematika mengajak rakyatnya,
yang dianalogikan sebagai murid, untuk bernalar aktif. Rakyat harus terlibat
aktif bernalar dengan pemimpinnya. Bahkan, dari dalam kubur sampai abad ke-21
ini pun masih bergema jelas gaung zikir ajakan bernalarnya lewat suara para
guru sejati.
Namun, budaya bernalar itu pingsan
sejak 1970-an. Budaya bernalar tak subur dan kalah pamor dengan kepatuhan.
Bahkan, kerap penalaran dikorbankan demi kesantunan.
Proses belajar dalam dunia
pendidikan telah disepelekan menjadi pembiasaan kepatuhan. Murid membeo
keterampilan yang dipertontonkan guru. Ini tidak saja terjadi di pendidikan
pra-universitas, tetapi juga di pendidikan tinggi.
Murid menyalin persis ucapan dan
tulisan guru, bukan mencatat gagasan inti untuk bernalar mandiri. Ditambah
lagi, sistem pendidikan sekarang menguntungkan murid penyalin dan penurut.
Persekolahan sekarang adalah tanah tandus bagi budaya bernalar.
Lebih menyedihkan lagi, pertumbuhan
budaya bernalar justru kerap dirusak kebijakan pendidikan sendiri. Satu perusak
budaya bernalar paling efektif adalah ujian nasional (UN). Kebijakan ini telah
memupuskan gairah bernalar siswa dan guru.
Pemaksaan penerapan UN bermutu sangat
rendah, mengabaikan teori belajar—ditambah penyuburan tradisi jalan
pintas—telah merendahkan makna belajar. Terkhusus UN matematika, yang berpusat
pada tataran kognitif sangat rendah serta kegandrungan pada pragmatisme membuat
proses bernalar seperti pembuktian, tak lagi dianggap penting.
Lemah
Bernalar
Dampak kebijakan yang tak ramah
pada budaya bernalar dapat dibaca dari beberapa survei internasional, yang
menunjukkan performa siswa kita teramat rendah.
Patut disimak hasil Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for
International Student Assessment (PISA), sejak tahun 2000-an, yang tak hanya
mengukur penyerapan pengetahuan, tetapi juga kecakapan berpikir dan mengolah
pengetahuan. Hasil berbagai studi itu konvergen menuju satu kesimpulan: siswa
kita tak cakap bernalar.
Lebih meresahkan lagi, belum tampak
tanda-tanda perbaikan. Namun, ada secuil berita baik, dari hasil TIMSS 2011
Sains, siswa kita ternyata sangat piawai di tataran menghafal fakta, bahkan
jauh di atas rata-rata dunia. Di tataran kognitif paling rendah ini, seperti
saat ditanya apa rumus kimia dari karbon dioksida, anak- anak kita mengalahkan
teman- temannya di beberapa negara maju, termasuk AS.
Akan tetapi, siswa kita jatuh di
tataran yang butuh penalaran dan pengolahan informasi serta pengungkapan
argumen. Misalnya saat diminta menjelaskan bagaimana mengetahui apakah suatu
zat itu logam. Ini merupakan penanda jelas atas penekanan berlebihan pada
perilaku menghafal dan, sebaliknya, pengabaian proses bernalar.
Pengabaian budaya bernalar di
pra-universitas itu logikanya berpengaruh pada pendidikan tinggi. Secara
informal, sudah jamak di antara pengajar perguruan tinggi terdengar keluhan tak
siapnya lulusan SMA belajar di perguruan tinggi akhir-akhir ini. Perlu
penelitian ilmiah secara saksama guna memahami situasi ini.
Semua warga bertanggung jawab
membangunkan budaya bernalar. Namun demikian, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai kementerian dengan jumlah doktor terbanyak dan mengemban
nama kebudayaan tentunya pegang peran sentral. Di kementerian ini, guru adalah
garda terdepan pejuang budaya bernalar menghadapi gencarnya perilaku nirnalar.
Namun, sekarang guru sulit
membudayakan bernalar. Menggunakan istilah Dr Bana G Kartasasmita yang aktif
dalam pendidikan guru, ”Guru tersandera oleh kebijakan dan sistem.” Bukan salah
guru tak membelajarkan kecakapan bernalar. Kebijakan pendidikan sekarang tidak
ramah terhadap upaya pembudayaan bernalar. Bahkan, pengakuan bagi guru yang
berinovasi membelajarkan bernalar pun nyaris tak ada.
Unsur terpenting sekarang adalah
kemerdekaan guru. Mematahkan pasung penyandera itu sederhana: hanya butuh
rasionalitas. Guru harus diberdayakan jadi seorang intelektual merdeka.
Caranya, menggelorakan kembali semangat belajar guru, terutama untuk mendalami
konsep sekaligus budaya keilmuannya.
Di sini mutlak butuh kepeloporan
perguruan tinggi sebagai lembaga pengembang ilmu. Juga, sangat perlu penggunaan
bahasa yang berbudaya saat membangun komunikasi dengan guru. Kemudian, perlu
penyadaran guru atas peran pusatnya dalam pembangunan negara berdasarkan
intelektualitas. Hasrat kejuangan dan semangat kemerdekaan guru akan berimbas
langsung pada siswa yang bergairah bernalar.
Guru berdaya otomatis memicu
atmosfer subur sehingga pelajar bergairah bermatematika dan bersains; bukan
beriman kepatuhan pada rumus atau ketakutan salah. Apalagi sebagai sebuah seni,
matematika sejatinya mengundang pelajar mempertanyakan, meragukan, dan
mengembangkan aturan. Matematika bukan kumpulan aturan lalu lintas yang harus
dipatuhi.
Konon, matematikawan pertama
Indonesia, Sam Ratulangi, saat menjumlahkan bilangan tak ikut aturan biasa. Ia
mulai dengan yang terbesar, yakni puluhan, baru satuan. Tentunya, buyut-cicit
Sam Ratulangi di abad ke-21 ini juga mampu mencipta algoritmanya sendiri.
Matematika adalah buatan manusia
yang punya ketaksempurnaan, maka perlu dikritisi dan dikembangkan. Pertumbuhan
sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika merupakan pilar pembangunan
negara berdasarkan intelektualitas. Dan, pertumbuhan ini butuh guru merdeka.
Iwan
Pranoto ;
Guru Besar
Matematika ITB
KOMPAS, 20
Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi