MASYARAKAT kembali tersentak ketika
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan membubarkan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) yang sering dipelesetkan orang sebagai Rintisan Sekolah
Bertarif Internasional. Ketersentakan itu menyusul "kejutan"
perubahan kurikulum pada tahun lalu, yang juga menimbulkan pro dan kontra.
Namun, kali ini sudah bukan saatnya
lagi kita berdebat tentang RSBI karena secara peraturan sudah selesai. Yang
terpenting sekarang, bagaimana langkah selanjutnya setelah RSBI ditiadakan?
Yang harus menjadi perhatian semua
elemen masyarakat adalah masa depan eks RSBI, terlebih pada masa transisi
sekarang ini. Tugas berat terutama ada di pundak guru dan sekolah.
Mendidik dan mengajarkan suatu ilmu
tidak bisa setengah-setengah. Akan sangat menjengahkan manakala ada pembedaan
"label" RSBI dan non-RSBI yang menciptakan stereotipe: yang satu
lebih unggul dari lainnya.
Lebih miris lagi manakala
stereotipe itu merasuki jiwa anak didik yang melahirkan konsep "aku"
dan "kamu", seakan-akan "aku" lebih tinggi, lebih superior
dibandingkan dengan "kamu".
Terlebih lagi jika pembedaan label
itu berimbas pada pembedaan materi dalam proses belajar mengajar dan
penyampaian ilmu pengetahuan. Bukankah memberikan ilmu tidak boleh
setengah-setengah? Jangan lantaran RSBI, ilmu diberikan sepenuhnya, sementara
yang non-RSBI hanya diberi separuh.
Para guru menggunakan
"kecepatan dan kemampuan penuh" ketika mengajar di RSBI, sementara di
non-RSBI "kecepatan dan kemampuan hanya setengahnya". Logikanya tidak
demikian.
Saya teringat penggalan novel-silat
Nagasasra dan Sabukinten mahakarya SH Mintardja yang sangat populer pada
1960-an. Dikisahkan tentang tokoh golongan hitam Lowo Ijo. Penguasa Alas
Mentaok itu adalah murid kinasih Pasingsingan, tokoh yang selalu mengenakan
topeng dan jubah. Kepada Lowo Ijo, Pasingsingan menurunkan semua kesaktiannya,
karena mendapat "setoran" yang lebih besar, sementara dua murid yang
lain --Watu Gunung dan Wadas Gunung-- hanya mendapat ilmu setengah-setengah
karena upetinya terbatas.
Dampak
Inferior
Saat ini, yang terpenting bagaimana
meminimalkan dampak pascapembubaran RSBI, baik bagi kelangsungan proses belajar
mengajar maupun psikologi siswa dan guru. Salah satunya, jangan sampai
menciptakan inferioritas siswa eks RSBI. Hal itu bisa dipahami, mengingat label
sekolahnya yang dulu "unggulan", elite, dengan fasilitas yang
ìberbedaî dari teman-temannya yang non-RSBI.
Tidak menutup kemungkinan muncul
perasaan "tidak terima" ketika zona nyamannya diusik. Siswa merasa
rendah diri, malu, dan bingung berhadapan dengan teman-temannya yang non-RSBI.
Apalagi dalam pergaulan teman sebaya, bisa jadi siswa-siswa non-RSBI merasa
mempunyai kesempatan "membalas", "melampiaskan"
superioritasnya dengan mengejek siswa eks RSBI karena statusnya yang
dibubarkan, seolah-olah menjadi status yang tidak jelas. Sementara dalam
pergaulan di sekolah, siswa-siswa eks RSBI "tidak bisa diterima
setara" dengan yang non-RSBI karena dianggap "tidak jelas
statusnya" atau sudah "bukan kelompoknya".
Di sinilah diperlukan peran guru
dan pihak sekolah. Jangan sampai siswa yang non-RSBI sekarang merasa punya
kesempatan "memukul balik" yang eks RSBI, dan mereka berbalik
diliputi superioritas. Bagi guru eks RSBI, jangan sampai pembubaran ini
"melemahkan semangat mengajarnya". Dengan pemahaman mengajarkan ilmu
tidak setengah-setengah, guru tidak boleh berpikiran "sudah tidak RSBI,
jadi mengajarnya ya tidak usah yang bermutu tinggi". Saya yakin para guru
tidak akan bersikap demikian.
Bagaimana
Selanjutnya?
Setiap peralihan status akan
menimbulkan masa transisi. Menurut Victor Turner (1976), peralihan status dalam
ritus kehidupan maupun dalam peralihan status sosial akan menciptakan
"liminalitas" komunitas yang bersangkutan. Liminalitas adalah suatu
kondisi yang ambigu, "masa kebimbangan", terkadang bingung. Hal ini
juga akan dialami oleh semua komponen eks RSBI.
Satu kaki harus keluar dari RSBI,
sementara kaki lainnya terkadang masih berpijak pada era RSBI. Karena itu, pada
masa transisi liminal ini, semua elemen masyarakat, guru, dan orang tua, mulai
"meredakan keliminalan" itu dengan memberikan penjelasan kepada siswa
dan menenteramkan statusnya.
Para guru harus tetap mengajar,
tidak dengan setengah-setengah, justru tunjukkan bahwa mutu unggul dan siswa
berprestasi bukan karena "label" melainkan karena kualitas
pembelajaran. Label hanyalah atribut yang justru menimbulkan kesenjangan dan
stereotipe diskriminasi. Sekolah harus solid bahu-membahu menunjukkan kepada
masyarakat bahwa sekolah tetap unggul dan berprestasi. Yang selama ini sudah
unggul dan berpredikat prestisius dengan RSBI-nya (dulu), tetap diteruskan
tanpa "kehilangan semangat". Semua diberi ilmu sepenuh Lowo Ijo,
tetapi bukan lantaran besaran "setoran"-nya ke Pasingsingan...
Tri
Marhaeni Pudji Astuti ;
Guru Besar
Antropologi
Jurusan
Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SINDO, 15
Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi