Pengantar penjelasan pada
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menyebutkan hakikat pendidikan dalam konteks pembangunan nasional, yaitu
sebagai pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan, dan pengembangan potensi diri.
Pendidikan diharapkan dapat
memperkuat persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi
kesempatan yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi diri.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No 20/2003 menjadi dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem
pendidikan nasional. UU tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan
pendidikan nasional, serta strategi untuk mewujudkan pendidikan bermutu agar
relevan dengan masyarakat dan berdaya saing global.
Tiga
prinsip
Terkait visi dan misi pendidikan
nasional, reformasi pendidikan meliputi, pertama, perubahan penyelenggaraan
pendidikan, dinyatakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mampu
membangun kemauan, serta mengembangkan potensi kreativitas peserta didik.
Prinsip itu memicu pergeseran paradigma proses pendidikan, dari pengajaran ke
pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang lebih
menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada
peserta didik bergeser pada paradigma pembelajaran. Ini membuat peserta didik
lebih mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya.
Kedua, perubahan pandangan
tentang peran manusia. Dari paradigma manusia sebagai sumber daya pembangunan
menjadi manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu
membentuk manusia berkarakteristik personal yang paham dinamika psikososial dan
lingkungan kulturalnya. Bukan sekadar siap pakai.
Ketiga, perubahan pandangan
terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan
sosio-kulturalnya yang nantinya menumbuhkan individu sebagai pribadi yang
mandiri dan berbudaya. Dalam hal ini perbedaan anak didik lebih dihargai
daripada persamaan.
Ketiga prinsip ini menjadi dasar
reformasi pendidikan nasional. Namun, hingga 14 tahun Reformasi, tanda-tanda
perubahan penyelenggaraan pendidikan belum kentara, bahkan lebih menonjol
penyimpangan dan kemandekannya. Menurut penelitian CE Bebby (1970), guru
(pendidik) di Indonesia lebih nyaman dalam kemapanan dan bersikap
antiperubahan.
Kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) sebagai ganti kurikulum berpusat materi tidak membawa perubahan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22/2006 tentang standar isi menyebut
kurikulum tetap berbasis pada materi. Permendiknas No 23/2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan berisi kurikulum berbasis kompetensi. Dua permendiknas ini
menyulitkan guru. Mau berpegang pada isi atau kompetensi?
Ujian
Nasional
Evaluasi hasil belajar yang dalam
UU Sisdiknas Pasal 58 menjadi hak guru untuk menyelenggarakan diubah pada PP No
19/2005 menjadi Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Terakhir pengambilan nilai menjadi 60 persen UN dan
40 persen ujian kelas. Alasan penyelenggaraan UN adalah ”dari dulu” UN
diselenggarakan. Padahal, yang dari dulu justru harus direformasi.
Kualifikasi guru menuntut pada
hasil. Uji kompetensi guru menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi awal
rata-ratanya 42,5, sedangkan hasil uji kompetensi guru yang telah bersertifikat
rata-rata 44,5. Artinya, sertifikasi berdasarkan portofolio tak menunjukkan
perbedaan signifikan dengan guru yang belum disertifikasi. Maka,
penyelenggaraan pendidikan nasional oleh guru bersertifikasi tidak ada bedanya
dengan guru yang belum diberi sertifikat.
Penjelasan tentang prinsip
perubahan tak tergambar dalam sejumlah dokumen resmi pendidikan nasional.
Pesan-pesan dari kementerian lebih terkesan tidak memihak reformasi. Semangat
penyelenggara pendidikan nasional masih terikat pada prinsip- prinsip yang
harus ditinggalkan.
Contohnya RAPBN 2013. Pada bagian
penjelasan Meningkatkan Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat, subjudul
pendidikan murah yang terjangkau dibuka dengan kalimat: ”Sumber daya manusia
Indonesia yang andal dan terdidik”. Kata sumber daya manusia dalam prinsip
kedua dari reformasi pendidikan telah diganti menjadi manusia sebagai subyek
pembangunan yang utuh.
Masih sangat kuat pendapat bahwa
pendidikan bertujuan menciptakan manusia siap kerja. Padahal, reformasi
mendasarkan pandangan bahwa pendidikan bukan hanya menciptakan manusia yang
siap kerja, melainkan manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh.
Dalam praktik masih dipertukarkan
istilah-istilah, misalnya, pengajaran dengan pembelajaran, sumber daya manusia
dengan manusia subyek pembangunan, murid dengan peserta didik. Pengertian
pendidikan pun masih diartikan sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia,
padahal cita-cita UU Sisdiknas mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensinya sehingga memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan terampil.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang menegur anak-anak peserta upacara hari anak nasional menunjukkan bahwa
presiden sebenarnya tak paham prinsip reformasi pendidikan yang ketiga. Pada
prinsip itu pandangan terhadap keberadaan peserta didik (anak) terintegrasi
dengan lingkungan sosial budaya dan pribadi anggota masyarakat.
Menegur di depan umum termasuk
tidak memahami prinsip kebebasan anak. Anak yang lelah menunggu presiden dari
pukul 06.00 berbeda dengan orangtua yang menunggu 4 jam apalagi dengan pengawal
presiden.
Banyak
Bertentangan
Banyak sekali ungkapan dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta pejabat pendidikan yang bertentangan
dengan prinsip perubahan. Misalnya istilah pengajaran, dalam arti belajar dan
mengajar, masih tidak berubah menjadi pembelajaran.
Tujuan pendidikan ”siap pakai”
sebagai prinsip pendidikan pada zaman Belanda—untuk menyiapkan tenaga kerja
kelas rendah, seperti mandor perkebunan dan pamong praja—masih dipergunakan.
Pendidikan sekadar menciptakan tenaga siap pakai. Padahal, sejak Orde Baru
istilah sumber daya manusia diubah menjadi manusia seutuhnya dan setelah
Reformasi menjadi manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan (meninggalkan
istilah siap pakai).
Prinsip-prinsip perubahan tidak
dijiwai oleh para pejabat pendidikan sehingga menimbulkan kesan seolah-olah
pendidikan nasional tidak mempunyai arah. Padahal, bukan sistem pendidikan yang
tidak punya arah, melainkan pelaksana-pelaksana kebijakan pendidikan nasional
yang salah arah
Utomo
Danan Jaya ;
Direktur
Institute for Education Reform
Universitas
Paramadina
KOMPAS,
20 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi