PENDIDIKAN merupakan sarana
humanisasi bagi anak didik. Itu disebabkan pendidikan memberikan ruang bagi
pengajaran etika moral, dan segenap aturan luhur yang membimbing anak didik
mencapai humanisasi. Melalui proses itu, anak didik menjadi terbimbing,
tercerahkan, dan tabir ketidaktahuannya terbuka sehingga mereka mampu
meniadakan aspek-aspek yang mendorong ke arah dehumanisasi. Itulah ancangan
pendidikan bangsa kita, yang tidak saja menggaransikan keluaran manusia sejati,
tetapi juga sosok yang kaya akan visi humanisme dalam kerangka kognitif,
afektif, dan psikomotoriknya.
Apakah ancangan mulia pendidikan
bangsa itu saat ini sudah bisa direalisasikan? Tampaknya belum! Pendidikan kita
belum mampu menjadi wahana humanisasi bagi anak didiknya. Pendidikan kita
bukannya menjadi ruang menyemai humanisasi, malah menjadi wahana melanggengkan
kekerasan (bullying) dan ketidakmanusiawian terhadap anak didiknya. Pendidikan kita
sepertinya justru digegas menjadi ajang unjuk kekerasan guru atas siswa, atau
senior terhadap juniornya.
Kekerasan berarti penganiayaan,
penyiksaan, atau perlakuan yang salah. Menurut WHO (2000), kekerasan terhadap
anak atau child abuse dan neglect adalah tindakan melukai berulang-ulang secara
fisik dan emosional anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman
badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan
seksual. Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan bisa berbentuk
kekerasan fisik, psikologis, verbal, emosi dan sosial.
Menurut Francis Wahono (2003),
kekerasan lebih sering terjadi pada unsur utama pendidikan, yakni pelaku
pendidikan. Kekerasan itu bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang
lain. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada unsur selain pelaku
utama pendidikan. Kekerasan itu mewujud dalam kerangka, pranata, dan kurikulum
pendidikan. Kekerasan itu bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui
aparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat.
Anak didik menjadi objek langsung
dari kurikulum yang didukung kerangka dan pranata pendidikan. Pendekatan
pendidikan yang digunakan para guru lebih sering bersifat top down, dari atas
ke bawah dan mendikte. Pendekatan seperti itu berasumsi bahwa guru ialah pusat
kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai, sehingga tidak dapat
dibantah. Sistem pendidikan model itu sebenarnya cocok dalam dunia militer,
dengan disiplin seragam, ketat ideologi, dan taat perintah tanpa boleh banyak
bertanya. Sebagai konsekuensinya, metode pendidikan yang dipakai ialah metode
anjing.
Sebagaimana tuan dan anjing,
tulis Agus Wibowo (2008), anjing dididik tuannya dengan sistem reward and
punishment agar si anjing menjadi setia dan tunduk kepada tuannya. Pendekatan
top down, sistem militer, dan metode anjing yang selama ini cenderung dipakai
dalam sistem pendidikan kita telah menjadikan lembaga kependidikan sebagai
penghantar kekerasan.
Tindak kekerasan terhadap anak
didik akan sangat terasa sekali setiap diadakan masa orientasi siswa (MOS) atau
masa orientasi peserta didik baru (MOPDB). Benar, tujuan awal MOS sangat ideal,
agar anak didik mengenal bagaimana proses pembela pembelajaran nantinya akan
diikuti, mengenal lingkungan sekolah, sarana prasarana sekolah dan pemanfaatannya,
sistem pembelajaran, guru dan model pembelajarannya, serta daya dukung
pembelajaran. Jika memakai prinsip tersebut, pelaksanaan MOS sebenarnya tidak
ada masalah.
Kekerasan
psikologis?
Namun, dalam praktik MOS di
lapangan, sekolah dalam hal ini masih tetap melanggengkan budaya kekerasan pada
anak didiknya. Kekerasan dalam bentuk halus, misalnya, anak didik baru
diperintahkan mengenakan berbagai atribut yang tidak lumrah, seperti memakai
topi dari koran bekas, menyandang tas dari `kantong gandum', dan memakai sepatu
serta kaus kaki aneh. Dasar-dasar militeristis juga mulai diajarkan, seperti
baris-berbaris dan penghormatan kepada senior dalam hal ini kakak kelas atau
panitia MOS.
Pada kasus sebagaimana
disebutkan, anak didik mengalami kekerasan yang disebut Ted Robert Gurr (2000)
sebagai kekerasan yang timbul akibat deprivasi relatif. Saya menyebutnya
sebagai perasaan kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Sebagaimana kita ketahui, kondisi
psikologis siswa saat ini mengalami kemajuan yang amat pesat. Televisi terutama
menyumbang hampir separuh perubahan persepsi. Anak didik sekarang lebih cepat
dewasa sebelum waktunya.
Tujuan pihak sekolah
memerintahkan anak didik memakai aneka atribut aneh mungkin baik. Namun, mereka
lupa atau memang belum lupa--atau tahu--bahwa psikologis anak didik sekarang
berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Sebagian besar siswa mungkin merasa malu
mengenakan atribut itu! Karena takut mendapat sanksi jika tidak menuruti pihak
sekolah, anak didik rela menjadi `badut' yang ditonton para seniornya. Perasaan
malu bercampur takut sudah pasti membawa dampak tersendiri. Ada
blocking--meminjam istilah Siti Fathimatuz Zahroh (2010)--emosi yang menyumbat
tataran kongnitif mereka.
Perasaan benci, kesal, sebal, dan sebagainya
mulai meng hambat penalaran mereka untuk belajar.
Belum lagi, jika MOS masih kental
dengan upaya pen disiplinan. Istilah `disiplin' atau mendisiplinkan anak didik
selama ini menjadi salah satu tameng bagi sekolah, khususnya para guru, dalam
memberikan hukuman fisik. Padahal, berbagai bentuk hukuman fisik bisa membuat
trauma siswa serta berakibat buruk bagi perkembangan psikologis siswa kelak.
Kasus kekerasan fisik dengan
dalih pendisiplinan belum lama ini kembali terjadi dalam acara MOS di SMA Don
Bosco, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Salah seorang siswa baru yang mengikuti
MOS mengaku dipukul dan disundut rokok oleh kakak kelasnya. Meski kasus
kekerasan dalam MOS di SMA Don Bosco sudah d ditangani pihak berwajib, seg
genap insan pendidikan patut prihatin. Meski MOS sudah diupayakan minus
kekerasan, pada praktiknya beberapa sekolah masih melanggengkan budaya
mengebiri proses humanisasi anak didik itu.
Perlu
Kerja Sama
Kasus kekerasan dalam MOS masih
seperti gunung es. Artinya yang terjadi di SMA Don Bosco barangkali hanya
sebagian kecil yang bisa terungkap. Di tempat lain, diduga juga masih terjadi.
Data teranyar yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2012)
berdasarkan survei di sembilan provinsi, yaitu Sumatra Barat, Lampung, Jambi,
Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, dengan
total responden 1.026 siswa, menyebutkan masih tingginya tindak kekerasan pada
siswa.
Survei yang dilaksanakan pada
April 2012 itu menunjukkan 66,5% (628 anak) pernah mengalami kekerasan yang
dilakukan oleh guru, 74,8% (767 anak) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan
teman sekelas, dan sebanyak 56,3% (578 anak) pernah mengalami kekerasan yang
dilakukan teman lain kelas selama MOS.
Guna meminimalkan tindak
kekerasan pada anak didik itu, KPAI merekomendasikan agar pihak sekolah dan
dinas pendidikan memastikan pelaksanaan MOS sesuai dengan tujuan pendidikan,
serta bebas dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Kepala sekolah harus
bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan MOS. Pihak Kemendikbud juga harus
memberikan pendampingan dan pengawasan secara ketat. Masyarakat, termasuk wali
murid dan komite sekolah, juga perlu berpartisipasi untuk mengontrol
pelaksanaan MOS ini agar berjalan bagus, bermakna, sejalan dengan prinsip
pendidikan, sejalan dengan prinsip perlindungan anak, dan terbebas dari
kekerasan.
Akhirnya, kita berharap di masa
yang akan datang MOS tidak menimbulkan penderitaan bagi anak didik. Bukan
zamannya lagi masa MOS dijadikan sarana ‘balas dendam’ senior kepada junior,
kekerasan dengan dalih pendisiplinan, eksploitasi, dan berbagai pungutan liar.
Para guru harus menyadari persepsi awal anak didik tentang sekolah dan para
gurunya akan berpengaruh pada kualitas belajar mereka. Selain itu, keengganan
anak didik mempelajari sebuah mata pembelajaran yang diajarkan seorang guru
akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan mereka terhadap mata pelajaran
tersebut.
Sudah saatnya para guru dan
stakeholder sekolah memahami bahwa esensi dasar pendidikan ialah wahana
humanisasi anak didik melalui pembentukan jati diri dan prilaku dalam koridor
kognitif (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku). Lingkungan,
kurikulum, metode, dan kultur budaya merupakan unsur-unsur yang bertalian erat
dengan outcome pendidikan itu sendiri.
Sekolah yang dikelola secara
humanis, nirkekerasan, tanpa eksploitasi, dan pelaksanaan disiplin yang tidak
kaku akan menciptakan iklim budaya yang nyaman.
Sekolah dengan budaya yang demikian akan melahirkan anak didik yang kaya
akan perspektif humanisasi di samping berkarakter, bukan mereka yang beringas
lantaran diedukasi dengan kekerasan. Mestinya, para stakeholder sekolah bisa
memilih mana yang terbaik!
Agus
Wibowo ;
Magister
Pendidikan dan Penulis buku Malpraktik Pendidikan
MEDIA
INDONESIA, 24 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi