KONFLIK horizontal semakin menjadi. Seluruh aspek
kehidupan seperti menjadi pemantik kerusuhan dan konfl ik, mulai perebutan lahan
(persoalan ekonomi), harga diri (sosial), kepercayaan terhadap Tuhan (agama),
dan etnisitas.
Peristiwa tersebut tergambar jelas di Indonesia
saat ini. Pada Agustus saja setidaknya ada empat peristiwa kerusuhan di
Nusantara. Minggu (19/8), konflik SARA pecah di Sukabumi, Jawa Barat. Tepatnya
di perkampungan Tarekat AtTijaniyah Mutlak di Kampung Cisaloka, Desa Bojong
Tipar, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tujuh rumah
jemaat At-Tijaniyah dibakar massa. Pembakaran itu dipicu meninggalnya seorang
ustaz di daerah tersebut. Jenazah sang ustaz ditemukan tak jauh dari
perkampungan Tarekat AtTijaniyah. Tarekat ini pernah divonis sesat dan
menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Senin (20/8), bentrok antara warga dua kampung pun
menghiasi indahnya silaturahim dan bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri di
Sigi, Sulawesi Tengah. Satu korban tewas ditemukan dalam bentrok di Sigi dan
puluhan luka, termasuk seorang wartawan Nuansa TV. Bentrok juga terjadi di
Kelurahan Mangga Dua dan Toboko, Ternate, Maluku Utara. Jatuhnya korban tidak
bisa dihindari di tengah garang dan emosi massa yang tak terkendali.
Penembakan juga terjadi pada Selasa (21/8) di
Enarotali, Kabupaten Paniai. Penembakan yang dilakukan anggota Organisasi Papua
Merdeka itu menewaskan Brigadir Polisi Yohan Kisiwaito. Dalam enam hari
terakhir, lima warga dan polisi di Papua tewas ditembak di lima tempat berbeda.
Teranyar ialah konflik di Sampang, Madura (26/8).
Bentrokan antara kelompok anti-Syiah dan Syiah itu mengakibatkan dua orang
meninggal dan lima lainnya terluka. Korban tewas ialah Hemama, 40, dan adiknya,
Thohir, 35. Keduanya dikenal sebagai penganut Syiah. Korban luka berasal dari
kelompok anti-Syiah, yakni Syaiful, Samsul, Syaifuddin, Hasyim, dan Mat Soleh.
Selain korban dari warga, Kapolsek Omben AK Aries Dwi terluka parah di dahi
karena lemparan warga saat mencoba melerai bentrokan. Yang terjadi tidak hanya
bentrok. Beberapa rumah warga Syiah di Sampang pun hangus dibakar massa. Kini
warga Syiah diungsikan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebuah
potret kebangsaan yang tercoreng.
Semakin tingginya intensitas konflik di Indonesia
menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Mengapa hal tersebut menjadi biasa di
tengah euforia demokratisasi? Bagaimana pendidikan berperan dalam membangun
keadaban bangsa tanpa konflik?
Dua
Simpul Konflik
Menurut Jacques Bertrand dalam Nationalism and
Ethnic Conflict in Indonesia, ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan
konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan
ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis.
Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung
kestabilan, sementara yang paling mengekang, kerap terkait dengan jenis
nasionalisme etnik terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap
mereka yang disingkirkan.
Kekerasan juga bisa terjadi ketika
kelompok-kelompok tercakup sebagai individu-individu, tetapi mereka tidak
diakui sebagai kelompok. Dalam kasus ini, inklusi bersifat luas dan mengikuti
kriteria individualis menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi tidak ada
pengakuan atas kelompok-kelompok tertentu, perbedaan budayanya, dan kepentingan
yang muncul dari perbedaan tersebut. Penolakan pengakuan yang berulangulang
bisa menyebabkan kekerasan.
Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan
terkait dengan ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meski kriteria
keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin
memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari
suatu kelompok yang hegemonis.
Dalam hal ini, bahasa resmi, kurikulum pendidikan,
simbol nasional, praktik agama, atau representasi formal dalam lembaga-lembaga
politik bisa memunculkan debat dan konflik. Perundingan bisa berlang sung
melalui jalan damai jika pemerintah dilengkapi saluran atau wadah yang memadai
untuk menyuarakan keluhan dan menciptakan tekanan terhadap kelompok yang
dominan. Kelompok bisa membuat klaim dan mengedepankan kepentingan mereka
melalui sarana kelembagaan formal seperti representasi dalam legislatif, atau
sarana-sarana yang lebih informal seperti kritik terbuka melalui media ataupun
protes politik damai.
Humanisasi
Lebih lanjut, konflik dan ke kerasan yang terjadi
saat ini menunjukkan kepada kita betapa keadaban publik sudah mulai luntur.
Proses humanisasi dalam term pembudayaan ala Driyarkara pun sudah semakin
terpinggirkan.
Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku,
aktor, subjek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk
mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat
hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang
demokratis dan berkepastian hukum dengan setiap kemajemukan dihormati dengan
keberlain annya dan belajar untuk hidup saling damai sebagai warga negara
Indonesia.
Humanisasi pun bermakna kerja kerja peradaban yang
semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manu siawi, semakin
menyejahterakan satu sama lain, karena orang-orangnya juga saling mengem
bangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia
saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke
kondisi hidup bersama ketika manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama
sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).
Tiga
Tahap
Guna mewujudkan hal tersebut, dalam sejarah
filsafat pendidikan kita jumpai tokoh-tokoh yang menekankan aspek penyesuaian
kurikulum dan cara mendidik dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik.
Heinrich Pestalozzi (1746-1827), misalnya, membedakan tiga tahap dalam
perkembangan anak yang perlu diperhatikan dalam mendidik mereka.
Pada tahap pertama itu pikiran anak biasanya masih
cukup kabur dan belum terpilah-pilah. Pada tahap kedua, objek-objek pemikiran
disadari dengan jelas dalam berbagai bentuk dan sifatnya. Pada tahap terakhir,
objek-objek tersebut dapat dimengerti sebagai contoh perwujudan konsep umum.
Dalam proses melewati tahap-tahap tersebut, sebagai peserta didik anak perlu
secara aktif dilibatkan agar ia sendiri memperoleh dan memperdalam pengetahuannya.
Ketiga tahap perkembangan anak menurut Pentalozzi
tersebut menampakkan gema pengaruhnya dalam paham Alfred N Whitehead
(1896-1947) tentang ritme pendidikan. Menurut paham tersebut, dalam proses
pendidikan dapat dibedakan tiga tahap yang secara ritmis perlu dijaga
kelangsungannya.
Tahap pertama disebut tahap romantis, yakni tahap
orang mendapatkan pengetahuan: bahannya masih terasa segar karena baru, tetapi
banyak hal masih belum jelas; ada daya tarik untuk lebih mengerti; pengertian
masih bersifat intuitif. Tahap kedua, tahap presisi, adalah tahap analisis
untuk mendapatkan ketepatan pengertian. Bahan yang diperoleh secara umum dan
global dalam tahap romantis dianalisis, disistematisasikan, dan diolah pada
tahap ini. Tahap ketiga, tahap generalisasi, adalah tahap sintesis dengan
pengetahuan yang diperoleh dapat ditempatkan dalam kerangka suatu sistem
pemikiran tertentu (Alex Lanur, 2000).
Tampak jelas betapa tahapan di sekolah mempunyai
peran masing-masing. Pendidikan dasar (pendidikan anak usia dini, taman
kanak-kanak, dan sekolah dasar) menjadi fondasi utama tahap perkembangan
peserta didik. Di lembaga tersebut sifat dasar peserta didik dibentuk dan
dibangun.
Benarlah ungkapan Romo YB Mangunwijaya, pendidikan
dasar punya peran penting dalam pembentukan karakter bangsa. Di tingkat itu
setiap ajaran dan ujuran akan selalu diingat peserta didik. Kegagalan dalam
pendidikan ini akan bersifat fatal dalam kehidupan peserta didik kelak.
Karena itu, bina damai dalam pendidikan sudah
selayaknya disemai pada tingkat tersebut. Pengenalan hal-hal sederhana seperti
tolongmenolong, menghormati guru dan teman, dan mau mengakui kesalahan menjadi
hal penting.
Hal-hal sederhana tersebut akan mampu membudaya
dalam diri peserta didik. Basis kesadaran itulah yang kemudian dirasionalisasi
dan diteorisasikan dalam tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keberhasilan
rasionalisasi dan teorisasi tentunya tidak dapat lepas dari pendidikan dasar.
Pada akhirnya, bina damai dalam pendidikan
khususnya di tingkat pendidikan dasar sudah selayaknya kembali menjadi agenda
kebangsaan di tengah intensitas konflik yang meninggi. Tanpa hal itu, bangsa
Indonesia akan selalu dirundung masalah dan bara api permusuhan.
Benni
Setiawan
Dosen
Luar Biasa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
MEDIA
INDONESIA , 03 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi