Lewat artikel ”Pendidikan Kunci Pembangunan”
(Kompas, 27/8/2012), Wapres Boediono mengulas tentang hilangnya ”apa” yang
seharusnya diajarkan di sekolah ”untuk menyiapkan manusia-manusia Indonesia
yang mampu berkontribusi maksimal bagi bangsa”.
Tulisan berisi pemikiran yang tampaknya
dimaksudkan sebagai referensi bagi penyusunan kebijakan strategis arah
reformasi pendidikan nasional. Sayang sekali, harus dikatakan, gagasan-gagasan
yang diuraikan Wapres bersifat umum, satu sisi (one- sided), dan abai terhadap
pemikiran pendidikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Wapres menyatakan sampai
saat ini belum ada ”konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan”.
Benarkah? Mengapa di usia ke-67 Republik Indonesia
memiliki seorang wapres yang lebih memilih mengadopsi pemikiran rektor
Universitas Harvard daripada gagasan-gagasan pendidikan kerakyatan dari para
pemikir negeri sendiri? Apakah gagasan dan praktik pendidikan Ki Hadjar
Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Sjafei, RA Kartini, Rohana Kudus, Dwijo
Sewojo, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Ki Mangunsarkoro, Muhammad Yamin, Daoed
Joesoef, YB Mangunwijaya, atau Butet Manurung sudah tidak relevan?
Perspektif bahwa pendidikan kunci pembangunan
hanya satu dari dua sisi hubungan pendidikan dengan masyarakat, yakni
pendidikan sebagai daya dorong perubahan sosial. Pada sisi lain, pendidikan
merupakan obyek kekuasaan politik, yang tak bebas dari aneka kepentingan yang
mengebiri potensinya sebagai daya dorong perubahan sosial. Ini berarti,
implementasi semua gagasan dan program pengembangan pendidikan sangat
bergantung pada kemauan politik dan komitmen para pemegang kuasa.
Sebagai obyek kekuasaan, ranah pendidikan adalah
bagian dari skema pembangunan masyarakat. Ia bagian hilir yang menjabarkan
konsepsi hulu di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Ketiga bidang
bermuara pada apa yang oleh para pemikir politik dirumuskan sebagai visi
kebangsaan dan kenegaraan serta oleh para budayawan diidentifikasi sebagai
gambaran manusia Indonesia. Dalam konteks ini, problem utama pendidikan kita
saat ini bukan hilangnya atau tiadanya ”apa” yang harus diajarkan, melainkan
absennya arah pembangunan sebagai kunci reformasi pendidikan nasional.
Perumusan visi, misi, dan kebijakan pendidikan tak mungkin didasarkan pada
ruang hampa. Harus ada dasar pijakan solid yang memberikan gambaran historis
dan kontekstual tentang hubungan pendidikan dan perubahan masyarakat.
Di mana posisi dan ke mana sebenarnya arah
pembangunan manusia dan negara Indonesia saat ini? Apakah yang pernah
dicanangkan sebagai Visi 2030 dijadikan dasar pembuatan kebijakan? Mengapa
persoalan strategis pendidikan kita hingga kini masih serupa kenyataan 1950-an
ketika kedaulatan Indonesia baru saja diakui dunia?
Ulasan Wapres sebenarnya mencerminkan keterbatasan
perspektif pemerintah dalam merancang pembangunan nasional dan pembangunan
pendidikan nasional. Dengan anggaran pendidikan Rp 331 triliun dalam RAPBN 2013
dan pujian masyarakat internasional atas pertumbuhan ekonomi yang relatif
stabil, pemerintah punya kebutuhan menyeimbangkan penilaian publik dalam negeri
atas kinerja dan keberpihakannya pada kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sayangnya, kebutuhan itu tak diimbangi perspektif yang secara proporsional
melibatkan dan mengapresiasi masa lalu bangsa.
Sifat,
Bentuk, Isi, Irama
Salah satu butir penting pemikiran Wapres
sebagaimana tertuang dalam tulisannya adalah pendidikan memiliki sasaran umum
berupa pembentukan ”sikap dan kompetensi dasar yang perlu dimiliki setiap warga
negara di mana pun mereka berkarya”. Dicontohkan, untuk pendidikan tinggi
tingkat sarjana (S-1), ada delapan kemampuan dasar yang harus diajarkan. Yaitu
kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, dimensi moral, menjadi
warga negara efektif, mengerti dan toleran terhadap perbedaan, kemampuan hidup
dalam masyarakat yang mengglobal, minat luas atas kehidupan, dan kesiapan
bekerja.
Kedelapan butir kemampuan dasar ini dikenal juga
sebagai modern liberal arts atau kompetensi pokok dalam misi pendidikan yang
memerdekakan. Kendati teramat penting, kedelapan kemampuan dasar ini berlaku di
belahan mana pun di dunia saat ini. Artinya, jika delapan butir itu dijadikan
patokan perumusan muatan pendidikan, akan dihasilkan generasi dengan profil
kompetensi dasar yang umum dalam arti tidak menampakkan kekhasan identitas
kulturalnya. Negara seperti Brasil mengadopsi kedelapan butir kemampuan dasar
dengan mengontekstualkannya pada pengalaman dan kebutuhan bangsa Brasil.
Jika hendak mengadopsi kedelapan butir kemampuan
dasar itu, Indonesia rasanya juga perlu menyesuaikannya dengan sejarah dan
kebutuhan bangsa kita agar kekhasan identitas manusia Indonesia tecermin dalam
profil kompetensi dasar generasi Indonesia. Untuk itu, tak ada pilihan kecuali
melihat kembali pemikiran pendidikan para pemikir yang (pernah) kita miliki.
Sebagai patokan dalam upaya pengadopsian itu, rumus yang diajukan Ki Hadjar
Dewantara masih relevan dan mungkin bisa diterapkan. Yaitu sifat, bentuk, isi,
dan irama, di mana sifat itu tetap dan tidak berubah, sedangkan bentuk, isi,
dan irama berubah sesuai konteks waktu, tempat, dan kebutuhan. Sifat dari visi,
isi, strategi, dan kebijakan pendidikan harus tetap berpijak dan berpihak pada
jati diri bangsa. Bentuk, isi, dan irama dari aspek-aspek pendidikan selalu
dinamis, fleksibel, dan selalu disesuaikan kondisi.
Agus
Suwignyo
Pedagog
Cum Sejarawan Pendidikan FIB UGM
KOMPAS ,
04 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi