Membenahi Kurikulum di Sekolah Kita


UPAYA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) mengubah kurikulum pendidikan nasional baru-baru ini patut diapresiasi positif. Rupanya, Kemendikbud mulai menyadari bahwa kurikulum pendidikan kita sarat masalah. Benar jika dikatakan aneka kebijakan memperbaiki kurikulum sudah dilakukan, tetapi kesannya sekadar tambal sulam. Karena sarat masalah, tidak mengherankan jika proses pendidikan dan kualitas lulusan juga tak jarang bermasalah. Bahkan, terjadinya krisis kepemimpinan, korupsi, tindakan amoral, tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, degredasi karakter, dan sebagainya, menurut sebagian besar ahli pendidikan, diduga akibat kegagalan kurikulum itu.

Selama ini, para pemangku kebijakan pendidikan sering mengabaikan kurikulum. Mereka sering menganggap kurikulum sebagai sesuatu yang tidak penting dalam institusi pendidikan. Di tingkat pusat, sering terjadi para penyusun kurikulum diambil bukan dari ahlinya. Karena aspek politis, seorang lulusan pertanian, kehutanan, atau peternakan, misalnya, diangkat menjadi tim pembuat kurikulum nasional. Sementara mereka yang ahli kurikulum, lulusan dari jurusan pendidikan, justru disingkirkan.

Kepala dinas tata kota dan permakaman diangkat menjadi kepala dinas pendidikan!
Kurikulum dalam arti sempit, menurut Suharsimi Arikunto (2008), berupa jadwal pelajaran dan semua pelajaran, baik teori maupun praktik yang ditentukan kepada anak didik selama mereka mengikuti proses pendidikan tertentu. Dalam arti luas, kurikulum adalah semua pengalaman yang diberikan sekolah kepada anak didik selama mengikuti pendidikan. Begitu pentingnya kurikulum, sampai-sampai Leurie Brady (1993) mengibaratkannya sebagai jantung pendidikan.

Kurikulum yang dirancang berdasarkan kajian filosofis yang mendalam, kemudian diaplikasikan dengan manajemen yang efektif, kata Brady, akan menghasilkan pendidikan yang efektif dan berkualitas pula. Sebaliknya, jika kurikulum disusun tanpa kajian filosofis, tidak menyentuh akar permasalahan, tanpa strategi manajemen yang efektif, dan hanya mengafirmasi kepentingan golongan, kelompok, dan ideologi tertentu akan menghasilkan proses pendidikan yang amburadul. Pendidikan dengan kurikulum demikian tidak jarang menghasilkan output penyebab masalah (problem makers).

Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apa saja kesalahan fundamental dalam kurikulum pendidikan kita? Bagaimana strategi jitu memperbaiki--bukan hanya tambal sulam--kurikulum kita agar gayut dengan dinamika perubahan zaman dan output-nya tidak menjadi penyebab masalah? Minim kompetensi?

Menurut Husaini Usman (2012), keterampilan dasar di sekolah kita saat ini berupa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), atau read, write, arithmetics (3Rs), belum cukup menjadi bekal anak didik menghadapi aneka tantangan zaman. Benar ketika bangsa ini tengah beranjak keluar dari era penjajahan, keterampilan itu amat dibutuhkan -lebih-lebih di negara-negara berkembang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika keindonesiaan, beberapa keterampilan dasar yang diajarkan itu dirasa belum cukup.

Oleh karena itu, Husaini Usman, dengan mengutip buku Bernie Trilling and Charles Fadel, 21 Century Skill: Learning for Life in Our Times (2009), menyarankan kurikulum sekolah yang ideal yaitu sesuai konteks bangsa ini. Sebuah kurikulum yang diharapkan mampu menjadi solusi persoalan pendidikan serta problem krusial bangsa ini. Seperti apa kurikulum sekolah ideal di masa depan itu?

Pertama, kurikulum harus mengajari anak untuk berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah. Pengetahuan diawali dengan adanya rasa keingintahuan anak didik. Anak didik tidak menerima begitu saja semua informasi, tetapi juga mengkritisi.

Selanjutnya anak didik diberi kesempatan untuk berdebat dan berdiskusi secara ilmiah. Perlu diperhatikan bahwa diskusi yang dilakukan bukan model debat kusir, bukan debat yang merendahkan fisik seseorang sebagai ciptaan Tuhan, bukan pula debat yang menyerang pribadi seseorang. Agar anak didik tidak mudah putus asa, mereka perlu dibekali cara menyelesaikan masalah.

Kedua, kurikulum harus mengajari anak didik untuk kreatif dan inovatif. Kreatif adalah menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Contohnya, pembelajaran aktif, lagu-lagu baru, lukisan-lukisan baru, dan tulisan-tulisan baru. Inovasi adalah memodifikasi sesuatu yang sudah ada. Misalnya, Kijang Kapsul menjadi Kijang Innova, atau pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Belajar dari bangsa Jepang, di sana maju karena sumber daya manusianya kreatif dan inovatif walaupun sumber daya alamnya minus, bahkan tergolong miskin.

Bagaimana cara merangsang agar anak didik menjadi kreatif dan inovatif? Tentu saja guru dituntut memberikan pelajaran kepada anak didik dengan sedemikian rupa agar mereka reaktif dan inovatif. Motivasi anak didik agar selalu berpikir keluar dari kebiasaan berpikir umum.

Ketiga, kurikulum harus mengajarkan anak untuk bekerja sama, kerja tim, dan kepemimpinan. Abad ke-21 ini memerlukan manusia-manusia yang mampu bekerja sama, memiliki keteram pilan sosial, juga peduli sosial dan lingkungan.

Dalam kerja tim, menurut Deddy Supriadi & Fasli Jalal (2002), dibutuhkan prinsip team work atau together (kebersamaan), empathy (peka terhadap perasaan orang lain), assist (membantu orang lain), maturity (kedewasaan), willingness (kemauan), organization (teratur), respect (hormat atau sopan santun), dan ET kind (berbaik hati). Sebagai praktik nyata, guru hendaknya mencontohkan bagaimana bekerja sama yang baik dengan orang lain.

Kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain agar orang lain mampu mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Setiap manusia, termasuk anak didik, adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Guru dalam hal ini hendaknya memberikan contoh kepemimpinan yang efektif dengan ciri-ciri minimal: jujur, berani, tablig, amanah, cerdas, kompeten, komitmen, visioner, dan pemberi ilham (inspiratif).

Keempat, kurikulum harus memberikan pemahaman mengenai keragaman kebudayaan. Indonesia merupakan negara dengan beragam kebudayaan. Misalnya, budaya Batak berbeda dengan budaya Jawa, berbeda dengan budaya Sunda, Bugis, dan Minang. Guru harus mendidik siswa untuk memiliki kesadaran, menghormati, menghargai, dan mencintai keberagaman budaya tersebut.

Kelima, kurikulum harus mengajari anak didik keterampilan berkomunikasi, menyerap informasi, dan melek media. Komunikasi disebut efektif jika pesan atau pertanyaan yang disampaikan secara lisan, tulis, dan bahasa tubuh diterima oleh penerima pesan sesuai dengan harapan pemberi pesan.

Informasi adalah kekuasaan. Siapa yang paling banyak informasi, ia akan berkuasa dan akan memenangi persaingan. Singapura, misalnya, merupakan negara yang kaya informasi sehingga ia unggul di bidang bisnis.

Keenam, kurikulum mengajari anak didik akan komputerisasi dan melek teknologi komunikasi dan informasi (information and technology communication/ICT). Barang siapa tidak bisa menggunakan komputer dan gagap ICT dapat dipastikan akan ketinggalan jaman.

Namun, anak didik perlu diingatkan agar dalam mempergunakan ICT tidak semua informasi bisa diakses. Anak didik juga harus memiliki filter dalam diri agar mampu menyaring informasi secara tepat.

Ketujuh, kurikulum hendaknya membina karier dan menumbuhkan rasa percaya diri anak didik. Karier anak didik hendaknya disiapkan sejak dini. Sejak awal, anak didik diminta para guru untuk menyebutkan keinginan karier yang akan mereka raih kelak. Tanyakan kepada anak didik, kelak mereka mau jadi apa?

Setelah mengetahui cita-cita anak didik kelak, para guru harus terus memotivasi anak didiknya untuk terus belajar dan berusaha sekuat tenaga mengejar impiannya tersebut. Kemudian guru berkewajiban mendidik, mengajar, melatih, membimbing, menilai, dan mengevaluasi anak didik tersebut sesuai dengan minat bakat, dan perkembangan usianya.

Sekali lagi, kurikulum ideal di sekolah masa depan, sebagaimana telah diuraikan, diharapkan menjawab persoalan pendidikan dan kebangsaan.
 Tentu saja kurikulum itu tidak bisa terwujud tanpa ada kerja sama yang tersinergi antarkomponen pendidikan di sekolah; kepala sekolah, pengawas sekolah, guru, anak didik, tenaga kependidikan, tenaga administrasi dan tata usaha, komite sekolah, dan masyarakat.

Agus Wibowo ; 
Penulis buku dan magister pendidikan UNY
MEDIA INDONESIA, 10 Desember 2012



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi