Dalam suatu wawancara televisi
nasional, Ketua Umum PB PGRI Sulistyo menyatakan bahwa mulai Januari 2013,
organisasi profesi yang dipimpinnya akan menjalankan Kode Etik Guru Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua
DPR Marzuki Alie menyatakan, sebaiknya organisasi profesi guru hanya satu. Ini
agar para guru terikat dalam kode etik yang sama. Dengan demikian, kalau
terjadi pelanggaran kode etik, guru yang terbukti melakukan pelanggaran akan
mendapat sanksi dari organisasi profesi guru yang bersangkutan.
Argumentasinya, bila organisasi
profesi guru jumlahnya banyak, kalau ada guru yang melanggar kode etik di salah
satu organisasi profesi ia akan segera pindah ke organisasi profesi guru
lainnya. Alhasil, yang bersangkutan tidak mendapatkan sanksi atas pelanggaran
tersebut.
Profesionalisme
Perilaku
Informasi akan dijalankannya kode
etik oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan berita gembira
karena kode etik itu merupakan pedoman etis bagi seseorang dalam menjalankan
profesi. Kode etik berisi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
seseorang dalam konteks menjalankan profesi.
Dijalankannya kode etik
organisasi profesi akan menjaga profesionalisme anggotanya. Kalau dalam Kode
Etik Advokat Indonesia dinyatakan advokat dalam melakukan tugasnya tidak
bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih
mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan. Hal itu dimaksudkan untuk
menjaga profesionalisme advokat anggotanya. Kalau dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia disebutkan, setiap dokter senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan tetap setia pada cita-citanya yang luhur, itu pun dimaksudkan
menjaga profesionalisme anggotanya.
Implikasinya, kalau PGRI akan
menjalankan Kode Etik Guru Indonesia, hal itu juga dimaksudkan untuk menjaga
profesionalisme anggotanya. Istilah profesionalisme di sini bukan
profesionalisme administratif, melainkan lebih pada profesionalisme perilaku.
Secara administratif banyak guru Indonesia
yang sudah profesional ditunjukkan dengan sertifikasi pendidik. Pada Pasal 2 UU
Guru dan Dosen disebutkan, guru diakui sebagai tenaga profesional kalau
memiliki sertifikat pendidik. Kalau sekarang lebih dari 1 juta guru kita
memiliki sertifikat pendidik, secara administratif mereka diakui sebagai tenaga
profesional.
Apakah mereka semuanya merupakan
guru profesional dalam konteks perilaku sebagai pengajar dan pendidik? Tentu
tidak karena banyak guru yang perilakunya tidak berubah sebelum dan setelah
dimilikinya sertifikat pendidik.
Kode etik yang nantinya akan
dijalankan oleh PGRI terhadap semua anggota diharapkan dapat menjaga
profesionalisme perilaku guru sebagai anggotanya. Separuh dari problematika
pendidikan di Indonesia niscaya akan dapat solusi apabila guru kita benar-benar
terjaga profesionalisme perilakunya.
Kode
Etik Bersama
Pendapat Marzuki Alie bahwa
organisasi profesi guru cukup satu (PGRI) saja kiranya tepat dalam konteks kode
etik. Realitasnya sekarang di Indonesia terdapat puluhan organisasi profesi
guru. Di luar PGRI ada Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen
Indonesia (FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan sebagainya.
Idealnya organisasi profesi guru
memang cukup satu. Hal ini untuk memudahkan sosialisasi, monitoring, dan
evaluasi Kode Etik Guru Indonesia—yang notabene dirumuskan PGRI—dalam
pelaksanaannya.
Secara empiris memang ada satu
kode etik profesi yang dijalankan oleh banyak organisasi profesi sekaligus,
misalnya Kode Etik Advokat Indonesia dijalankan oleh Ikatan Advokat Indonesia
(Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara
Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), serta Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).
Apakah IGI, FGII, FSGI, dan organisasi
profesi guru lainnya bersedia menjalankan Kode Etik Guru Indonesia yang
notabene dibuat oleh PGRI? Di sinilah masalahnya! Sangat sulit meminta
organisasi profesi untuk menjalankan kode etik profesi yang dirumuskan oleh
organisasi profesi lain yang (kemungkinan) dianggap sebagai saingannya.
Menjaga profesionalisme guru
merupakan komitmen kita untuk memajukan pendidikan nasional. Rencana PGRI
menjalankan kode etik untuk menjaga profesionalisme perilaku guru sewajarnya
diapresiasi.
Ki
Supriyoko ;
Wakil
Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
KOMPAS,
11 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi