Kurikulum
Berbasis Kekerasan
Orangtua murid satu sekolah swasta di Pondok
Indah, Jakarta Selatan, melapor ke polisi karena anaknya menjadi korban
kekerasan dalam acara orientasi sekolah. Hasil visum membuktikan ada sundutan
rokok ke kulit korban oleh para seniornya.
Orangtua korban semula meminta pertanggungjawaban
sekolah, tetapi pihak sekolah menyatakan bahwa kejadian itu berada di luar
lingkungan pengawasan sekolah. Kekerasan tersebut, menurut pihak sekolah,
terjadi setelah program sekolah berakhir, Selasa (24 Juli 2012). Polisi menindaklanjutinya
dengan menyatakan akan memproses kasus itu sebagai tindakan pidana.
Bila diletakkan dalam kerangka politik pendidikan
di Indonesia, pertanyaan utamanya adalah soal mekanisme pembentukan karakter
peserta didik. Setelah kita menyerahkan anak kita kepada pihak sekolah melalui
mekanisme penjaringan dan pembayaran biaya operasional sekolah, lantas
bagaimana sekolah membentuk mental anak kita selama ini?
Bila direfleksikan lebih luas lagi dalam sistem
pendidikan nasional, bagaimana mekanisme perundang-undangan mengantisipasi
salah bentuk karakter yang bisa saja terjadi di tengah-tengah proses
belajar-mengajar?
Salah
Bentuk Identitas
Kasus kekerasan di sekolah selama ini hanya
dipandang melalui perspektif pencarian jati diri individu remaja. Hal itu
sekurang-kurangnya menggunakan perspektif psikologi perkembangan. Bila
mengikuti nalar disiplin ilmu tersebut, remaja digambarkan berada pada upaya
mengidentifikasi diri melalui setumpuk pengalaman lingkungan sosial yang sudah
ada.
Erik Erikson (1998: 231) menyebutkan delapan
krisis dalam kehidupan manusia. Jika melihat tabel krisis tiap fase kehidupan,
krisis remaja adalah krisis yang kelima, yakni antara umur 13-19 tahun. Nilai
utamanya adalah penguatan keyakinan individu. Untuk memperoleh keyakinan itu,
menurut dia, seorang remaja akan terombang-ambing pada dua hal: memperoleh
identitas atau mengalami kebingungan peran.
Akan tetapi, teori ini mengalami kesulitan
manakala harus berurusan dengan kasus salah bentuk identitas. Sebab,
kebingungan peran juga membentuk identitas baru. Lagi pula, kekerasan di
perguruan tinggi tak serta-merta menjadi sebab berganti teori perkembangan
kepribadian karena fase pembentukan identitas itu dianggap sudah selesai saat
kelulusan SMA.
Itulah kenapa kekerasan yang terjadi pada peserta
didik tidak bisa dibidik melalui pencarian identitas. Persoalan yang sedang
dibicarakan dalam diskusi ini adalah kesalahan membentuk identitas dalam
mekanisme pendidikan sedang berjalan.
Buktinya, proses internalisasi kekerasan
sebetulnya berlangsung dalam mekanisme pendidikan yang pincang. Suka atau
tidak, isu besar pemerintah yang dirangkum dalam pembentukan watak sebetulnya
masih jadi utopia. UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mencantumkan tujuan pendidikan adalah menghasilkan orang yang cerdas dan
berakhlak mulia. Namun, pada praktiknya, dalam sistem pendidikan di sekolah
dasar dan menengah hanya mengenal kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
diterjemahkan melalui standar kompetensi dasar dan standar kompetensi lulusan.
Item-item standardisasi pengetahuan itu sudah
terpola sedemikian rupa. Melenceng satu item saja berdampak terhadap skor siswa
dalam kelulusan. Lihat saja, keberhasilan pendidikan selalu diukur dari skor
kognitif yang mampu menjawab benar semua pertanyaan pilihan ganda. Skor
tersebut dapat diperoleh bila guru mampu menyampaikan bahan ajar melalui
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan.
Pertanyaan sederhana yang selalu muncul, item-item
apa yang bisa diturunkan dari definisi berakhlak mulia? Akronim apa yang bisa
dipraktikkan secara mudah oleh para guru sebagai pelaksana? Tentulah bukan
sekadar mampu menghafal ayat suci, mencium tangan, atau mempraktikkan cara
beribadah yang benar. Karena itu, tidak sulit mengatakan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak menjamin adanya indikator berakhlak mulia bisa
beroperasi secara optimal. Hal yang sungguh-sungguh terjadi, mekanisme formal
baru bisa berjalan manakala kejadian-kejadian yang terkait moralitas menimpa
peserta didik, seperti hamil di luar pernikahan, tawuran antarpelajar,
penyalahgunaan narkoba, serta kasus-kasus lain yang sejenis. Di luar itu,
mekanisme pendidikan kembali pada orientasi mengejar standar kelulusan. Tidak
aneh, pengejaran peserta didik baru ditentukan oleh reputasi sekolah yang mampu
meluluskan semua peserta didiknya.
Kurikulum
Siluman
Bila dilihat dari perspektif psikologi pendidikan,
disadari atau tidak, kekerasan itu telah meresap ke dalam kesadaran peserta
didik sebagai media sosial yang efektif. Melukai yunior dianggap kemampuan
menunjukkan identitas dominasi dalam kelompok. Karena, sebagai media interaksi,
kekerasan juga menjadi solusi atas problem-problem sosial yang muncul kemudian.
Bertindak menyimpang dianggap unsur keberanian dalam pembentukan identitas.
Kasus-kasus kekerasan dengan pelaku remaja yang tersebar di media massa,
jejaring sosial, serta media sosial lain memperkuat pernyataan di atas.
Bila logika itu dipahami, cukuplah fakta-fakta
tersebut menunjukkan betapa pemerintah telah gagap menerjemahkan visi sampai
pada tingkat operasional yang mampu dipahami oleh para pelaksana. Pengembangan
pendidikan kehilangan fokus. Konsentrasi di pusat pengembangan tenaga pendidikan
seperti hilang prioritas. Pendeknya begini: organ-organ fungsional pendidikan
tidak memiliki kemampuan mendeteksi salah bentuk karakter yang secara diam-diam
sedang berlangsung.
Saifur
Rohman
Pengajar
Program Doktor Ilmu Pendidikan
KOMPAS,
03 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi