LPTK
Mandul, UKG Pemborosan
(
Wawancara )
Untuk Indonesia yang daya jangkau internetnya
belum sampai pelosok negeri, perhelatan Uji Kompetensi Guru (UKG) secara online
ditanggapi Prof Dr HAR Tilaar, Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta
(UNJ), sebagai tindakan yang lebay alias berlebihan. tak heran, belum sampai
tiga jam UKG online digelar, Senin (30/8) pagi, ratusan ribu guru langsung
"menjerit" akibat gagal akses.
Menurut suami pengusaha kosmetik Martha Tilaar
ini, jika pemerintah ingin melakukan pemetaan kualitas guru, hal itu bisa dilakukan
tanpa perlu lewat ujian secara online. Karena, jelas, upaya itu hanya akan
menghambur-hamburkan uang negara, mengingat hampir sebagian besar guru
Indonesia belum internet minded.
"Jika merujuk pada Undang-Undang (UU) No 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UKG yang dilaksanakan pemerintah ini
menyalahi UU," kata Prof Dr HAR Tilaar dalam perbincangan dengan wartawan
Harian Umum Suara Karya, Tri Wahyuni dan fotografer Annisa Maya di kediamannya
yang asri di Jakarta, Rabu (1/8).
Pria kelahiran Tondano, Sulawesi Utara, 16 Juni
1932 ini mengulik Bab 4 dalam UU No 14 Tahun 2005 yang mengatur tentang
kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi. Bahwa secara tegas dinyatakan bahwa
semua pekerjaan itu dilakukan oleh perguruan tinggi bernama LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan). Bukan oleh sebuah badan bentukan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) seperti yang ada saat ini.
"Ada 12 perguruan tinggi LPTK negeri yang
jadi "mandul" karena tidak tahu harus melangkah ke mana," ujar
doktor lulusan Universitas Bloomington, AS itu.
Dua belas perguruan tinggi eks IKIP yang tahun
2000 lalu beralih status menjadi universitas, menurut alumnus Universitas
Indonesia itu, terlihat mulai kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pencetak
dan pengelola guru. Mereka "mandul" karena selalu
"kedodoran" sebagai universitas, sementara Fakultas Kependidikannya
jalan di tempat.
"Saatnya memperkuat kembali keberadaan 12
perguruan tinggi LPTK negeri. Masing-masing LPTK bertanggung jawab untuk
meningkatkan mutu guru yang ada di wilayahnya, termasuk guru baru yang akan
ditempatkan di daerah itu. Jika ada guru yang tak berkualitas di daerah itu,
pemerintah tinggal minta pertanggungjawaban LPTK setempat," ucap Prof
Tilaar menandaskan.
Komentar
Bapak soal pelaksanaan UKG yang terkesan "amburadul" karena terjadi
gagal akses?
Kejadian semacam itu tidak heran jika melihat
kondisi Indonesia yang sebenarnya belum termasuk masyarakat melek teknologi.
Jangan bandingkan semua daerah sama dengan Jakarta. Banyak guru kita di pelosok,
yang bahkan belum pernah menyentuh komputer. UKG itu cuma pemborosan dan
menghambur-hamburkan uang negara.
Tetapi,
lewat UKG Online, menurut Mendikbud, akan ketahuan peta kemampuan guru
Indonesia?
Untuk mengetahui kemampuan guru yang bagus
sebenarnya tidak perlu lewat UKG. Tetapi, bagaimana melakukan pembinaan guru
berkelanjutan. Karena, persoalan minimnya guru berkualitas itu berpangkal pada
lemahnya pembinaan guru saat ini. Itu yang terpenting. Melakukan pembinaan saja
tidak, bagaimana menilai hasil UKG?
Dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen secara tegas dinyatakan bahwa kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi
dilakukan oleh perguruan tinggi LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan)
milik pemerintah. Saya lihat sekarang pengelolaannya diserahkan ke badan yang
dibentuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengurusi guru.
Selain itu, kompetensi apa yang diujikan juga
tidak jelas. Dalam UU No 14/2005 disebutkan ada 4 jenis kompetensi, yaitu
paedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Jenis kompetensi apa yang
diujikan di UKG pun tak jelas. Apa yang ingin dicapai pemerintah, jika landasan
dari UKG juga tak jelas?
Tetapi,
persoalannya, LPTK yang ada sekarang tak sekuat dulu, mengingat 12 LPTK negeri
yang ada statusnya sudah berubah menjadi universitas?
Memang disayangkan, 12 LPTK negeri eks-IKIP yang
sejak tahun 2000 lalu mengubah statusnya menjadi universitas terkesan
"mandul" dalam pengembangan ilmu kependidikannya. Sedangkan program
studi di luar pendidikan juga terkesan kedodoran dalam mengejar kualitas PTN
non-IKIP.
Tak ada cara lain, selain mereorganisasi dan
restrukturisasi LPTK yang ada. Jika kondisi ini dibiarkan terus, dampaknya
terhadap anak didik. Karena, jika dari keilmuan, alumnus eks-IKIP memang
mumpuni, tetapi dari kemampuan mengajar sungguh menyedihkan. Karena, tidak
ditunjang ilmu-ilmu pendidikan terbaru. Akibatnya, ketika para guru mengajar,
suasana yang terbangun di kelas cenderung pasif dan kaku.
Artinya,
guru yang ada sekarang ini hanya kuat di kemampuan akademik, tetapi miskin
dalam teknik mengajar?
Benar. Karena, universitas eks-IKIP sibuk mengejar
keilmuannya sebagai universitas, sementara ilmu kependidikannya terabaikan.
Maka, tak heran, jika pengajaran di sekolah cenderung rutin dan belum
mengarahkan siswa-siswa pada tindakan yang bersifat reflektif.
Pengajaran yang sebatas kognitif, belum menyentuh
penentuan sikap dan komitmen dalam melakukan tindakan. Jika pendidikan dimaknai
rangkaian tindakan para guru, maka guru harusnya bisa menjadi teladan bagi
siswanya, dan tidak sekadar menjadi tukang mengajar.
Padahal,
justru keteladanan guru penting untuk membentuk karakter siswa, tak hanya soal
kecerdasan?
Berbicara soal guru, tak ada salahnya kita tengok
negara Finlandia yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di
dunia. Kuncinya terletak pada kualitas guru. Profesi guru sendiri adalah
profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan
sekolah menengah terbaik di sana justru mendaftar LPTK.
Guru di Filandia tidak mengajar dengan metode
ceramah, komando atau menjejali siswa dengan tugas-tugas. Karena, terlalu
banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak
menyenangkan.
Kalau mendapat pekerjaan rumah (PR), siswa bahkan
tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Para
guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswanya. Karena, kritikan
akan membuat siswa malu, yang pada akhirnya justru menghambat anak untuk
belajar.
Lantas,
apakah sebaiknya pelaksanaan UKG Online harus dihentikan?
Sekali lagi, UKG sudah menjadi proyek yang tidak
bisa dihentikan begitu saja, karena dananya sudah keluar.
Tetapi, di masa depan, harus ada upaya yang lebih
terstruktur. Karena, kelemahan dalam pembelajaran semacam itu tak bisa diatasi
hanya dengan melihat hasil UKG, setelah itu hanya menjadi hiasan di meja para
pejabat.
Sudah saatnya pemerintah memperkuat kembali
keberadaan LPTK dari universitas eks-IKIP sebagai wadah pembinaan guru mulai
dari pencetakan hingga evaluasi dan monitoring. LPTK juga perlu menetapkan
standar-standar tinggi untuk lulusannya agar anak-anak bangsa ini diajarkan
oleh para guru yang berkualitas.
HAR Tilaar
Guru
Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
SUARA
KARYA, 04 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi