UKG dan Upaya Perbaikan Kualitas Guru


Uji kompetensi guru (UKG) telah dilakukan. Secara teknis masih ada masalah. Di sejumlah daerah UKG itu tidak bisa dilaksanakan karena ada masalah dalam jaringan internet. Konsekuensinya, guru-guru yang gagal mengikuti UKG itu harus mengikuti UKG ulang. Adanya hambatan teknis itu tentu mengecewakan semua pihak. Tapi, yang membuat kita terbelalak adalah berkaitan dengan hasil nilai UKG. Nilai rata-rata para guru itu tidak menggembirakan.

 Sebagian besar guru memiliki nilai kurang dari 50. Terhadap hasil itu, seorang teman secara spontan mengatakan, “Kepandaian guru-guru kita tidak lebih baik dari murid-muridnya!” Hal ini terlihat dari hasil ujian nasional (UN). Tidak sedikit para murid yang memiliki nilai sempurna,10, dalam mata pelajaran tertentu. Sementara itu, di dalam UKG sulit sekali ditemukan guru yang memiliki nilai sempurna.

Mengapa Rendah?

 Pertanyaannya adalah, mengapa nilai UKG itu rendah? Jawaban dari pertanyaan ini jelas tidak sederhana. Bisa saja hal ini terjadi bukan karena ketidakmampuan para guru di dalam bidang studi yang diuji, melainkan karena ketidakmampuan mereka di dalam menjawab soal-soal melalui instrumen modern seperti internet. Tidak bisa dimungkiri, di antara para guru itu masih ada yang gagap di dalam menggunakan komputer dan internet.

 Tapi, satu hal yang harus kita akui adalah karena kualitas para guru kita memang masih memprihatinkan. Penyebab dari realitas demikian ini cukup kompleks. Di antara guru-guru kita masih ada yang hanya mengenyam pendidikan sekolah guru (SPG). Yang termasuk guru dalam kategori ini biasanya yang sudah berumur 50 tahun ke atas dan tinggal di daerah-daerah yang tidak memiliki akses di dalam melanjutkan pendidikan.

 Kalau di antara para guru itu yang tergolong sarjana, tetapi hasil UKG-nya rendah, hal ini tidak lepas dari proses pendidikan yang ditempuhnya, proses rekrutmen, dan proses peningkatan kualifikasi ketika sudah menjadi guru. Tidak bisa dimungkiri, tidak semua guru yang ada saat ini merupakan lulusan dari perguruan tinggi yang berkualitas. Tidak sedikit mereka merupakan lulusan perguruan tinggi yang masih tergolong pas-pasan kualitasnya.

 Konsekuensinya, basis proses produksi ilmu pengetahuan yang dimiliki para guru itu sejak awal memang terbatas juga. Hanya, mereka secara formal adalah sarjana pendidikan yang memiliki indeks prestasi memadai dan karena itu berhak melamar sebagai guru. Input calon guru semacam itu bisa dikurangi secara lebih baik sekiranya proses rekrutmen para guru juga berjalan secara baik. Yang terjadi, seperti dijumpai di sejumlah daerah, proses rekrutmen para guru selama ini diwarnai praktik KKN.

 Konsekuensinya, yang terjaring bukanlah yang terbaik, melainkan yang memiliki kedekatan dengan pejabat di daerah atau yang mampu mengeluarkan uang pelicin. Kalaupun tidak ada praktik KKN di dalam melakukan rekrutmen, daerah juga menghadapi masalah lain, yaitu realitas bahwa para pendaftarnya memang kurang berkualitas. Konsekuensinya, yang terjaring tetap bukanlah yang terbaik, melainkan yang terbaik dari yang kurang berkualitas.

 Ketika Indonesia masih tersentralisasi, masalah semacam itu relatif lebih mudah diatasi. Untuk mengatasi kekurangan guru, misalnya, pemerintah pusat bisa melakukan intervensi, mulai dari terlibat di dalam proses rekrutmen sampai melakukan redistribusi guru-guru di daerah-daerah. Tapi ketika sudah terdesentralisasi dan pendidikan dasar sampai menengah menjadi urusan daerah, upaya semacam itu tidak bisa lagi dilakukan.

 Meskipun demikian, bibit yang tidak bagus itu bisa diatasi oleh dua proses yang saling menopang. Pertama, terdapat kesadaran dari para guru untuk terus-menerus belajar. Kesadaran demikian ini diperlukan karena ilmu pengetahuan dan teknologi itu terus berkembang. Kedua, secara kelembagaan terdapat upaya untuk terus-menerus memfasilitasi para guru untuk memperbaiki kualitasnya seperti melalui pertemuan dan pelatihan para guru dalam mata pelajaran tertentu.

 Hanya saja, dua proses semacam itu belum sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas para guru yang masih terbatas itu. Pandangan masyarakat tentang guru juga berpengaruh terhadap kemunculan realitas semacam itu. Terdapat “kesalahan” branding tentang guru seperti “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Artinya, para guru itu adalah pekerja yang tidak harus memperoleh imbalan yang baik.

 Pandangan semacam itu membuat banyak siswa terbaik tidak ada yang berkeinginan menjadi guru. Yang masuk ke lembaga pendidikan guru adalah murid-murid yang tergolong kelas tiga. Kalaupun ada kelompok kelas satu yang masuk lembaga pendidikan guru, mereka adalah murid-murid yang terpaksa melakukannya karena merasa tidak mungkin mencapai cita-cita yang diinginkannya.

 Belakangan, upaya memperbaiki kualitas para guru secara lebih sistematis lebih terlihat. Branding “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” mengalami modifikasi. Usaha untuk memperbaiki kehidupan guru sudah dilakukan seperti melalui pemberian tunjangan sertifikasi. Sejumlah daerah bahkan telah memberi tunjangan tambahan untuk para guru.

Untuk Apa?

 Tapi, terhadap realitas hasil UKG yang memprihatinkan itu, apa yang bisa dilakukan? Di antara para guru, terdapat ketakutan bahwa UKG akan dijadikan sebagai instrumen untuk memotong tunjangan sertifikasi yang telah diberikan. Karena itu banyak guru yang tidak setuju diadakannya UKG ini. Ketakutan semacam itu bisa dipahami karena program tunjangan sertifikasi baru saja diberikan.

 Bahkan tidak sedikit yang belum menikmati tunjangan sertifikasi itu. Tapi, tujuan pokok UKG tidak berkaitan langsung dengan tunjangan sertifikasi. UKG lebih dimaksudkan sebagai untuk memetakan kompetensi para guru sebagai basis untuk meningkatkan kualitas para guru itu. UKG, dengan demikian, bukan sebagai basis utama untuk menghukum para guru melalui pencabutan tunjangan sertifikasi.

 Meningkatkan kualitas para guru jelas tidak sekadar meningkatkan pengetahuan mereka atas bidang studi yang digeluti dan diajarkan. Yang tidak kalah penting adalah memberikan kesadaran tentang posisi sentral para guru. Di dalam kamus Webster disebutkan bahwa guru adalah “one who is an acknowledged leader or chief proponent, or a person with knowledge or expertise”. Orang Jawa sering menyebut guru sebagai orang yang “digugu” dan “ditiru” atau orang-orang yang menjadi rujukan. Ini berarti guru bukanlah orang sembarangan.

 Yang perlu ditanamkan kepada para guru, dengan demikian, adalah kesadaran bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Adanya kesadaran semacam itu akan memudahkan implementasi intervensi khusus seperti program training dan retraining terhadap para guru yang dilakukan secara regular

Kacung Marijan
Guru Besar Universitas Airlangga dan Staf Ahli Mendikbud
SINDO, 16 Agustus 2012


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi