Hukuman Sosial bagi Koruptor


KPK telah lama dibentuk. Para koruptor juga sudah banyak yang dijebloskan ke penjara. Namun, korupsi masih terus merajalela dan terkesan semakin menjadi-jadi. Bahkan ada koruptor yang bangga telah menjadi koruptor. Para pegiat antikorupsi, termasuk penegak hukum yang serius melakukan pemberantasan korupsi, terus berusaha mencari jalan bagaimana mengatasi masalah ini.

Meskipun demikian, terdapat pertanyaan mengemuka yang selalu diperdebatkan jawabannya. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana membangun desain kelembagaan berupa hukuman yang memiliki efek jera terhadap para koruptor dan orang-orang yang berniat melakukan praktik korupsi?

Terdapat dua kelompok aliran di dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama adalah kelompok yang menekankan pentingnya hukuman penjara maksimalis. Kelompok ini berpendapat, agar para koruptor jera dan mereka yang akan melakukan korupsi mengurungkan niatnya, para koruptor harus dihukum seberat-beratnya. Bahkan, kalau perlu, tempat hukuman mereka adalah tempat yang terisolasi. Malah ada yang mengusulkan hukuman mati sekalian.

Kedua adalah kelompok yang menekankan pentingnya hukuman sosial. Para koruptor, menurut pendapat kelompok ini, tidak harus menjalani hukuman penjara secara fisik di dalam penjara. Mereka cukup ”dipenjara” secara sosial, tetapi konsekuensinya tidak kalah dahsyat kalau dibandingkan dengan hukuman penjara secara fisik.

Contohnya, kalau ada kepala daerah yang terbukti bersalah melakukan praktik korupsi, mereka bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu.

Setengah-Setengah

Di Indonesia, sanksi bagi koruptor lebih diarahkan untuk hukuman fisik. Itu pun tidak termasuk kategori hukuman penjara maksimalis.

Memang, koruptor dari kelompok tertentu dan pelaku kejahatan korupsi tertentu bisa dikenai hukuman maksimal 20 tahun penjara. Akan tetapi, amat jarang koruptor dijatuhi hukum secara maksimal ini. Malah tidak sedikit koruptor yang dihukum kurang dari tiga tahun. Bahkan, ketika kasus-kasus korupsi itu ditangani lembaga yang bukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak sedikit pula yang diputus bebas oleh pengadilan.

Hukuman terhadap koruptor yang masih setengah-setengah itulah, antara lain, yang dipandang sebagai salah satu pangkal mengapa kasus-kasus korupsi masih bermunculan. Hukuman setengah-setengah itu dipandang tidak memiliki efek jera bagi pelaku dan orang-orang yang akan melakukannya.

Adanya hukuman yang lebih berat merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan efek jera yang lebih besar. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita pikirkan adalah terkait adanya realitas bahwa tidak sedikit para koruptor yang berperilaku biasa-biasa saja. Bahkan ada yang merasa tidak pernah bersalah setelah sekian lama mendekam di penjara. Dengan kata lain, tidak tebersit rasa malu pada mereka meskipun pernah menyandang label koruptor dan pernah dipenjarakan.

Penjara Sosial

Dalam kondisi seperti itu, adanya hukuman sosial bagi para koruptor bisa menjadi salah satu alternatif yang tidak bisa dianggap enteng. Di dalam konsep penjara sosial, narapidana tidak serta-merta harus menghabiskan hari-harinya di dalam penjara. Mereka bisa dihukum sebagai pekerja sosial untuk membantu masyarakat.

Namun, dalam hal kasus korupsi, hukuman sosial yang harus diterima jelas harus dibedakan dengan hukuman untuk kasus-kasus lain yang tergolong sebagai kejahatan biasa. Hukuman sosial yang setimpal untuk koruptor adalah menjalankan pekerjaan-pekerjaan ”kasar” di dalam kantor tempat mereka memegang jabatan. Misalnya, mereka harus bekerja melayani orang-orang yang sebelumnya menjadi bawahannya.

Hukuman sosial semacam itu sekaligus berfungsi mempermalukan koruptor di dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa membayangkan adanya bupati yang koruptor memakai baju koruptor. Sehari-hari ia harus membersihkan toilet dan menyapu lantai kantor kabupaten yang pernah dia pimpin.

Hukuman sosial semacam itu tidak serta-merta menghilangkan hukuman secara fisik di penjara sama sekali. Hukuman sosial diberlakukan pada pagi hingga sore hari. Sementara itu, malam hari para koruptor tetap diwajibkan tinggal di penjara.

Meskipun demikian, keberhasilan dalam melakukan pemberantasan korupsi jelas tidak semata-mata bisa dinilai oleh seberapa banyak koruptor yang memperoleh hukuman, baik secara sosial maupun secara fisik. Keberhasilan itu juga sangat ditentukan oleh kemampuan melakukan pencegahan, termasuk menjadikan budaya antikorupsi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks seperti itu, institusi pendidikan, keluarga, dan komunitas memiliki peranan yang sangat penting. Budaya antikorupsi jelas tidak akan bisa lahir begitu saja. Budaya antikorupsi merupakan produk dari pembudayaan nilai-nilai tertentu, seperti nilai-nilai kejujuran dan integritas, di dalam kehidupan sehari-hari.

Institusi pendidikan belakangan sudah mulai bergerak melalui pendidikan antikorupsi kepada para peserta didik. Akan tetapi, gerakan demikian menjadi kurang bermakna ketika institusi lain, seperti keluarga dan komunitas, masih menyebarkan toleransi terhadap nilai-nilai dan praktik korupsi. Pembentukan antikorupsi pada dasarnya merupakan gerakan bersama yang harus dilakukan semua pihak.

Kacung Marijan
Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
KOMPAS, 24 Agustus 2012


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi