Lebih
spesifik, pada pidato di HIPKI Sumatera Barat 18 April 1979 Bung Hatta
menegaskan “…keputusan-keputusan ekonomi untuk rakyat banyak sesuai cita-cita
UUD 1945 tidak berdasarkan mekanisme pasar seperti pada ekonomi liberal…” UU
Migas yang dibela Radjagukguk jelas liberalistik mengacu pada mekanisme pasar.
Kemudian
dalam Pidato pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 15 Juni 1979,
Bung Hatta menegaskan pula: “…pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang
besar-besar seperti membangun tenaga listrik, penyediaan air minum, menggali
saluran pengairan, membuat jalan perhubungan guna lancarnya jalan ekonomi,
menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang
banyak – apa yang disebut dalam bahasa Inggris public-utilities, diusahakan
oleh pemerintah.
Tetapi,
pemimpin perusahaan diberikan kepada tenaga yang cakap… apabila tidak terdapat
atau belum terdapat di antara bangsa sendiri, disewa manajemen asing, dengan
syarat bahwa selama ia memimpin perusahaan negara, ia mendidik gantinya dari
orang Indonesia sendiri… Di mana perlu orang asing dan kapital asing
diikutsertakan… di bawah penilikan pemerintah dan dalam bidang dan syarat yang
ditentukan pula oleh pemerintah”.
Jelas
peranan pemerintah adalah untuk menyelamatkan kepentingan rakyat dan negara,
“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” dan yang “menguasai” hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya “dikuasai oleh negara” untuk “sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Demikianlah
perekonomian imperatif harus “disusun” (Ayat 1 Pasal 33), tidak dibiarkan
tersusun sendiri sesuai dengan selera dan kehendak pasar bebas. Ini pun
sekarang sesuai dengan kehendak zaman kontemporer yang menghendaki the end of
laissez-faire, perlu berakhirnya pasar bebas (Polanyi, Baran, Galbraith, J
Robinson, Tinbergen, Kaldor, Myrdal, Singer, Seers, Sen, Streeten, Kuttner,
Giddens, Etzioni, Akerlof, JW Smith, Williams, Stiglitz, dst).
Mohammad
Hatta memang bukan seorang yang antiasing, tidak pula antimodal asing, tetapi
itu bukan berarti pandangan Hatta yang dikutipnya itu terlepas dari cita-cita
nasional, yaitu bahwa investasi asing maupun pinjaman luar negeri harus mampu
meningkatkan kemandirian nasional.
Tentang
Ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Penjelasan dari
Bung Hatta bahwa “menguasai” tidak harus menjadi “ondernemer”, sama sekali
tidak berarti untuk mengingkari Doktrin Demokrasi Ekonomi”.
The
global rule of the game yang berlaku adalah bahwa “menguasai” haruslah dengan
“memiliki”. Subject matter Pasal 33 adalah “menguasai”, apabila penguasaan
tidak bisa dilakukan tanpa pemilikan, maka haruslah pemerintah “memilikinya”,
minimal 51 persen ke arah indonesianisasi demi menyelamatkan kepentingan dan
kedaulatan negara.
Yang
“vital-strategis” harus dimiliki sepenuhnya oleh negara. Lebih tegas lagi, baik
Bung Hatta atau Bung Karno sudah menggariskan bahwa investasi asing dan
investor asing tidak boleh mempredominasi (beheersen) ataupun mendominasi
(overheersen) ekonomi nasional kita.
Mengenai
open door policy dalam pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal Asing No 1
1967 telah dikritik oleh Bung Hatta pada rapat Panitia Lima 11 Maret. (1)
ekonom-ekonom Bappenas didikan Amerika hanya mau mengekor ekonom-ekonom
Amerika; (2) mengapa konsesi-konsesi antara lain hutan tanpa batas; (3) mengapa
pabrik baja dan semen diserahkan kepada swasta; (4) mengapa pabrik pupuk mau
dibatasi untuk menguntungkan importir; (5) mengapa DPR lumpuh kurang tanggap
menjaga soal pajak dan perjanjian-perjanjian dengan swasta asing untuk bidang
“vital-strategis”.
Kemudian
di dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 pada 6-7 Oktober 1977 Bung Hatta
mengakhiri pidatonya dengan kata-kata: “…Pada masa yang akhir ini negara kita
masih berdasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi politik perekonomian negara di
bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering kali liberalisme dipakai jadi
pedoman. Berbagai barang yang penting bagi penghidupan rakyat tidak menjadi
monopoli pemerintah, tetapi dimonopoli orang-orang China…”
Mengapa
Undang-Undang No 1/1967 diteken Presiden Soekarno padahal Bung Karno baru
bilang “go to hell with your aid” dan keluar dari keanggotaan PBB? Barangkali
Presiden Soekarno mencoba realistis.
Toh
Pasal 4, 5 dan 6 dalam undang-undang itu masih menegaskan bidang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33) yang secara eksplisit
dinyatakan tertutup bagi modal asing, meliputi pelabuhan, produksi, transmisi
dan distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, air minum, kereta
api umum, tenaga atom dan media massa. Inilah penolakan tegas terhadap
neoliberalisme.
Ada
pula “the invisible hands” alias tangan-tangan yang tak tampak atau “tangan
ajaib”, jauh-jauh hari telah merencanakan mengubah Pasal 33 UUD 1945, bahkan
dengan kenekadan luar biasa berantisipasi dan yakin (self-fulfuling prophecy)
bahwa Pasal 33 UUD 1945 pasti berhasil mereka gusur.
Sejak
tahap masih disusun sebagai RUU Migas telah dipersiapkan jauh-jauh hari dan
sudah mereka cantumkan dalam konsiderannya, dan tertulis “Mengingat: ...Pasal
33 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; …”. Padahal, kita tahu bahwa Pasal 33
Ayat (2) dan (3) UUD 1945 telah gagal mereka ubah, tetap utuh sebagai aslinya.
Ketika
amendemen diputuskan dan menolak perubahan antara lain berkat perjuangan
mati-hidup saya dan kawan-kawan saat itu selaku anggota MPR, mereka lupa
menyesuaikan kembali konsideran yang penuh kerakusan imajinasi dan mimpi.
Akibatnya UU Migas konsiderannya tidak valid atau sepenuhnya keliru sebagai
rechtsidee. Jadi, UU Migas secara otomatis batal demi hukum.
Untuk
jelasnya, Pasal 33 dan Hatta mendudukkan rakyat pada posisi
“sentral-substansial” dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebaiknya sistem ekonomi
neoliberalisme (akibat hegemoni akademis yang dipelihara di kampus-kampus kita)
telah menempatkan peran kapital mengungguli harkat manusia, mereduksi kedudukan
rakyat menjadi "marginal-residual".
Itulah
kapitalisme dan neoliberalisme, manusia bebas tampil dalam bentuk
rakus-materialistiknya, jauh dari sosok homo-sosius, homo-humanus dan
homo-religius. Pembangunan diwajarkan menggusur orang miskin, bukan menggusur
kemiskinan.
Sri Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 23 Agustus 2012
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut