Kembali ke Jalan Lurus (1)


Mulai ramai dibicarakan di mana-mana agar kita segera kembali ke jalan lurus, jalan Pancasila. Orang-orang pengemban nasionalisme mulai muak dengan liberalisme dan liberalisasi ekonomi yang dipelihara di negeri ini.

Dalam berbagai pembicaraan publik, mereka bisa tunjuk hidung siapa saja oknum-oknum liberalis, kampus-kampus mana saja yang menjadi benteng liberalisme, bahkan menteri-menteri yang mana saja yang tergolong kawanan kapitalisme global, siapa saja komprador-komprador Konsensus Washington yang tidak memiliki semangat nasionalisme.

Apabila 5 Juli 1959 kita catat sebagai puncak tekad bangsa ini kembali ke cita-cita Proklamasi Kemerdekaan berupa Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945, maka pada 5 Juli 2012 adalah deklarasi “kembali ke Pancasila”, yang diprakarsai antara lain oleh Forum Komunikasi (Foko) TNI dan Polri, Jalan Lurus, Barisan Nasional (Barnas), Nusantara Institut, Jatidiri Bangsa, Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Dewan Harian Nasional (DHN) 1945, dan lain-lainnya.

Selain tokoh-tokoh nasional, purnawirawan TNI/Polri, tak ketinggalan tokoh-tokoh kampus, dan pemuda nasionalis, numplek hari itu di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), mendeklarasikan Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP). Pembina GPP adalah Try Sutrisno dan Sekretaris Saiful Sulun.

Kita berontak terhadap penjajahan Belanda tidak terlepas dari penolakan terhadap sistem ekonomi liberal yang membentuk kapitalisme dan penindasan kolonial. Mohammad Hatta ketika diangkat menjadi pemimpin Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (1926) pidato inagurasinya berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen” (Bangunan Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan) mengutuk tajam liberalisme, kapitalisme dan imperialisme.

Digambarkannya dalam pidato itu bakal pecahnya perang di Pasifik antara Timur dan Barat, yang ternyata benar-benar terjadi 16 tahun kemudian pada 1942.

Kemudian dalam pembelaan (pleidooi)-nya di Pengadilan Den Haag 9 Maret 1928 Hatta yang saat itu berusia 25 tahun telah menolak liberalisme, kapitalisme dan imperialisme, bahkan mengatakan di depan Hakim “lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain”.

Antara tahun 1931-1934 penolakan itu dalam artikel-artikelnya, “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”, dalam Daulat Ra’jat, 20 November 1931 dan artikel-artikel berikutnya “Pendirian Kita” (Daulat Ra’jat, 10 September 1932).

“Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat Indonesia” (Daulat Ra’jat, 20 September 1932), “Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1933), dan yang paling monumental artikelnya yang berjudul “Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja” (Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934). Kesemuanya menggambarkan keganasan kapitalisme yang menghancurkan ekonomi rakyat di Hindia Belanda.

Sepulangnya dari Negeri Belanda akhir 1932 tidak lama Hatta bebas bergerak, ia ditangkap dan masuk Penjara Glodok pada 1933 selama hampir satu tahun. Kemudian Hatta langsung dibuang ke Boven Digoel, Tanah Merah, tempat pembuangan yang paling kejam dan mengerikan.

Di dalam Penjara Glodok itu ia menulis buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (dicetak 1934), di situ ditegaskan oleh Hatta penolakannya terhadap sistem pasar-bebas sebagai lahan hidupnya liberalisme ekonomi.

Ia menegaskan “…teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus, yakni orang ekonomi, yang mengetahui keperluannya yang setinggi-tingginya, yang mengetahui kedudukan pasar, yang pandai berhitung secara ekonomi dan rasional… sebab itu dalam praktik laisser-faire stelsel – persaingan merdeka – tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith… Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah…”. Apa yang dikemukakan Hatta tahun 1934 ini kiranya merupakan embrio Pasal 33 UUD 1945 yang menolak pasar bebas.

Liberalisme berubah lebih ganas dan predatorik menjadi neoliberalisme bersamaan dengan intensnya globalisasi rakus. Memang ada pendapat lain yang menganggap neoliberalisme adalah neo-Post-Keynesian yang tidak strukturalistik.

Neoliberalisme ibarat istilah baru sebagaimana globalisasi juga istilah baru dalam kamus bahasa Inggris. Pandangan Hatta adalah strukturalisme, pemikiran ekonomi yang mengungkap, mengusut dan berupaya mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.

Saat ini, kaum neoliberalis dan pembela-pembelanya makin terang-terangan mengabaikan Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33-nya. Saya ikut membela Serikat Pekerja PLN sebagai Saksi di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan permohonan judicial review menolak UU No 30/2009 agar terhadap PLN tidak dilakukan unbundling lalu bisa dipakai “bancaan” (ramai-ramai dijarah) melalui privatisasi.

Saksi pihak pemerintah Prof Radjagukguk membela UU No 30/2009 mengutipkan bahwa Bung Hatta tidak berkeberatan adanya kerja sama dengan investor asing, tidak pula antipinjaman luar negeri. Demikian pula di harian nasional terkemuka ada iklan anonim yang membela liberalisme, mengungkapkan: “Bung Hatta antikapitalisme, tetapi tidak antikapital…jadi Bung Hatta tidak anti-investasi asing.”

Lalu apa hebatnya kutipan pandangan Bung Hatta oleh Radjagukguk ini untuk membela privatisasi yang kemudian nanti pasti menjadi awal asingisasi. Semua orang terpelajar toh sudah tahu bahwa Bung Hatta, juga Bung Karno bukanlah xenophobic, tidak antiasing.

Pandangan Prof Radjagukguk yang mencuat dari kacamata liberalnya diulang lagi dalam sebuah harian nasional tanggal 27 Juli, katanya “…Bung Hatta tidak antiasing, jadi Pasal 33 tidak antiasing…jadi UU Migas No 22/2001 tidak bertentangan dengan UUD 1945.” Bukan main, doktrin Demokrasi Ekonomi yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945 direduksi dan dipelintir habis-habisan dari konteks Demokrasi Ekonomi.

Bung Hatta mengartikan Demokrasi Ekonomi sebagai: “… Tidak seorang atau satu golongan kecil yang menguasai penghidupan orang banyak, melainkan keperluan dan kemauan orang banyak harus menjadi pedoman …” Inilah titik tolak doktrin ekonomi nasional Indonesia – anti-individualisme, liberalisme dan kapitalisme.

Ditegaskan pula dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 bahwa arti Demokrasi Ekonomi lebih lanjut adalah “kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama (mutualism, pen.) berdasar atas asas kekeluargaan (brotherhood, pen.)…”. (Penjelasan UUD 1945 asli tetap berlaku pada pasal-pasal atau ayat-ayat yang tidak diamendemen pada UUD 2002 – Maria Farida, Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi.)

Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 22 Agustus 2012


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi