Dalam hal menangani koruptor masa kini, mungkin
kita masih perlu mendengar nasihat Bung Karno yang berbunyi: ”Jangan
sekali-sekali melupakan sejarah!”
Koruptor adalah maling. Akan tetapi, tidak sama
dengan maling ayam atau seseorang yang mengambil beberapa buah untuk dimakan
sendiri, termasuk mengambil buah cokelat yang tidak bisa langsung dikonsumsi.
Sanksi
Moral
Belajar dari sejarah yang saya maksudkan adalah
melihat di dalam sejarah kita sendiri tentang peristiwa ”mencuri”. Kita
mengenal di masa lampau, di bawah pemerintahan ratu yang sangat adil, rakyat
tak berani memungut sesuatu barang atau uang yang tercecer di jalan. Sebab,
hukumannya adalah potong tangan.
Adapun yang ingin saya ceritakan kembali adalah
sanksi moral yang dirasa cukup berat bagi orang Bali di abad lalu. Tak begitu
jauh ke belakang, belum lagi 90 tahun lewat, lebih baru dibandingkan yang
terjadi di kerajaan di Jawa yang membuat rakyatnya super-jujur. Namun, untuk
dapat meniru hal ini, ada syarat yang harus dipenuhi, yakni rasa malu.
Orang Inggris bilang: Man is an animal that
blushes, manusia adalah binatang yang bisa merah muka. Binatang tidak bisa
merah muka. Kucing sehabis mencuri juga tidak merah muka, bahkan setelah
dipukul malahan melingkarkan tubuhnya seolah tak bersalah.
Ungkapan ”malu-malu kucing” mungkin benar-benar
dibuat setelah mengamati perilaku kucing. Mungkin! Yang jelas, kucing tak tahu
malu. Walau dia kita pelihara, menerima jatah makan tetap, masih saja suka
mencuri, dan setelah mencuri diam-diam tidur dengan gaya tak bersalah.
Miguel Covarrubias di dalam bukunya yang terkenal,
Island of Bali (terjemahan bahasa Indonesia oleh Sunaryono Basuki Ks, akan
segera terbit), menceritakan pengalamannya selama berkunjung ke Bali tahun
1930-an.
Pada suatu hari dia melewati Desa Silekarang,
bertemu dengan sebuah arak-arakan yang aneh. Seorang lelaki tua dengan memikul
dua ikat padi yang dihiasi bebungaan dan dedaunan diarak oleh sekitar 50
lelaki. Tubuhnya dilumuri cat putih, demikian pula wajahnya. Mereka, para
pengarak tersebut, memberi tahu khalayak bahwa lelaki itu telah mencuri seikat
padi.
Di akhir arak-arakan seseorang menemuinya dan
memberinya sirih untuk dikunyah. Waktu itu memang banyak orang Bali yang
mengunyah sirih dan buah pinang sampai seolah-olah mulutnya mengeluarkan darah
merah. Kalau sekarang, mungkin orang akan memberinya air mineral untuk melepas
dahaganya.
Dalam hal ini sanksi moral membawa beban yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan hukuman badan. Konon, ada orang yang bersalah
minta agar dihukum sesuai dengan hukum Pemerintah Belanda, yakni dimasukkan ke
dalam penjara. Dia merasa lebih nyaman berada di penjara, dapat makan gratis
dan tidak seorang pun yang tahu bahwa dia dihukum.
Di Desa Ubud terjadi tontonan yang lebih
”mengerikan”: seorang lelaki diarak berkeliling desa dengan dikalungi sepasang
sepatu bekas yang dicurinya.
Koruptor
Kita
Terhadap koruptor kita, banyak yang menyarankan
agar mereka dimiskinkan agar tahu rasanya menjadi si miskin. Namun, kita juga akan
berhadapan dengan hukum yang berlaku. Memilah-milah harta hasil korupsi dan
hasil yang ”halal” pastilah dituntut, dan hanya hasil korupsi yang dapat disita
oleh negara. Menghadapi soal ini, para koruptor mampu menyewa para ahli hukum
untuk membela mereka agar hukuman atau sanksi apa pun yang akan mereka terima
bisa sekecil atau seringan mungkin atau bahkan tidak ada sama sekali.
Mempermalukan koruptor seperti mempermalukan
maling di Bali abad lalu? Mungkinkah? Sampai sejauh ini, usul yang masuk baru agar
tersangka korupsi mengenakan seragam khusus yang didesain untuk koruptor.
Kalau sampai ada arak-arakan seperti yang
disaksikan Covarrubias di Bali dilaksanakan pada hari Ahad di Jalan MH Thamrin,
Jakarta, entah upaya apa yang akan ditempuh para koruptor yang sudah divonis
bersalah untuk membela harga dirinya. Entah undang-undang apa yang bisa
digunakan untuk melindungi dirinya. Sebab, belum sampai divonis saja wajah
sudah disembunyikan di balik kerudung. Yah, silakan dipertimbangkan, tetapi
bila tak punya rasa malu, arak-arakan jenis apa pun akan sia-sia.
Sunaryono
Basuki Ks
Sastrawan
KOMPAS,
24 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi