Perubahan kurikulum pada 2013 ini sedikit banyak
membawa "kegalauan" bagi sebagian masyarakat dan pendidik. Adanya pro
dan kontra dalam menyikapi perubahan kurikulum ini merupakan cerminan dari
dinamika pikiran masyarakat yang jamak. Pun demikian tampaknya Kemendikbud
mempunyai keputusan final bahwa Kurikulum 2013 tetap dilaksanakan pada awal
Tahun Ajaran Baru 2013/2014. Alasannya, yang paling santer kita dengar adalah
karena tuntutan zaman.
Sejak Indonesia merdeka, sudah 10 kali perubahan
kurikulum dilakukan oleh Kemendikbud, sejak Rencana Pembelajaran tahun 1947
hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006. Apabila jadi dilaksanakan,
Kurikulum 2013 adalah yang ke-11 kalinya. Apabila kita rata-ratakan maka setiap
6 atau 7 tahun terjadi pergantian kurikulum. Mungkin ini hanya terjadi di
Indonesia saja.
Memasuki era reformasi - yang melahirkan kebebasan
luar biasa -, euforia pada pengelolaan pendidikan pun tak tertahankan.
Sehingga, lahirlah dua buah kurikulum, tahun 2004 dan tahun 2006. Pada masa
ini, arah tujuan kurikulum kurang jelas, karena semua dianggap penting
sebagaimana kita lihat begitu banyaknya mata pelajaran yang dibebankan kepada
anak. Tidak mengherankan, tas anak-anak sekolah penuh dengan buku-buku. Syarat
beban, begitulah tepatnya.
Disebutkan dalam Kurikulum 2013 ini bahwa sistem
penilaian akan menekankan pada proses belajar anak. Pun demikian tidak pada
sistem ujian nasional (UN). Ada sesuatu yang aneh bin ajaib, kurikulum berubah.
UN masih tetap dijadikan "dewa" oleh Kemendikbud. Oleh karenanya,
tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kurikulum sebelumnya dan yang akan
datang sebetulnya masih memiliki nafas yang sama, adanya ujian yang
terstandarisasi, yaitu UN.
Kebijakan masih mempertahankan angka-angka dalam
menentukan kelulusan seorang anak adalah parameter semu untuk mengukur
keberhasilan seorang anak. Nyatanya, anak-anak yang memiliki nilai ujian
nasional belum tentu mampu masuk dan menembus perguruan tinggi. Kenyataan pahit
lainnya yang harus kita terima adalah anak-anak kita masih memiliki kompotensi
rendah bila dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Kontroversi selanjutnya adalah penghapusan pelajaran
TIK (teknologi komputer) untuk tingkat SMP, dengan alasan TIK diintegrasikan
pada seluruh mata pelajaran. Asumsi dasar bahwa para guru di lapangan sudah
menguasai kemampuan TIk semua, hal ini sedikit keliru. Sebagaimana tes Ujian
Kompetensi Guru (UKG) online yang baru-baru ini dilaksanakan menunjukan bahwa
tidak semua guru melek TI (teknologi informasi). Keluhan dalam UKG yang paling
banyak kita dengar adalah guru masih tidak paham menggunakan teknologi alias
gaptek (gagap teknologi). Tapi, mengapa ini diabaikan begitu saja?
Lalu, kontroversi lainnya terkait pengabaian pelajaran
Bahasa Inggris pada anak SD. Ini terasa asing dan bertolak belakang dengan
tuntutan masa depan. Padahal, era persaingan ke depan semakin ketat,
membutuhkan anak yang mampu menguasai bahasa asing.
Kalaupun Bahasa Inggris dikhawatirkan akan menyebabkan
berkurangnya kecintaan anak terhadap bahasa ibunya ataupun Bahasa Indonesia,
tentunya harus disertai dengan alasan yang ilmiah dan didasarkan pada hasil
penelitian. Kita tidak boleh bertindak berdasarkan suatu asumsi.
Banyak hal yang harus dicermati dalam kurikulum baru
ini. Salah satunya masalah UN. Sudah seharusnya pendidikan yang terjebak kepada
angka-angka tidak lagi dipertahankan. UN tidak mengarahkan anak untuk menjadi
seorang pemikir. Anak-anak dibiasakan dengan soal pilihan yang jawabannya sudah
tersedia. Soal seperti itu membatasi anak untuk bebas dalam menuangkan apa yang
ada dalam pikirannya.
Sehingga, anak-anak menjadi kaku, ujung-ujungnya
berimbas terhadap rendahnya daya nalar mereka dan kemampuan berpikir
analitisnya. Mengapa kita tidak mencoba menekankan pada pembelajaran yang
memfokuskan kemampuan anak untuk berpikir tingkat tinggi dan kasmaran terhadap
pengetahuan? (Baca: Kasmaran Berilmu Pengetahuan)
UN boleh saja dilaksanakan, namun bukan jadi patokan
satu-satunya dalam menentukan kelulusan anak. Hanya untuk mengukur secara
nasional kemampuan semua peserta didik pada tiap-tiap jenjangnya, sehingga
pemerintah dapat melihat peta kemampuan lulusan di berbagai daerah, dapat
mengetahui kekurangan maupun kelebihan, dan kesenjangan lain yang mungkin masih
bisa terlihat dari hasil yang didapatkan dari kegiatan ini. Kemudian, hasilnya
digunakan untuk membenahi segala kekurangan atau kesenjangan yang ada agar
setiap daerah bisa memiliki delapan standar nasional pendidikan yang sama.
Kompotensi guru tidak boleh diabaikan. Tak dapat
dipungkuri, hasil UKA dan UKG baru-baru ini menunjukkan bahwa guru-guru kita
masih rendah pada kompotensi pedagogis dan profesionalnya. Hal ini tidak boleh
luput dari perhatian. Dalam kurikulum baru, guru masih tetap tokoh utama yang
akan memainkan perannya di lapangan. Oleh karena itu, perbaikan kemampuan guru
harus seiring sejalan dengan perubahan kurikulum.
Akhirnya marilah kita kembalikan pendidikan kepada
makna sebenarnya. Seperti apa yang dikatakan oleh Paulo Freire yang menekankan
bahwa pendidikan seharusnya merupakan a practice of freedom atau praktik
pembebasan, di mana secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan dapat
memberikan nilai-nilai yang membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan.
Atau dengan kata lain pendidikan tidak harus mengungkung anak dengan suatu
sistem yang baku. Anak harus diberikan "kebebasan" untuk menggali
potensi dirinya. Harapannya perubahan kurikulum kali ini benar-benar bermakna
dan membawa perubahan pada wajah pendidikan Indonesia. Semoga.
Arbai
;
Pendidik,
Mahasiswa Penerima Beasiswa S2 Kemendiknas di MM UGM, Program Manajemen
Kepengawasan Kependidikan
SUARA
KARYA, 15 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi