Dongeng
telah menjadi tonggak penting peradaban manusia, bahkan sejak budaya lisan
masih kuat. Namun, dalam peradaban audiovisual yang kini merebak, dongeng telah
menjadi artefak budaya.
Setidaknya
hingga akhir abad XX, dongeng menjadi ”sastra sehari-hari” bagi setiap keluarga
serta berperan dalam pertumbuhan emosional, spiritual, dan intelektual
masyarakat sejumlah (suku) bangsa, termasuk Indonesia. Bukan tidak mungkin
dongeng punya peran besar dalam pertumbuhan karakter para pendiri republik ini.
Berbagai
local genius di negeri ini telah memiliki kesadaran yang tinggi untuk
mengawetkan, mewariskan, dan mengaktualisasi nilai-nilai budaya lokal, antara
lain lewat dongeng. Dengan demikian, dongeng bukan sekadar pelipur hati/hiburan
yang menenteramkan jiwa. Lebih dari itu, dongeng membatinkan nilai-nilai ideal
kehidupan, seperti keadilan, toleransi, solidaritas, kejujuran, dan kebangsaan,
ke dalam kesadaran dan perilaku manusia.
Di
luar tema dan pesan, dongeng pun mengandung imajinasi yang memberi sensasi akal
dan rasa. Imajinasi itulah yang menjadikan dongeng memiliki pesona, daya tarik.
Berbagai ”teater” pun berderap-derap dalam kepala. Lengkap dengan peristiwa
dramatisnya.
Totalitas Kehidupan
Kreator
sastra, termasuk penyastra lisan, adalah aktor kebudayaan. Para sastrawan
melakukan tindakan yang oleh Wessel Jr (1979) disebut sebagai ”penebusan” atas
dunia yang terfragmentasi atau terdegradasi, demi totalisasi kehidupan.
Penebusan itu dilakukan dengan imajinasi. Imajinasilah yang mengadakan apa yang
tidak ada, mengembalikan totalitas pada kehidupan yang telah terfragmentasi.
Imajinasi dianggap mempunyai kekuatan magis untuk itu (Faruk, majalah Horison,
Juli 1993).
Mengutip
Eagleton (1983), Faruk mengatakan, imajinasi harus dipandang sebagai kekuatan
yang berdiri sendiri, otonom, yang dapat melampaui batas-batas realitas.
Imajinasi adalah produk kekuatan manusia yang subyektif, yang tidak dapat
dibatasi tidak hanya oleh realitas, bahkan juga kontrol pikiran sadar manusia.
Imajinasi
dalam serial dongeng Kancil Mencuri Timun, misalnya, menjadikan tokoh kancil,
buaya, ular, anjing, gajah, macan dan pak tani begitu hidup dan bahkan terasa
”nyata”. Pendengar dan pencerita dongeng seperti ada di dalam jagat imajinasi
itu. Begitu pula tokoh-tokoh dalam dongeng Terjadinya Tangkuban Perahu,
Terjadinya Rawa Pening, dan Timun Emas.
Dongeng
menjadi sumber inspirasi penciptaan yang penting, selain agama,
filsafat/ideologi, dan local wisdom.
Dongeng Mengering
Namun,
kini, dongeng semakin mengering dan menguap dalam kebudayaan yang didominasi
budaya audiovisual. Anak-anak kita semakin jauh dari dongeng karena para
orangtua tak lagi ”sempat” mendongeng atau tidak memiliki referensi dongeng.
Selain itu, play station, televisi, dan internet dianggap lebih menarik dan
memukau. Anak-anak pun tumbuh dalam jagat personal, jagat soliter.
Dongeng
yang berpotensi membuka ruang nilai dan ruang imajinasi kini telah menjadi
artefak yang terlempar ke gudang lapuk sejarah.
Dengan
dongeng yang membebaskan, kita berharap anak-anak Indonesia tidak menjadi mesin
atau makhluk konsumen! Sekurangnya membuat mesin-mesin teknologis masa kini
juga memiliki kapabilitas mendongeng.
Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan
KOMPAS, 03 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi