DALAM
beberapa tahun belakangan ini, profesi peneliti di Indonesia sedang menjadi
perhatian publik. Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa besar ini adalah
masih minimnya produktivitas para peneliti. Kondisi ini berimbas pada rendahnya
pencapaian iptek secara nasional. Beberapa indikator dan data dari beberapa
lembaga internasional di bawah ini dapat menggambarkan hal tersebut.
Pertama,
produktivitas peneliti dapat diukur dari jumlah paten. Berdasarkan data World
International Property Organization (WIPO) Indicators (2012), total
paten yang terdaftar di kantor Ditjen HKI Indonesia hingga 2011 sebanyak 5.838.
Dari jumlah itu, hanya 541 paten dalam negeri (resident), sedangkan
sebagian besar (5.292) merupakan paten milik asing (non-resident).
Ditinjau
dari paten resident ini, Indonesia digambarkan masih tertinggal dari beberapa
negara ASEAN lainnya. Untuk hal ini, misalnya, Malaysia hampir dua kali lipat
jumlahnya (1.076), disusul Singapura (1.056) dan Thailand (927). Jumlah paten resident Indonesia
ini akan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kampiun tingkat global
seperti China (415.829), Jepang (287.580) ataupun Amerika (247.750).
Minimnya
jumlah paten bukan berarti peneliti Indonesia tidak memiliki prestasi. Cukup
banyak contoh hasil penelitian membanggakan seperti halnya penemuan fondasi
cakar ayam (Soedijatmo, 1961), pemindai 4D (Warsito Purwo Taruno, 2006) atau
sistem telekomunikasi 4G berbasisorthogonal frequency division multiplexing (Khoirul
Anwar, 2010).
Indikator
kedua, terkait dengan jumlah publikasi ilmiah (scientific publication).
Menurut International Science Ranking (2012), dalam periode
1996-2010, posisi Indonesia berada di rangking 63 dari 238 negara/teritory.
Di sini digambarkan dari tahun ke tahun jumlah publikasi Indonesia terus
meningkat. Meski konsisten meningkat, rangking di kawasan ASEAN saat ini masih
dipegang Singapura (32), disusul Thailand (42) dan Malaysia (43).
Mengubah orientasi
Dengan
memperhatikan dua indikator di atas, tidak mengherankan jika tuntutan terhadap
prestasi dan karya peneliti semakin bertambah besar. Pesatnya kemajuan iptek,
adanya tuntutan daya saing global, serta berkembangnya era knowledge based
society mengharuskan profesi peneliti untuk menyesuaikan dirinya serta
memperluas jangkauan kegiatan dan hasil penelitiannya.
Masyarakat
telah lama merindukan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk teknologi
yang kompetitif. Oleh karena itu, hasil-hasil penelitian diharapkan tidak hanya
sebatas prototipe, jurnal, desain, atau paten belaka, tetapi hendaknya dapat
mencapai ke tahap komersialisasi dan bisnis.
Idealnya
hasil penelitian masuk ke skala produk industri dan pasar, baik berupa barang
maupun jasa sehingga bangsa ini tidak terusmenerus bergantung kepada produk
teknologi impor. Selain itu, Indonesia juga tidak sekadar jadi pemasaran produk
asing. Mengenai hal ini, Keputusan Menristek No 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah
Penguatan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) untuk Meningkatkan Kontribusi Iptek
Terhadap Pembangunan Nasional mengingatkan, jika teknologi yang jika teknologi
yang dihasilkan para peneliti atau pengembang teknologi ingin `mengalir' sampai
ke tangan pengguna (masyarakat, industri, dan pemerintah), aktivitas penelitian
dan pengembangan harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Untuk
memenuhi harapan itu, peneliti tentu itu, peneliti tentu harus bersedia
mengubah orientasi penelitiannya terlebih dulu. Salah satu penyebab kegagalan
teknologi dalam negeri selama ini adalah peneliti masih berorientasi pada
programnya sendiri (supply-push) dan kurang responsif terhadap persoalan
atau kebutuhan teknologi masyarakat (demand-driven). Akibatnya, kemudian
banyak hasil penelitian kesulitan masuk ke skala industri karena tidak
kompetitif atau out of date.
Selain
mengubah orientasi, peneliti perlu menggeser prioritas penelitiannya ke arah goal-oriented
research. Jika pada umumnya motivasi penelitian lahir dari rasa
keingintahuan sang peneliti belaka (curiousity driven research), ke
depan hal itu harus ditopang dengan sasaran dan tujuannya yang jelas dan
terukur.
Peneliti harus yakin betul bahwa teknologi yang akan dihasilkannya nanti benar benar bermanfaat dan berguna, baik secara sosial maupun ekonomi.
Peneliti harus yakin betul bahwa teknologi yang akan dihasilkannya nanti benar benar bermanfaat dan berguna, baik secara sosial maupun ekonomi.
Pentingnya
orientasi dan prioritas baru bagi para peneliti ini pada intinya untuk
memperkuat relevansi penelitian dan pengembangan dengan kebutuhan nyata.
Kini saatnya penelitian dan pengembangan teknologi--baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan (pemerintah dan swasta)--kembali berpijak pada bumi kebutuhan masyarakat sehingga hasil-hasil penelitian tidak mubazir.
Kini saatnya penelitian dan pengembangan teknologi--baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan (pemerintah dan swasta)--kembali berpijak pada bumi kebutuhan masyarakat sehingga hasil-hasil penelitian tidak mubazir.
Memperbarui kebijakan
Memang
tidak mudah mewujudkan perubahan orientasi dan prioritas peneliti tanpa adanya
perhatian penuh pemerintah. Apalagi, berbagai instrumen kebijakan--yang
mencakup pembiayaan, infrastruktur, insentif ataupun regulasi--sudah kurang
kondusif dengan tuntutan zaman. Guna memperluas jangkauan para peneliti,
beberapa kebijakan yang berkaitan dengan profesi peneliti ini perlu dievaluasi
atau diperbarui.
Dari segi
pembiayaan misalnya, dari keseluruhan dana riset dan teknologi rata-rata 0,08%
dari PDB (Rp4 triliun) per tahun sebenarnya cukup memadai jika dapat dihindari
ketumpangtindihan penelitian yang mengakibatkan pemborosan.
Di masa
mendatang, tinggal bagaimana tata kelola pengalokasiannya sehingga sebagian
besar dana dapat diarahkan untuk individu atau kelompok peneliti goal-oriented
research, termasuk untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur penelitian.
Selain
itu, ke depan perlu dirumuskan kebijakan yang dapat menjamin saluran pembagian
royalti yang menjadi hak peneliti. Jaminan ini sangat berguna untuk memotivasi
lahirnya berbagai karya kekayaan intelektual negara ini. Mempersulit hak
royalti merupakan tindakan disinsentif dan pengingkaran terhadap hak-hak
intelektualitas manusia. Jaminan hak royalti adalah sistem penghargaan yang
dijamin UU Paten dan PP No 20 Tahun 2005 mengenai Alih Teknologi.
Demikian
juga dengan adanya aturan larangan bagi peneliti ataupun tenaga ahli pemerintah
dalam pemberian bantuan teknis (technical assistance) merupakan hambatan
dalam kerja sama riset ke pihak swasta. Transfer teknologi, kemampuan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dari peneliti ke badan usaha menjadi
tersumbat.
Untuk
itu, perlu dicari titik temu agar hambatan tersebut hilang. Ini sekaligus agar
rekomendasi insentif bantuan teknis berdasarkan PP No 35 Tahun 2007 dapat
terlaksana. Untuk mempertimbangkan urgensi hal-hal tersebut di atas, pemerintah
tampaknya harus menyusun sebuah formulasi peraturan baru tentang peneliti.
Peraturan
itu disusun dalam kerangka penguatan Sinas dan antisipasi terhadap tuntutan
daya saing global yang semakin tinggi. Esensi, arah, tujuan, dan materi
pengaturan disusun secara komprehensif untuk mengarahkan perubahan orientasi
dan prioritas peneliti. Pengaturan baru untuk menjamin profesionalitas, hak,
kewajiban, tanggung jawab, jaminan royalti, dorongan kerja sama, dan pengaturan
arah pembinaan pemerintah agar lebih berkeadilan, yang tercakup di dalamnya
pengaturan terhadap peneliti nonpemerintah.
Sakti
Nasution ;
Tim Asistensi Komisi Teknis Sosial
Humaniora Dewan Riset Nasional
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi