Antiklimaks Kurikulum 2013

Hiruk-pikuk, perdebatan, diskusi, dan perang wacana tentang Kurikulum 2013 tampaknya harus berakhir dengan antiklimaks. Tepat kata pujangga besar Romawi, Horatius, ”Parturient montes, nascetur mus ridiculus.” Gunung-gunung mengeluh sakit karena bersalin, yang lahir hanyalah tikus kecil!
Ide besar tentang desain kurikulum terbaik di dunia, seperti yang selama ini digembar-gemborkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, begitu disahkan oleh DPR ternyata hanya menjadi ide kecil. Porsi pelaksanaannya juga kecil, diperuntukkan hanya bagi sebagian kecil sekolah yang selama ini telah dianggap baik dan maju, seperti bekas sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah berakreditasi A.
Itu pun hanya di sekolah-sekolah di kota tingkat provinsi. Kita seperti ingin menarik lokomotif pendidikan nasional dengan lokomotif seekor tikus kecil!

Kesadaran baru
Tak salah bila rakyat kemudian menganggap para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan ternyata lebih suka bereksperimen dengan dunia pendidikan. Mereka belum mampu untuk berdiri di atas pundak para raksasa agar dapat melihat masa depan pendidikan nasional dengan lebih baik dan penuh harap.
Antiklimaks Kurikulum 2013 di satu sisi membuka mata dan kesadaran baru segenap warga negara bahwa suara rakyat di negeri ini hanya dihargai saat pemilu. Setelah mereka memilih para politisi untuk duduk di Senayan, suara rakyat bisa dikesampingkan. Di sisi lain, suara rakyat yang kecil, meski belum memperoleh pengakuan, menunjukkan geliat demokrasi yang sedang berjalan di arah yang benar. Rakyat, meskipun masih kalah, sudah mulai menyadari hak-hak politiknya. Rakyat sudah berani menyuarakan pendapatnya tentang kualitas pendidikan yang menyangkut masa depan putra-putri mereka, lembaga pendidikan, sekolah, yayasan, dan kebaikan bangsa ini di masa depan.
Adalah salah besar ketika para pengambil kebijakan menganggap protes, seruan, dan kritik dari warga negara atas perdebatan Kurikulum 2013 sebagai suara-suara orang pinggiran, bukan pengurus sekolah yang terlibat langsung dalam pengelolaan sekolah. Setiap orangtua, yang tak mengurus sekolah pun, memiliki kepentingan agar kebijakan pendidikan nasional membawa berkah dan kebaikan bagi putra-putri mereka. Memperjuangkan kualitas pendidikan nasional adalah urusan publik, urusan tiap warga negara.
Selain ada kesadaran baru tentang makna berdemokrasi, terutama dalam memperjuangkan kualitas pendidikan nasional, warga negara juga disadarkan tentang kualitas para pejabat pemerintahan dan para politisi yang telah mereka percayai untuk mengelola dan mengurus pendidikan nasional. Rupanya para anggota dewan, dan penanggung jawab kebijakan pendidikan—dalam hal ini Mendikbud—lebih memilih jalan politis. Mereka memaksakan agenda-agenda kelompoknya sendiri, yang dari sisi kebijakan pendidikan nasional kurang strategis, bahkan justru melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pengelolaan lembaga pendidikan.
Ketika anggota dewan mengesahkan Kurikulum 2013, yang hanya dilakukan dengan lingkup terbatas dan hanya tertuju bagi kelompok elite sekolah di negeri ini, yaitu sekolah bekas RSBI dan yang terakreditasi A, bahkan hanya di kota-kota besar, semakin terlihat logika berpikir dan agenda kelompok mereka. Kurikulum 2013 harus berjalan dan berhasil. Karena itu, dipilih sekolah-sekolah yang sudah baik dan bagus, dengan sarana prasarana dan standar yang sudah memenuhi delapan standar pendidikan nasional.
Lalu, buat apa kurikulum itu diterapkan di sana? Apa keuntungan dan kelebihannya? Tanpa Kurikulum 2013, sekolah-sekolah yang sudah baik itu telah memiliki sistem dan kebijakan pendidikan yang baik di tingkat lokal.
Kebijakan pendidikan seperti ini ibarat menggarami air laut! Tidak ada faedah dan manfaatnya, selain bermanfaat bagi pencitraan anggota dewan dan para politisi untuk membuktikan bahwa Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang baik. Beranikah anggota dewan dan pemerintah menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah terpencil, yang akreditasinya C atau D, dan membuktikan bahwa sistem kurikulum yang mereka pilih merupakan sistem kurikulum terbaik di dunia, yang mampu meningkatkan kinerja sekolah-sekolah yang berprestasi rendah?
Kesadaran baru yang lain, rakyat makin sadar cara berpikir dan bertindak para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan hanya berdasarkan logika kekuasaan. Bukan karena pertimbangan pemikiran yang jernih dan cerdas. Salah satu contoh pengambilan kebijakan berdasarkan logika kekuasaan ini adalah munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Para pengkritik Kurikulum 2013 telah lama menyerukan bahwa gerakan pemerintah untuk sosialisasi wacana Kurikulum 2013 banyak melanggar rambu-rambu hukum dan peraturan yang terkait kebijakan pendidikan nasional. Kritik dari rakyat mengarah pada substansi isi pengembangan pendidikan yang didesain dalam Kurikulum 2013, seperti formulasi berbagai macam kompetensi dasar yang aneh dan tidak masuk akal, serta landasan yang dipakai dalam rangka menetapkan Standar Nasional Pendidikan.
Logika kekuasaan terjadi ketika dikeluarkan PP No 32/2013 yang digunakan sebagai legitimasi hukum untuk melaksanakan Kurikulum 2013. Namun, itu tidak menjawab substansi dan pokok persoalan yang dikritik oleh kritikus Kurikulum 2013. Jika diibaratkan, melalui peraturan pemerintah ini, pemerintah seperti ingin berkata kepada rakyat, ”Kritikmu sudah kami akomodasi dan sekarang peraturan pemerintah sudah kami ubah. Anda sudah tidak ada hak untuk protes lagi.”
Jadi, PP dikeluarkan bukan untuk menanggapi isu tentang isi persoalan utama dalam debat Kurikulum 2013, seperti reformulasi standar isi, standar proses, standar evaluasi, dan standar kompetensi lulusan yang bermasalah, melainkan sebagai legitimasi pelaksanaan Kurikulum 2013.

Jalan masih panjang
Pengalaman berdemokrasi memperjuangkan perbaikan pendidikan nasional merupakan jalan terjal, bergunung-gunung, dan masih panjang. Antiklimaks Kurikulum 2013 tak boleh membuat rakyat putus asa dan berhenti berjuang. Modal intelektual bangsa ini sangat besar. Ada banyak profesor, pemikir, pemerhati pendidikan, guru, orangtua, siswa, dan individu dengan berbagai macam profesi yang memiliki kepentingan agar pendidikan nasional kita semakin bermutu dan terarah pada pengembangan kecerdasan bangsa yang berkeadilan.

Bahu-membahu dalam mengembangkan pemikiran, gagasan, kritik, dan perjuangan melalui berbagai macam cara merupakan salah satu tantangan bagi seluruh rakyat yang cinta pada dunia pendidikan. Kita tentu tidak ingin kebijakan pendidikan nasional hanya dimonopoli dan diputuskan oleh segelintir elite politik yang hanya melahirkan tikus-tikus kecil! 

Doni Koesoema A    
Pemerhati Pendidikan
KOMPAS, 08 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi