Korupsi dan Pendidikan Karakter

Pada tahun 2011 Transparansi International Indonesia (TII) menempatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada angka 3,0 (IPK menggunakan angka 0-10. Angka 0 dipersepsikan sangat korup, sedangkan 10 bersih dari korupsi). Tahun 2012 Transparansi International Indonesia (TII) kembali menempatkan IPK Indonesia pada angka 32. Pada tahun 2012 TII menggunakan formula yang berbeda dari tahun 2011. Jika pada metode yang lama (2011), IPK dihitung dengan skor 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0 dipersepsikan sangat korup, 100 sangat bersih). 

Korupsi telah menancap kuat pada sendi-sendi kehidupan negara dan memungkinkan akan menjadi budaya baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut diperhatikan dan diwaspadai secara serius karena dampak dari tindakan korupsi tidak hanya sekadar merugikan keuangan negara namun lebih dari itu seperti menciptakan memiskinkan, menciptakan pengangguran dan sumber daya manusia yang tidak berkualitas, memicu tindakan kriminalitas, dan mengaburkan bahkan menguburkan masa depan bangsa. Oleh karena itu, tindakan korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa dan perlu tindakan pencegahan dan pemberantasan yang luar biasa pula. Strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu untuk terus dikaji hingga menemukan konsep tepat guna mewujudkan  Indonesia tanpa Koruptor. 

Tidak Cukup Reformasi Struktural 
Sistem politik dan pemerintahan Soeharto sengaja menciptakan koruptor untuk berkembangbiak. Karena itu, program pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cepat, sistimatis, dan komprehensif. Presiden BJ Hababie (presiden pertama setelah gerakan reformasi 1998) dengan cepat melakukan langkah-langkah progresif dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi, yakni merevisi dan menghapus sejumlah peraturan hukum yang dianggap penyebab munculnya tindakan korupsi. 

Dengan semangat menciptkan sistem politik dan pemerintahan antikorupsi, UUD 1945 telah dilakukan empat kali perubahan (amandemen). Tanggal 19 Oktober 1999 dilakukan amandemen pertama, yakni perubahan pada pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlampau kuat. Tanggal 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen kedua, yakni perubahan pada penguatan pemerintahan daerah, penguatan peran dan fungsi lembaga legislatif sebagai pejuang aspirasi masyarakat, dan merumuskan konsep-konsep hak asasi manusia. Tanggal 10 November 2001 dilakukan amandemen ketiga, yakni perubahan pola relasi lembaga-lembaga negara yang berasaskan kemitraan dan professional. Tanggal 10 Agustus 2002 dilakukan amandemen keempat, yakni perubahan pada sistem ketatanegaraan demokratis. 
Mengikuti perubahan UUD 1945, dikeluarkan beberapa undang-undang yang mencerminkan semangat amandemen, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, undang-undang nomor 31 tahun 1999 junto nomor 30 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang nomor 22 tahun 2002 junto nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan masih banyak peraturan hukum lain yang mencerminkan semangat mewujudkan Indonesia tanpa korupsi. Selain membentuk peraturan hukum tersebut, pemerintah melakukan terobosan positif yang tidak kala penting, yakni membentuk lembaga superbody seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Format politik dan pemerintahan di era reformasi membawa angin segar untuk mencegah dan memberantas korupsi, namun reformasi telah berjalan sepuluh tahun lebih belum menunjukkan dampak riil terhadap hilangnya tindakan korupsi dalam sektor politik, pemerintahan dan swasta. Justru sebaliknya, yakni meluasnya tindakan korupsi seperti yang disampaikan pada awal tulisan ini. Hemat saya, pemberantasan dan pencegahan tindakan korupsi tidak cukup hanya melakukan reformasi struktural dan peraturan hukum. Reformasi struktural dan aturan hukum harus diikuti dengan reformasi kultural, yakni mengubah cara pandang atau nilai personal pemerintah dan warga masyarakat untuk menjadi insan yang lebih sadar dan bertanggung jawab. Reformasi kultural hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Karena itu, pendidikan harus dijadikan sebagai sarana utama untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan tindakan korupsi. 

Reformasi Kultural melalui Pendidikan
Ki Hajar Dewantara memiliki keyakinan kuat bahwa pendidikan merupakan sarana utama menuju perdaban tinggi, “pendidikan adalah media untuk cerdas, bermoral, dan berkepribadian dalam bertindak dan berperilaku. Drucker (1993:34-35) berkata bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mutlak karena sumber daya manusia yang terdidik menjadi sumber keunggulan dari negara tersebut. Karena itu, pendidikan menjadi alat penting untuk melakukan pencegahan terhadap tindakan korupsi. Pendidikan dapat melalui sarana formal dan non formal. Sarana formal melalui sekolah-sekolah yang disediakan oleh pemerintah (sekolah negeri) dan masyarakat (sekolah swasta). Sarana non formal pendidikan didapatkan melalaui lingkungan keluarga, masyarakat, dan organisasi tempat aktualisasi diri. Dua sarana tersebut memiliki peran penting dalam mengembangkan dan memberikan pendidikan untuk warga negara. Pertanyaanya, apakah selama ini tidak ada sarana pendidikan formal maupun non formal yang disediakan sebagai tempat menempuh ilmu? Tentu dua sarana tersebut sudah tersedia meskipun masih sangat terbatas? Jika demikian kenapa korupsi masih banyak? Dimana peran sarana pendidikan sehingga tidak mampu menciptakan manusia unggul, berkepribadian, dan memiliki integritas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dengan kritis sebab sarana pendidikan tampaknya tidak berdampak signifikan dalam menciptakan manusia unggul, bermoral, dan berintegritas. 

Pendidikan harus mampu mewujudkan manusia unggul seperti yang dijelaskan oleh Cut Zahri Harun, (2008:619) “Kata pendidikan saja tidak cukup untuk membangun sumber keunggulan, tetapi membutuhkan predikat yang bermutu, sehingga pendidikan yang bermutulah yang menentukan arah keberhasilan membangun manusia yang unggul. Pendidikan bermutu membutuhkan proses pembelajaran yang berstandar dan diselenggarakan secara berkesinambungan dan sistematis. Proses pembelajaran yang berstandar akan membawa peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan agama, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan dan kecakapan hidup untuk meningkatkan nilai tambah bagi diri dan masyarakatnya”. Mewujudkan pendidikan seperti tersebut dibutuhkan strategi komprehensif yang dilakukan secara sistimatis.

Salahudin    
Dosen Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Malang,
Penulis Buku Korupsi Demokrasi dan Pembangunan Daerah
OKEZONE, 07 Juni 2013




Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi