Dengan terus merawat harapan, pendidikan itu
merawat kehidupan. Gurulah aktor utamanya. Harapan meretas batas-batas
kehidupan, meringkihkan tempurung kehidupan. Harapan membuncahkan hasrat anak
didik untuk meraih hidup yang berbeda, termasuk hasrat untuk menjadi seorang
pemimpin.
Sayangnya, saat ini anak-anak kita tidak ada di
saat dan tempat istimewa untuk menumbuhkembangkan benih kepemimpinan. Nihilnya
sosok pemimpin yang konsisten merupakan salah satu ketidakberuntungan mereka.
Akibat nihilnya model, benih karakter kepemimpinan anak-anak kita tidak ada di
saat dan tempat yang istimewa.
Nihilnya pemimpin diekspresikan dengan jengahnya
kita oleh tiadanya keteladanan pemimpin. Pada ekspresi itu juga sesungguhnya
kita haus akan pemimpin yang konsisten.
Namun, kata Emha Ainun Najib pada ”Bincang Sore”
(14/5) di TVRI Yogyakarta, salah kita sendiri yang memperlakukan para pejabat
dan tokoh publik itu sebagai pemimpin. Budayawan ini mengajak mengkritisi
persepsi kita tentang pemimpin.
Pemimpin sejati adalah mereka yang hidupnya
konsisten sehingga menjadi teladan. Kalau hidup mereka tak bisa menjadi teladan,
ya jangan jadikan dan anggap mereka sebagai pemimpin. Siapa saja yang bisa
menjadi teladan, merekalah pemimpin sejati hari-hari ini.
Tantangan bagi guru
Sepertinya sederhana mengikuti gagasan Emha Ainun
Najib itu. Namun, sesungguhnya tidak demikian bagi para guru kita hari-hari
ini. Belajar dari sejarah perguruan Bangau Putih: ”Intinya, ilmu terjadi karena
kenyataan di alam, dan ilmu hanya sempurna apabila bisa dipulangkan kepada
kenyataan alam. Di situ juga terdapat kewajiban bahwa kita tidak bisa hidup
sendiri. Kita terlibat dengan masyarakat dan kehidupan. Karena itu, memulangkan
ilmu kepada alam harus melewati masyarakat dan kebudayaan.” (Mind Body Spirit:
Aku Bersilat, Aku Ada, 2013, 18).
Pendidikan yang memberdayakan hidup, yang membuat
manusia kian berbudaya dan bermartabat, mesti berangkat dengan menggulati dan
mengolah realitas kehidupan. Di akhir proses pembelajaran, guru bersama anak
didik menentukan disposisi batin dan hidup yang merupakan kristalisasi
pergulatan pada realitas kehidupan. Disposisi itu mesti menerbitkan ruang
eksplorasi hidup yang berpengharapan dan bermartabat. Idealisme pun akhirnya
bakal lahir.
Realitas kehidupan negeri ini yang nihil pemimpin
acapkali memojokkan para guru. Di satu sisi mereka harus memperjuangkan rasa bangga
dan cinta pada negeri ini, bukan hanya bangga dan cinta pada alamnya yang kaya
nan subur, tetapi juga pada bangsanya yang unggul.
Namun, mencari sosok pemimpin dan tokoh publik yang
unggul di negeri ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak artis yang
lama digandrungi dan dijadikan model manusia unggul generasi muda negeri ini
tiba-tiba terjerat kasus. Bisa narkoba, bisa lainnya.
Demikian juga dengan para tokoh politik,
lebih-lebih politisi muda. Tokoh yang sering mencitrakan diri alim penuh simbol
agamis, bersih dan pejuang garang kebenaran, terjerat kasus korupsi. Kelihaian
para pembela politisi koruptor kian membuat gersang negeri ini bagi tumbuhnya
benih kepemimpinan.
Mencipta ruang istimewa
Kita amini gagasan Emha Ainun Najib bahwa siapa saja
yang bisa menjadi teladan kehidupan sesungguhnya merekalah pemimpin kita
hari-hari ini. Pemimpin tidak selalu identik dengan jabatan publik dan politis.
Benih karakter kepemimpinan butuh ruang
berperistiwa. Bagi kaum muda sekolah adalah ruang berperistiwa mereka. Sekolah
mesti menjadi oase di tengah padang kehidupan yang nihil pemimpin sejati. Para
gurulah salah satu harapan pencipta oase itu agar benih karakter kepemimpinan
generasi muda kita tidak musnah percuma.
Sadar akan hal ini, sesungguhnya inilah saat ketika
para guru dipanggil untuk menyelamatkan bahtera negeri ini. Kita butuh para
guru yang berani menjadi manusia unggul. Keberanian para guru menjadi manusia
merdeka, bebas dari belenggu pencitraan dan ragam perbudakan birokratis,
pastilah akan menciptakan ruang istimewa bagi tumbuhnya benih kepemimpinan anak
didiknya. Ekspresi hidup yang sederhana pastilah menjadi lentera bagi jiwa
kepemimpinan anak didiknya.
Sidharta
Susila ;
Pendidik
KOMPAS, 07 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi