Semua
orang pasti sepakat bahwa pendidikan merupakan pranata (institution)
yang memiliki fungsi dasar untuk membebaskan manusia (freedom from) dari
kondisi "kegelapan", seperti kebodohan, kemiskinan, kejahilan dan
lain sebagainya. Sekaligus, merupakan instrumen untuk membebaskan manusia
supaya mampu (freedom to) merengkuh "cahaya" demi mewujudkan
potensinya secara penuh. Oleh sebab itu, pendidikan memiliki peranan strategis
untuk memberikan kehidupan bermartabat dan berkualitas kepada manusia.
Selain
itu, pendidikan merupakan kunci bagi kebesaran suatu bangsa. Sebab, pendidikan adalah
instrumen untuk mencetak SDM-SDM unggul yang diharapkan dapat mengaktualkan
talenta mereka hingga mampu berkontribusi bagi bangsa ini dengan cara
masing-masing.
Sayangnya,
sebagian sekolah di Indonesia kerap keliru menerjemahkan ini dalam paradigma
yang sangat teknis dan teknokratis, seperti keharusan memberikan mata pelajaran
dalam bahasa Inggris, menghafal mati materi demi mendapatkan nilai tinggi dan
lain sebagainya. Celakanya, kekeliruan paradigma ini begitu meluas sehingga
menjadi standar yang seragam di banyak sekolah. Akibatnya, sekolah-sekolah
tersebut gagal menjadi sekolah progresif. Yaitu, sekolah yang menjadi wahana
bagi anak didik untuk melakukan perubahan dalam dirinya ke arah yang lebih baik
sesuai potensi khas masing-masing murid.
Oleh
karena itu, bangsa ini perlu mencari model pendidikan transformnatif yang
menganut progresivisme. Menurut Ellis, Cogan, dan Howey dalam Introduction
to Foundations of Education(1991), progresivisme adalah paradigma yang
menganggap guru sebagai challenger and inquiry leader (pengkritik
dan pemandu penelitian). Dalam progresivisme, guru mendidik murid untuk bisa
memecahkan permasalahan yang selalu berubah di tengah tantangan zaman yang
dinamis. Juga, bertujuan mengenalkan murid terhadap beragam pengalaman sosial
konkret supaya tidak terperangkap di menara gading. Adalah menarik untuk
mencari metoda-metoda segar yang dapat melahirkan sekolah transformatif, baik
dalam level nasional maupun global.
Pertama,
sekolah Summerhill di Inggris. Sebagaimana diceritakan sang pendiri sekolah, AS
Neill dalam otobiografinya, Summerhill School (Serambi, 2006), sekolah ini
memberikan kebebasan anak-didiknya untuk menentukan jam pelajaran, mata
pelajaran yang diambil, dan lama belajar. Summerhill juga mengajarkan ketrampilan
praktis atau life skills, seperti bertukang, berkebun dan lain sebagainya.
Sekolah ini bahkan memungkinkan siswa membatalkan kebijakan kepala sekolah
melalui rapat siswa. Hasilnya, murid-murid Summerhill menjadi anak yang
terampil, cerdas, percaya diri, pemberani dan punya kemampuan untuk menjalani
hidup. Kedua, INS Kayutanam (INS-K) yang diketuai oleh Tengku Sjafei.
Sebagaimana dituturkan AA Navis dalam Autobiografi (Gramedia, 1995), guru-guru
di sekolah di Kayutanam (Sumbar) ini memberikan pelajaran bertukang, berkebun,
dan bermain alat musik kepada siswa. Singkat kata, INS-L meyakini prinsip
belajar praktik. Potensi unik masing-masing pribadi anak didik juga mendapat
perhatian karena setiap murid bebas mengambil kelas sesuai bidang mereka.
Ketiga,
sekolah Tomoe di Jepang yang dikisahkan Tetsuko Kuroyanagi dalam Totto-Chan
(Gramedia, 2006). Sekolah Tomoe begitu membebaskan, mengasyikkan dan mengajak
berpikir kreatif. Kelasnya saja terdiri atas rangkaian gerbong-gerbong kereta
api listrik. Di sini, ada juga keharusan bercerita secara bergilir bagi
anak-anak. Karena ceritanya boleh bertemakan apa saja, daya kreatif siswa
dirangsang menyusun kisah yang menarik. Bahkan, siswa diajak berjalan keluar
untuk menikmati alam, pepohonan, dan hewan sembari belajar banyak hal: ilmu
alam, biologi, dan sebagainya. Buku-buku perpustakaan sekolah bebas dibaca
untuk segala tingkatan.
Meski
berbeda, ketiga sekolah progresif atau transformatif itu sejatinya memiliki
sejumlah prinsip yang sama. Pertama, menekankan pentingnya pemahaman dan bukan
hafalan mati. Pelajaran tidak diberikan satu arah lewat metode menghafal,
melainkan disajikan dengan dialog, praktik lapangan, dan belajar di luar kelas.
Ibaratnya, guru hanya berperan sebagai fasilitator untuk membangunkan "potensi
anak" ketimbang sebagai instruktur yang seakan selalu tahu segalanya dan
tidak boleh salah apalagi dibantah.
Kedua,
memberikan kecakapan hidup (life skills) lewat pelajaran praktik (learning
by doing). Maksudnya, murid tidak sekadar diasah daya kognitifnya, tapi
juga dipertajam kemampuan praktisnya sehingga akan menjadi lulusan yang siap
hidup, tangkas mencari nafkah, dan mandiri alih-alih menjadi beban masyarakat
sebagai "pengangguran intelektual" atau "pengangguran
terselubung."
Ketiga,
prinsip kebebasan yang bertanggung jawab. Inilah perpaduan antara unsur
pedagogi Barat yang mengutamakan individualitas (kebebasan murid) dengan unsur
pedagogi Timur yang mementingkan kolektivitas (empati terhadap masalah-masalah
sekitar). Maksudnya, setiap murid dirangkul kebebasannya dan inisiatif
pribadinya, tapi bukan berarti mendidik murid menjadi pribadi steril-nilai yang
egoistis.
Sebaliknya,
murid tetap harus terjun langsung dalam masalah-masalah sekitar. Maka itu, para
guru biasanya menekankan pentingnya para alumnus terus memerhatikan alam
sekitar dan segera mencari kerja atau bahkan menjadi pengusaha pencipta
lapangan kerja demi membantu sesama.
Akhirnya,
institusi pendidikan kita harus meninggalkan paradigma pendidikan teknokratis
yang kerap memasung kreativitas dan menumpulkan aktualitas potensi anak didik.
Sebaliknya, kita perlu menengok metoda-metoda pendidikan alternatif demi
membangun gugus-gugus sekolah yang bersifat transformatif bagi anak didik. Semoga
tercapai!
Intan
Indah Prathiwie ;
Alumnus Psikologi UI,
Mahasiswi Pascasarjana Universitas
Negeri Jakarta
SUARA KARYA, 18 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi