Kompetisi Memilih Sekolah

Munculnya sekolah favorit sebenarnya karena adanya kesenjangan kualitas output antarsekolah. Jika kualitas output itu sama, setidaknya merata, kiranya tak perlu lagi predikat favorit atau tidak favorit itu. Pengalaman yang kita temui bertahun-tahun justru menjadi tantangan kita bersama, terutama para pendidik untuk mencari akar persoalan mengapa terjadi kesenjangan output pendidikan antar satu dan lain sekolah.

Predikat negeri dan swasta pun berpengaruh secara signifikan pula dalam era kompetisi memilih sekolah. Pada umumnya sekolah-sekolah negeri tenang-tenang saja, di samping biaya tercukupi, para peminat langsung menyerbu sekolah-sekolah negeri. Sekolah favorit targetnya bisa langsung terpenuhi dengan kualitas calon yang tak diragukan. Sedangkan sekolah-sekolah negeri yang biasa-biasa saja, tidak sedikit yang melakukan promosi agar tidak kekurangan murid.

Sementara itu fenomena sekolah-sekolah swasta lebih memilukan. Sekolah swasta favorit memang tenang-tenang saja sebab mudah terpenuhi targetnya, namun jumlah sekolah swasta favorit relatif sedikit. Sedangkan sebagian besar sekolah swasta cenderung semakin kekurangan murid. Kalau sekolah negeri saja kekurangan murid, apalagi seolah swasta. Sehingga, tidak mengherankan apabila sejumlah sekolah swasta harus gulung tikar karena tidak ada pendaftarnya.

Untuk menghindari kekurangan murid, sekolah-sekolah swasta pun melakukan promosi besar-besaran. Fenomena seperti ini akan meramaikan bursa pencarian sekolah, sehingga kalau tidak hati-hati banyak orangtua terjebak karena tergiur promosi yang belum jelas realitasnya.

Di samping sistem rekrutmen siswa yang mencemaskan, para orangtua merasa runyam dan pusing memikirkan besarnya biaya yang harus dipersiapkan, entah ke sekolah negeri maupun swasta. Bahkan, untuk masuk ke sekolah negeri pun ternyata biayanya jauh dari yang dibayangkan dan hampir-hampir tak terjangkau oleh kekuatan ekonominya.

Semula, banyak para orangtua murid mengira bahwa masuk ke sekolah negeri biayanya akan jauh lebih murah. Itu kan dulu, sebelum otonomi. Namun, setelah otonomi, tiap sekolah bisa mengatur sendiri anggarannya. Bahkan dengan adanya Komite Sekolah, maka banyak kegiatan bisa dimunculkan, yang ujung-ujungnya duit pula. Karena itu, tidak mengherankan bahwa banyak orangtua terkejut melihat sejumlah uang yang segera harus dibayar agar nama anaknya tidak dicoret dari sekolah yang akan dimasuki itu.

Pada masa lalu, biaya sekolah negeri boleh dikatakan murah, karena memang tidak ada uang sekolah. Tetapi sekarang, peningkatan kualitas banyak menyerap daya dan dana, sehingga biaya sekolah di negeri pun tinggi. Lantas bagaimana dengan biaya sekolah swasta? Rendah? Ternyata tidak. Sekolah-sekolah swasta yang tergolong favorit juga berusaha keras mempertahankan dan meningkatkan mutunya, sehingga membutuhkan banyak biaya pula. Karena itu, jika dibandingkan dengan biaya di sekolah negeri yang sama-sama favorit, sekolah-sekolah negeri masih lebih murah karena adanya subsidi dari pemerintah.

Bagi orangtua berpenghasilan cukupan saja, dan punya sejumlah anak yang harus sekolah di TK, SD, SMP dan SMA, bahkan PT, mereka harus memeras otak untuk mendapatkan uang agar anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. Karena itu, kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak, terutama kebutuhan orangtua itu sendiri, terpaksa ditunda.

Walaupun demikian, ada juga SMP dan SMA yang tarif uang dana pengembangan pendidikan (DPP) sedang-sedang saja, namun masih cukup mahal untuk ukuran pegawai negeri golongan rendah. Karena itu, tidak mengherankan jika ada anak pegawai negeri saja tidak bisa melanjutkan belajar karena tipisnya dana yang ada. Apalagi, orangtuanya tak berpenghasilan tetap, juga banyak masalah.

Dengan demikian, di era kompetisi memilih sekolah, banyak keprihatinan-keprihatinan. Untuk mendapatkan tempat di sekolah-sekolah yang diinginkan, ternyata terasa semakin sulit. Hal ini disebabkan, selain tempat yang tersedia terbatas, juga karena peminatnya melimpah.

Sesungguhnya sampai saat ini masih banyak orang sudah terkecoh dan tergila-gila pada sekolah. Orang sudah mengacaukan pendidikan dan sekolah. Kita memang butuh pendidikan lewat sekolah-sekolah. Namun, tidak sedikit sekolah yang dibisniskan untuk memperbesar kekayaan dan kekuasaannya. Akibatnya, lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap baik dan bermutu, menuntut pembayaran yang relatif tinggi.

Dengan demikian, banyak orangtua dan anak-anak kita harus kecewa, karena keinginan untuk mendapatkan tempat belajar yang baik tidak dapat dipenuhi. Mereka kalah bersaing mengenai dua hal. Prestasi studi lewat nilai ujian akhir atau pun tes, dan kemampuan finansial.

Adalah benar bahwa salah satu dari kedua faktor penyebab kegagalan itu sering dapat mengkompensasi atau mengimbangi faktor yang lainnya. Misalnya, prestasi studi yang baik dapat mengkompensasi kemampuan finansial yang kurang, dan sebaliknya, sehingga akhirnya dapat diterima. Namun, kebanyakan dari mereka yang harus kecewa memang lemah untuk kedua-duanya, sehingga tidak dapat tertolong lagi.

Akhirnya yang masih perlu kita cari pemecahannya adalah bagaimana menghilangkan pengkategorian sekolah favorit dan tidak favorit. Tidak ada alternatif lain, berbagai upaya perlu dilakukan untuk memperbanyak kelahiran sekolah-sekolah favorit. Misalnya, dengan melihat beberapa faktor dari sekolah itu, lalu ditentukan faktor mana yang bisa dipacu.

Mudah-mudahan dalam era kompetisi memilih sekolah, jangan sampai ada warga masyarakat yang dirugikan akibat salah pilih. Karena, kalau sampai salah pilih, selain menghabiskan biaya dan energi, juga membuang waktu yang tidak bisa dicarikan gantinya.

A Kardiyat Wiharyanto 
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 18 Mei 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi