Mungkin
sedikit di antara kita yang mengetahui bahwa 17 Mei adalah Hari Buku Nasional.
Hari Buku ini digunakan untuk memperingati berdirinya Perpustakaan Nasional di
Jakarta tahun 1980. Peringatan Hari Buku ini sangat berbeda dengan
peringatan hari-hari lainnya; jauh dari euforia masyarakat yang antusias
memperingatinya.
Hari
Buruh biasanya identik dengan demonstrasi buruh yang menuntut hak-hak mereka.
Hari Guru juga diwarnai dengan aksi demonstrasi guru. Hari Pendidikan Nasional
diperingati dengan upacara bendera. Sedangkan Hari Bumi diperingati dengan
gerakan untuk menjaga bumi dari kerusakan. Meskipun buku dekat dengan dunia
pendidikan, namun peringatan Hari Buku ini selalu dilewatkan. Bahkan pelajar,
guru, dan mahasiswa tidak banyak yang mengetahuinya.
Budaya baca
Bagi
sebagian besar masyarakat, buku tampaknya dipandang lebih dekat dengan `orang
cerdas' yang sedang mengenyam pendidikan, sehingga bagi mereka yang tidak
menempuh pendidikan, keberadaan sebuah buku dianggap tidak penting. Buku di
dalam kehidupan masyarakat kita memang masih dianggap barang mewah.
Keberadaan
buku di Indonesia masih memiliki dua masalah yang perlu mendapat perhatian.
Masalah tersebut adalah rendahnya minat baca masyarakat dan rendahnya
penghargaan terhadap buku serta perlindungan hak cipta bagi penulis buku.
Budaya
membaca memang telah menipis. Ada beberapa hal yang menyebabkan fenomena ini.
Pertama, masyarakat lebih tertarik menonton televisi daripada membaca buku.
Televisi memang lebih menarik perhatian masyarakat karena menonton televisi
tidak memerlukan perhatian dan tenaga ekstra, dan dapat dilakukan dengan
santai.
Kedua,
akibat perkembangan teknologi informasi, para pelajar, mahasiswa, dan
orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan lebih asyik membaca literatur
melalui internet. Parah nya, sebagian besar dari mereka hanya membaca blog atau
tulisan-tulisan bebas yang diunggah di website pribadi.
Kebiasaan
ini kemudian memunculkan budaya baru, yaitu budaya copy-paste, atau
salin-tempel. Ketika sedang mengerjakan tugas, mereka lebih suka mengunduh
tulisan-tulisan dari internet daripada membaca buku. Kemudian, mereka
mengumpulkan tulisan tersebut dan disalin di tulisan mereka, tanpa menyebut
identitas penulis aslinya.
Meskipun
ini adalah bentuk pelanggaran yang sangat berat, namun fenomena ini agaknya
sulit diberantas. Inilah wujud budaya instan dalam dunia pendidikan kita. Buku
telah tergantikan dengan media lain. Inilah yang menyebabkan masyarakat enggan
memanfaatkan dan membaca buku. Kedua, masalah penghargaan dan perlindungan hak
cipta bagi penulis buku. Alasan inilah yang menyebabkan produksi buku di
Indonesia relatif rendah.
Ada
anggapan bahwa harga buku cukup mahal. Masyarakat, bahkan guru, pelajar, dan
mahasiswa kurang dapat menghargai karya orang lain. Hal lain yang lebih
fatal lagi adalah maraknya pembajakan buku di Indonesia. Harga buku yang sangat
mahal menjadi alasan sekelompok orang untuk memanfaatkan momen ini dengan
membajak buku dan menjualnya dengan harga yang sangat murah di pasaran. Ulah
para pembajak tentu saja sangat merugikan penulis buku yang bersangkutan. Namun
sayangnya, pemerintah tidak memberikan perhatian pada masalah ini dan
seolah-olah hal ini dilegalkan.
Pelanggaran
hak cipta bukanlah hal baru di Indonesia. Dari pelanggaran hak cipta ringan (memfotokopi
tanpa izin penulis) sampai pelanggaran berat (menggandakan dan menjual
kembali). Seolah-olah kasus ini sulit dibongkar. Atau, memang pemerintah
tidak memiliki iktikad baik untuk memberantas praktik pembajakan di negeri
ini.
Hal ini
dapat dibuktikan dengan tidak ada razia pada produk-produk bajakan dalam
berbagai bentuk, misalnya, compact disc (CD), video
compact disc (VCD), kaset, buku, dan benda lain yang dapat dibajak.
Bisnis jual beli barang bajakan dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat
umum, padahal sebenarnya jual beli tersebut melanggar undang-undang. Namun,
pemerintah dan aparat penegak hukum tidak begitu peduli dengan hal ini.
Buku
adalah jendela dunia. Inilah semboyan yang selalu digunakan untuk mengajak
masyarakat agar gemar membaca buku. Namun, kenyataan berbicara lain, minat baca
masyarakat justru semakin menurun.
Pemerintah
perlu bekerja lebih keras untuk menyosialisasikan semboyan tersebut.
Perpustakaan yang dikelola pemerintah harus mengakar sampai tingkat desa atau
kelurahan. Selama ini perpustakaan milik pemerintah hanya dapat terjangkau di
tingkat kabupaten atau sekolah-sekolah. Akibatnya, masyarakat desa yang menjadi
mayoritas penduduk, tidak banyak yang memanfaatkan perpustakaan tersebut.
Kegiatan
perpustakaan keliling yang pernah jaya di era Orde Baru sekarang hampir tidak
terlihat lagi di daerah, terutama daerah terpencil yang jauh dari pusat
informasi dan pengetahuan. Program Orde Baru ini sebenarnya sangat efektif
untuk menyosialisasikan gemar membaca di kalangan masyarakat, namun tampaknya
hal tersebut sekarang telah terlewatkan. Pemerintah justru mengalokasikan
banyak anggaran yang tidak bertujuan jelas.
Buku
lebih bersifat eksklusif. Buku hanya milik kelompok berpendidikan, sementara
orang awam tidak banyak yang memanfaatkan buku. Sebenarnya, ketika masyarakat
awam tidak mampu mengenyam pendidikan, namun jika mereka mau dan diberi kesempatan
untuk membaca sebuah buku, pengetahuan mereka setara dengan orang yang belajar
secara formal.
Sebagai
gantinya, buku dapat diganti dengan surat kabar agar masyarakat menjadi melek
pengetahuan dan informasi. Namun sayang, masyarakat masih harus membeli surat
kabar yang harganya relatif mahal untuk masyarakat miskin. Di negara-negara
maju, surat kabar dibagikan secara gratis oleh produsen surat kabar karena
mereka telah mendapatkan untung dari iklan yang dimuatnya. Namun, hal ini
ternyata masih jauh dari harapan dan perhatian pemerintah.
Nanang
Martono ;
Dosen Sosiologi Unsoed Purwokerto,
Kandidat Ph D Sosiologi Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis
REPUBLIKA, 18 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi