Mumpung
kowe iseh podho cilik. Kowe kabeh kudu sekolah ben pinter. Yen pinter iso golek
pangan dewe. Yen ora sekolah, pengene mung diwenehi warisan. Aku mung duwe
sawah sepetak, dibagi karo sedulur - sedulurmu kowe mung entok se ilat. Ora
cukup kanggo mangan dewe. Iso-iso, kowe bakal rebutan warisan. Nanging yen kowe
pinter, ilmumu dibagi-bagi ra bakal entek. Seng penting, pinter ojo nggo
minteri wong liyo. Demikianlah pesan orangtua (Jawa) kepada anaknya
tentang betapa pentingnya mengenyam pendidikan demi masa depan.
Ungkapan
ini berarti, "Mumpung kalian masih kecil. Kalian semua harus sekolah biar
pintar. Kalau pintar bisa cari makan sendiri. Kalau kalian tidak sekolah, nanti
hanya mengharap diberikan warisan. Saya hanya punya sawah sepetak, jika dibagi dengan
saudara-saudaramu, kalian hanya dapat selidah. Tidak cukup untuk makan sendiri.
Bisa-bisa, kalian saling berebut warisan. Namun kalau kamu pintar, ilmumu
dibagi-bagi pun tidak akan pernah habis. Yang penting, kalau pandai, jangan
untuk mengakali orang lain."
Rasanya
tidak ada seorang pun yang menafikan arti penting pendidikan. Orangtua sering
menasihati anak-anaknya untuk selalu bersekolah. Menurut mereka, pendidikan
adalah hal yang lebih penting dibandingkan harta, bahkan paling penting di atas
segala-galanya. Sebab, pendidikan dipercaya mampu memperbaiki kualitas manusia.
Namun, melihat realita sistem pendidikan di negeri ini, timbul pertanyaan
kritis, apakah pendidikan negeri ini benar-benar mampu mewujudkan
harapan-harapan itu?
Dalam
perbandingan pendidikan dunia, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 127 negara
di dunia dalam bidang pendidikan. Hal ini dibuktikan dalam data Education for
All (EFA) Global Monitoring Report 2011 The Hidden Crisis, Armed Conflict and
Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York
(1/3/2011). Pencapaian Indonesia ini lebih baik dibandingkan dengan Filipina
(85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109). Namun, sangat tertinggal jauh
dari Finlandia, yang berada di urutan peringkat pertama.
Pendidikan
di negeri ini, masih sangat jauh dari kata 'sempurna'. Persoalan demi persoalan
terus saja terjadi. Lihat saja, bagaimana perdebatan tentang gonta-ganti
kurikulum, ujian nasional (UN), praktik perjokian masuk perguruan tinggi
negeri, korupsi buku pelajaran, dan setumpuk persoalan lainnya. Tak hanya itu,
totalitas pendidik mengajar peserta didik juga menjadi salah satu persoalan
yang belum terselesaikan. Ini menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia terus
tertinggal dari negara tetangga (Malaysia dan Singapura). Padahal, pendidikan
memikul sejuta harapan anak-anak bangsa. Seharusnya, persoalan-persoalan yang
ada menjadikan kita terpukul, dan berlomba untuk memperbaiki kualitas
pendidikan negeri.
Pendidikan
dalam suatu negara dapat dikatakan baik bila pendidik dan peserta didik masih
dalam satu pemikiran yang dikemas dengan dukungan pemerintah melalui
kelengkapan fasilitas belajar. Kelengkapan fasilitas berikut sarana dan
parasarananya akan sangat menentukan kualitas pendidikan. Semua itu, pada
dasarnya berujung pada penciptaan generasi-generasi brilian juga konstruktif.
Untuk
menciptakan generasi yang brilian mestinya pendidikan di Indonesia
memaksimalkan pembelajaran pada masa anak-anak, terutama masa anak-anak perlu
mendapatkan pendidikan pada usia dini (PAUD) pada masa pertumbuhan, karena pada
masa ini pertumbuhan otak sangat tinggi, mencapai 90 persen. Dan, brain paths
berkembang sebelum anak masuk usia SD (usia 7 tahun). Dalam istilah lain,
usia-usia ini sering dikatakan sebagai 'usia emas'. Sebab, pada usia dini ini,
anak mempunyai daya serap otak yang berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan
pada usia selainnya. Sehingga, sugesti-sugesti positif akan sangat mempengaruhi
perkembangan anak.
Lihat
negara Finlandia, dalam upayanya menciptakan pendidikan berkualitas, mereka
memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki anak usia emas meski juga tak
menafikan optimalisasi pendidikan pada usia-usia selanjutnya. Mereka banyak
menerbitkan buku anak-anak bergambar, baik berbahasa asing, maupun non bahasa
asing (daerah), serta menyiarkan acara televisi anak-anak yang mendidik, baik
terjemahan dari bahasa asing maupun bahasa asli daerah Finlandia.
Hal ini
sangat berbeda jauh dengan negeri ini, sistem yang masih berantakan, buku
anak-anak masih jarang diterbitkan, acara televisi banyak yang kurang mendidik.
Hal ini berdampak pada generasi-generasi yang tidak siap bersaing di kancah
dunia. Mentalitas-mentalitas pemimpin masa depan, gagal dibentuk. Akhirnya,
muncul pemimpin hedonis, materialistis, serta koruptif.
Dalam hal
ini, pendidikan bertanggung jawab dalam mewujudkan harapan-harapan orangtua,
maupun harapan bangsa. Upaya-upaya mewujudkan harapan itu, harus dilaksanakan
dengan mempertimbangkan potensi-potensi anak. Jika hal ini benar-benar
direalisasikan, masa depan anak dan bangsa yang gemilang akan terjamin. Negeri
ini tidak akan mengalami krisis pemimpin-pemimpin konstruktif. Harapan orangtua
dan bangsa pada pendidikan nasional pun akan terwujud.Wallahu a'lam bi
al-shawaab.
Mohammad
Sholihul Wafi ;
Mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Sunan
Kalijaga, Aktivis HMI Cabang Yogyakarta
SUARA KARYA, 27 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi