“Momentum” Gagal UN

Di tengah pro-kontra penyelenggaraan ujian nasional (UN), saatnya kita perlu berefleksi bahwa gagal ujian bagi peserta didik justru ’’diperlukan’’ sebagai sarana pendidikan mental supaya mereka lebih siap menghadapi tantangan hidup. Kegagalan dalam ujian itu merupakan momentum penting guna pembentukan mental tangguh.

Pandangan masyarakat pada umum­nya bahwa sekali meng­ikuti ujian harus berhasil. Ber­bagai upaya dilakukan oleh peserta didik, termasuk orang tua, dan sekolah, dari yang rasional sampai irasional hanya demi satu tujuan: sukses ujian nasional. Seolah-olah kegagalan itu kiamat kecil. Ujian nasional dipandang sebagai satu-satunya cara untuk sukses.

Memandang bahwa keberhasilan belajar adalah lulus ujian nasional adalah cara pandang parsial dalam proses pendewasaan peserta didik. Pendidikan bukan sekadar urusan pencerdasan intelektual (IQ) yang tolok ukurnya adalah lulus ujian nasional.

Pendidikan juga pesan mendasar dalam setiap proses pendidikan adalah pendewasaan peserta didik agar  menjadi manusia mandiri, siap mengahdapi tantangan zamanya (Moch­tar Buchori, 2001). Kegagalan dalam ujian nasional adalah ’’kurikulum’’ penting bagi proses pendewasaan peserta didik.

Salah satu cara melatih seseorang agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang berkarakter dan berkepribadian tangguh adalah kegagalan. Melalui kegagalan manusia akan tumbuh kuat yang lebih siap menghadapi tantangan zaman.

Memang, untuk mengukur kemampuan kognitif seorang bahwa ia pantas naik level (lulus) peserta didik mesti diuji terlebih dahulu dengan seprangkat alat uji soal-soal yang terkait dengan analitis matematis. Peserta yang melampaui, berhak menlanjutkan ke jenjang berikutnya.

Namun untuk membentuk mental tangguh, pengalaman pahit seperti kegagalan dalam ujian nasional merupakan salah satu momen yang tepat. Realitas itu merupakan salah satu ’’kurikulum’’  untuk menumbuhkembangkan kecerdasan mental spiritual (ESQ) yang bermuara pada keterbentukan tetangguhan mental.

Seseorang gagal ujian bukanlah aib seperti yang selama ini dipersepsikan oleh banyak peserta didik, guru, dan orang tua. Dari segi pendidikan mental spiritual dan pembentukan karakter, kegagalan itu merupakan media belajar  agar berkesempatan untuk merefleksi diri, memupuk kesabaran, meningkatkan ketawakalan dan ketakwaan. Jadi, ada unsur transedental di baliknya.

Ketangguhan Mental

Bila pendidikan karakter pada dasar­nya adalah menghadirkan dan menghadapi tantangan artifisial (outbound  dan sejenisnya) agar tumbuh menjadi manusia tangguh, gagal ujian nasional merupakan ’’berkah’’ tersendiri yang pada akhirnya juga dapat mengantarkan karakter tangguh.

Pembentukan mental tangguh tidak dapat dilakukan hanya dengan wacana kognitif berikut alat uji. Gagal ujian adalah pengalaman tidak terlupakan. Ketika pengalaman pahit ini dipandang sebagai momentum yang  memotivasi maka gagal UN adalah sebuah  pelajaran pembentuk karakter yang cukup efektif.

Banyak orang sukses yang merasa ’’berterima kasih’’  pada kegagalannya. Kegagalan adalah guru terbaik karena justru mengantarkan kesuksesan. Sekadar menyebut contoh orang sukses di balik kegagalannya: Thomas Alfa Edison, penemu lampu neon, ratusan kali ia gagal dalam eksperimen.

Demikian pula Suchiro Honda (penemu mesin Honda), sampai jarinya buntung untuk bereksperimen. Bahkan Billi S Liem, pembicara ternama di Asia mengalami kegagalan selama 15 tahun, baik selama studi, karier, maupun bisnis. Pengalaman kegagalan itu ditulisnya dalam buku Dare to Fail (2006). Buku itu menjadi international best seller dan mengantarkannya menjadi pembicara papan atas Asia.

Yang perlu ditanamkan kepada mereka yang gagal ujian nasional adalah tetaplah berpikir positif bahwa kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari kesuksesan; gagal ujian bukanlah aib melainkan momentum pembentukan mental tangguh.


Selain itu, belajar jauh lebih penting ketimbang ujian itu sendiri; dan apa pun bentuk tantangan bisa diatasi dengan tetap belajar.

Waidi ;  
Pegawai dan Dosen Luar Biasa
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
SUARA MERDEKA, 27 Mei 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi