5 Perkara Menuju Pendidikan Berkualitas

SEORANG mahasiswa dalam sebuah seminar merasa bingung sekaligus geram, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan dunia pendidikan di Tanah Air saat ini. Seluruh persoalan pendidikan seakan tak henti menerpa. Ada masalah ujian nasional (UN) yang selalu bermasalah, kebijakan kurikulum yang berubah-ubah, dan mutu guru yang rendah meski sudah disertifikasi, serta segudang masalah lainnya yang berujung pada lemahnya pendidikan karakter.

Mahasiswa itu mengajak seluruh peserta seminar untuk bertanya dan berkaca, apa hasil pembangunan di sektor pendidikan yang bisa dibanggakan dalam 10 tahun terakhir ini? Jawabannya, hampir tak ada yang bisa dibanggakan. Selain masalah anggaran, tampaknya pendidikan seperti jalan di tempat. Namun, meskipun anggaran sudah 20% dari total APBN, kualitas pendidikan juga tampak tak bergerak secara positif. Ini artinya kegelisahan mahasiswa tersebut bisa jadi mewakili kegelisahan mayoritas masyarakat yang meragukan bahwa pendidikan sudah lebih baik.

Jelas sekali banyak persoalan pendidikan yang harus ditata dan dikelola secara sabar dan berkesinambungan. Lantas apa yang mungkin dan harus dilakukan birokrasi pendidikan kita untuk mengurai keruwetan pendidikan kita? Menurut saya, setidaknya ada lima perkara yang harus menjadi titik tekan proses kebijakan pendidikan kita ke depan.

Pertama, buat kebijakan yang mengharuskan dibukanya kesempatan bagi masyarakat untuk ikut serta secara penuh dalam mengelola sekolah bagi putra-putri mereka. Prinsip ini harus dalam bentuk mutualbenefit dan masyarakat bisa mengambil keuntungan dari hadirnya sekolah, sebagaimana sekolah yang jelas harus memberi kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk berperan serta. Salah satu yang paling kritis dan membutuhkan peran serta masyarakat adalah membangun perpustakaan sekolah sebanyak dan sebaik mungkin. Tujuannya untuk meningkatkan minat baca siswa sekaligus masyarakat.

Libatkan masyarakat

Saya membayangkan perpustakaan yang cukup luas, penuh koleksi buku yang beragam, ruang baca yang nyaman, dan memungkinkan masyarakat untuk mengakses fasilitas tersebut secara bebas pada jam sekolah ataupun di hari libur, pastilah menyenangkan. Melibatkan masyarakat masuk struktur sekolah dan perpustakaan sebagai pengelola adalah hal yang amat mungkin dilakukan agar kualitas pendidikan kita meningkat. Dengan menjadikan sekolah lebih terbuka untuk diakses masyarakat, peluang untuk menjadikan masyarakat sebagai mitra strategis dan sejajar dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan merupakan imperatif. The school should be a place where the community is always welcome.

Kedua, Kemendikbud juga harus berani menerapkan kebijakan team-teaching dalam rangka memberikan siswa kesempatan secara luas untuk belajar bekerja sama. Momentum kurikulum baru yang lebih mementingkan pengembangan aspek sikap siswa (student attitude) jelas membutuhkan team-teaching yang kuat. Pola pembelajaran secara kolaboratif harus dijadikan sebagai salah satu strategi dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.

Ketiga, melatih para guru dalam penguasaan teknik pembelajaran yang autentik dan penuh arti dengan melihat apa yang terjadi di dalam masyarakat. Pola-pola seperti kunjungan lapangan (field trip), kunjungan sekolah, serta project class yang berorientasi pada pengembangan keterampilan sosial siswa menjadi sangat relevan untuk diajarkan saat ini. Sudah saatnya meninggalkan buku teks yang antisosial dan membiarkan anak-anak menjadi pengkhayal apa yang terjadi ketimbang menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat.

Disiplin kolektif

Keempat, bersama-sama dengan masyarakat, sekolah selaiknya membuat aturan yang secara etik dapat dipertanggungjawabkan menyangkut moralitas guru. Di tengah marak dan meningkatnya kekerasan dan pelecehan seksual di masyarakat, sekolah jelas harus memiliki semacam code of conduct dalam rangka meminimalkan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan sekolah.

Kelima, sekolah jelas harus menjamin bahwa baik guru, kepala sekolah, maupun masyarakat menyadari pentingnya menambah wawasan dan pengetahuan secara mandiri dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka secara berkesinambungan.

Secara ringkas kelima hal di atas sesungguhnya merupakan disiplin kolektif yang disebut Peter Senge (2004) dalam Fifth Discipline sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindari. Baik penguasaan diri (personal mastery) para guru yang merupakan praktik pengartikulasian gambaran koheren dari pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah maupun keberanian setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision) merupakan bentuk-bentuk disiplin kolektif untuk menghubungkan sekolah-guru-masyarakat yang menekankan perhatian pada tujuan bersama.

Disiplin kolektif ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental (mental models), sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi para guru, orangtua, dan kepala sekolah terhadap siswa dan anak-anak mereka. Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan terkini. Selain itu, dengan membentuk kelompok belajar (team learning), yakni sebuah disiplin dalam interaksi kelompok melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion. Itu merupakan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian serta kemampuan lebih besar secara kelompok.

Adapun yang terakhir adalah disiplin kolektif tentang sistem berpikir (systems thinking), yang dalam disiplin ini baik guru, kepala sekolah maupun masyarakat harus memahami ketergantungan dan perubahan sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow dan berbagai simulasi yang membantu siswa untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari.


Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap sekolah berkesempatan melakukan sebuah ‘uji-coba’ terapan terhadap lima prinsip dasar di atas bagi sebuah pengembangan institusi pendidikan (sekolah) yang mengutamakan pengembangan dan penjaminan mutu (quality assurance).

Ahmad Baedowi  
Direktur Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi