BAGI
bangsa Indonesia, upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan merupakan
suatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Kemajuan suatu masyarakat dan
bangsa mensyaratkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu. Banyak bangsa,
meskipun dengan sumber daya alam (SDA) sangat terbatas, dapat maju dan makmur
karena mutu SDM sangat baik. SDM yang bermutu hanya dapat diwujudkan dengan
pendidikan baik dan terukur.
Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi’.
Ujian
nasional (UN) 2013 sudah berlalu meskipun dalam suasana yang kurang produktif
dan kondusif. Hasil UN SMA/ MA, SMK, SMALB, dan paket C sudah diumumkan pada 24
Mei 2013 dan akan disusul hasil UN SMP/MTs, SMPLB, dan paket B pada 1 Juni
2013. Hasil UN SD/MI dan paket A akan diumumkan 8 Juni 2013.
Kontroversi
tentang UN dan kekisruhan dalam penyelenggaraannya tahun ini semakin memperkuat
alasan pihak yang kontra untuk mendesak UN dihapus. Usulan penghapusan UN itu
perlu dikaji dengan kehati-hatian. Jika dilihat dari perspektif peningkatan dan
pemerataan mutu pendidikan, UN merupakan salah satu instrumen penting yang
perlu untuk dipertahankan.
Namun,
berbagai kelemahan baik secara institusional maupun administrasinya harus terus
disempurnakan. Urgensi UN bagi peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan,
antara lain, mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional.
Kompetensi minimal
Tujuan UN
ialah mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) secara nasional pada
suatu jenjang dan jenis pendidikan dasar dan menengah. SKL ialah kompetensi
minimal yang harus dikuasai siswa untuk lulus, bukan kompetensi maksimal atau
kompetensi unggulan. Sekolah diberi kewenangan untuk
mengembangkan dimensi keunggulan, sesuai dengan tuntutan lingkungan serta visi
dan misi masing-masing. Hal itu merupakan perwujudan dari prinsip otonomi dalam
bidang pendidikan, sesuai dengan tuntutan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pada tingkat daerah, pendidikan merupakan salah satu bidang
pemerintahan yang diotonomikan. Pada tingkat sekolah disebut dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS), dengan kepala sekolah diberi kewenangan untuk
mengoptimalkan potensi sekolah secara kreatif dan inovatif guna peningkatan
mutu di sekolah. Pada tingkat guru diwujudkan dalam bentuk kewenangan guru
untuk mengembangkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) secara
kreatif dan inovatif, sesuai dengan tuntutan lingkungan serta visi dan misi
sekolah, yang mengacu kepada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang
dikembangkan di sekolah.
Sesuai
dengan prinsip otonomi pendidikan tersebut, pengukuran pencapaian SKL sebagai
kriteria minimal mutlak diperlukan karena dua alasan utama. Pertama, sebagai
acuan bersama untuk dicapai, yang secara bertahap dan sistematis menuju kepada
tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, supaya sekolah tidak memberikan pendidikan semu kepada peserta didik,
yakni sekadar memberi ijazah, tidak membekali mereka dengan kompetensi yang
mencukupi, sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan yang telah mereka tempuh.
Praktik
itu pernah kita alami pada era 1970an, ketika kewenangan penyelenggaraan ujian
akhir sepenuhnya diberikan kepada sekolah, yang disebut dengan evaluasi belajar
tahap akhir (EBTA). Pada era itu, semua sekolah, belajar atau tidak, cenderung
meluluskan siswa mereka 100%. Akibatnya, kita tidak memiliki tolok ukur tentang
mutu pendidikan. Nilai rapor dan nilai surat tanda tamat belajar (STTB) tidak
dapat dijadikan kriteria tentang pencapaian kompetensi siswa dan tidak dapat
dibandingkan antarsekolah dan antartahun.
Nilai
rapor dan nilai STTB sangat bergantung pada setiap sekolah. Nilai rapor dan
nilai STTB dari sekolah-sekolah yang kurang baik bahkan pada umumnya lebih
tinggi jika dibandingkan dengan nilai rapor dan nilai STTB sekolah-sekolah yang
termasuk kategori baik. Atas dasar itu, pengukuran dan penilaian pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional mutlak diperlukan di era otonomi daerah saat
ini.
Peningkatan mutu
Mutu
pendidikan yang baik tidak dapat diraih secara instan, tetapi harus dengan
kerja keras semua pihak yang terkait. Mutu pendidikan yang baik hanya dapat di
wujudkan bila siswa dapat belajar dengan benar, guru berkesungguhan dalam
melaksanakan tugas, orangtua memberi perhatian yang baik terhadap pembela jaran
anak-anak di rumah, dan kepala sekolah bersungguh sungguh dalam menyeleng
garakan manajemen sekolah yang mendukung tumbuh dan berkembangnya budaya mutu
di sekolah.
UN
sejatinya dapat mendorong semua pihak tersebut untuk bekerja keras guna
mencapai kelulusan yang baik. Namun, dalam praktiknya setidaknya ada dua
kendala yang menjadi faktor penghalang terwujudnya kemampuan kerja keras yang
bersinergi dan konstruktif di antara pihak-pihak terkait. Pertama, faktor
psikis masyarakat dan sekolah yang menginginkan lulus 100%. Sejak
diimplementasikan ujian sekolah dan sampai pada saat pelaksanaan ebtanas, sudah
berkembang budaya lulus 100%. Kedua, faktor otonomi daerah, karena pendidikan
merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, hasil UN sering dijadikan
sebagai indikator kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, di daerah-daerah
tertentu ditengarai kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan supaya hasil
UN di daerah mereka baik.
Selanjutnya
kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah dan kepala sekolah menekan guru.
Faktor itu bisa menjadi pemicu bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan
berbagai kecurangan dalam pelaksanaan UN. Berkaitan dengan faktor kedua itu
kita mungkin bisa becermin dengan Malaysia. Negara jiran itu, meskipun menganut
sistem pemerintahan negara serikat, punya acuan bahwa pendidikan tetap menjadi
urusan pemerintah federal karena pendidikan dipandang sangat strategis dan
penting bagi kemajuan bangsa. Hasil UN pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah di Malaysia tidak serta-merta dijadikan sebagai indikator kinerja
pemerintah daerah atau pemerintah negara bagian.
Pemerataan mutu
Hasil UN
yang jujur dan transparan sangat bermanfaat bagi upaya pemerataan mutu
pendidikan. Berdasarkan hasil UN, pada tingkat sekolah, dapat diketahui
kekuatan dan kelemahan pada berbagai mata pelajaran. Dengan demikian, dapat
dilakukan upaya-upaya sistematis dan terarah untuk perbaikan. Pada tingkat
daerah, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan dari berbagai satuan pendidikan
yang ada di daerah sehingga pemerintah daerah dapat melakukan upaya-upaya
pembinaan dan pemberian bantuan secara tepat kepada satuan pendidikan. Pada
tingkat nasional, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing.
Dengan demikian, pemerintah pusat dapat melakukan pembinaan dan pemberian
bantuan secara tepat pula kepada daerah dalam rangka pemerataan mutu
pendidikan.
Upaya
pembangunan bidang pendidikan, terutama dalam rangka peningkatan dan pemerataan
mutu pendidikan, harus didasarkan pada data empiris yang valid, tidak boleh
didasarkan pada persepsi dan asumsi para pejabat, apalagi memanfaatkan opini
yang dibangun melalui media massa. Hasil analisis daya serap UN dapat
dimanfaatkan untuk perbaikan mutu pendidikan pada tingkat sekolah, daerah, dan
pusat.
Negara-negara
yang menyelenggarakan ujian yang bersifat high-stakes, seperti ujian nasional,
membentuk badan yang diberikan otoritas penuh (examination authority)
dalam penyelenggaraan ujian. Lembaga Peperiksaan di Malaysia, sebagai misal,
meskipun berada di bawah Kementerian Pendidikan, independen dari pengaruh
kementerian dan perdana menteri. Singapore Examination and Assessment
Board (SEAB) di Singapura (swasta) juga sangat independen dalam
penyelenggaraan ujian dan bertanggung jawab kepada parlemen.
Kedua
lembaga penilaian di muka memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan ujian
dan punya perangkat serta sumber daya yang mencukupi, sampai di daerah tempat
diselenggarakannya ujian.
Itu
sangat berbeda dengan di Indonesia saat ini. Menurut PP No 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN ialah Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Namun, lembaga itu tidak memiliki otoritas penuh
serta tidak memiliki perangkat dan sumber daya yang mencukupi untuk menjamin
terselenggarakannya UN dengan baik dan kredibel.
Banyak
tangan yang berperan dalam penyelenggaraan UN; banyak kepentingan pula yang
dapat bermain. Dengan demikian, kejujuran dan kredibilitas dalam
penyelenggaraan UN sangat sukar diwujudkan.
Teuku
Ramli Zakaria ;
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi