Ironis
sekaligus menyedihkan. Di tengah banyaknya anak bangsa yang sibuk memperingati
Hari Kebangkitan Nasional, seorang anak dari keluarga miskin yang masih duduk
di kelas IX SMP PGRI Kota Depok, Fanny Wijaya, 15, nekat mengakhiri hidupnya
dengan menggantung diri (KORAN SINDO JABAR, 20/5/2013).
Motifnya,
selain diduga karena khawatir tidak bisa lulus ujian nasional (UN), dia juga
cemas tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA karena kemiskinan
yang melilitnya. Itulah satu dari sekian banyak potret gelap dunia pendidikan
bagi anak dari keluarga miskin di negeri ini pada saat ini. Persisnya,
pendidikan yang sejatinya membahagiakan, buat anak dari keluarga miskin tak
jarang dirasakan begitu menindas, bahkan menyakitkan.
Saking
menindasnya, pendidikan tak jarang hadir menjadi penyebab seorang harus rela
mati dengan cara yang sangat memilukan, bunuh diri. Bukan hanya itu, pendidikan
yang sejatinya menyenangkan sekaligus membebaskan, buat si miskin sering
dirasakan hadir sangat membelenggu. Saking membelenggunya, pendidikan tak
jarang hadir menjadi sumber tekanan, bahkan sumber malapetaka bagi mereka yang
ingin mendapatkannya.
Di
situlah pula relevansinya bagi para praktisi pendidikan, juga bagi para pembuat
kebijakan di negeri ini, untuk merenungkan ulang pemikiran kritis sosok tokoh
bernama Paulo Preire, seorang pakar pendidikan asal Brasil yang
gagasan-gagasannya masih sangat relevan untuk memotret sekaligus membantu
memecahkan banyak persoalan pendidikan yang muncul di negeri ini.
Humanis-Revolusioner
Dalam
salah satu karyanya yang berjudul The Pedagogy of The Opressed (1973),
Preire pernah menyadarkan banyak orang dengan kritik tajamnya sebagai berikut:
pendidikan yang selama ini nyaris dianggap sakral karena sarat kebajikan,
ternyata juga mengandung penindasan, kira-kira persis seperti yang dialami Fany
Wijaya.
Dengan
kritiknya itu, Preire punya gagasan besar untuk menjadikan pendidikan sebagai
sarana mewujudkan sebuah tatanan dunia yang dia sebut sebagai menos
feio, menos malvado, dan menos desumano (less ugly, less cruel, less
inhuman), sebutlah tatanan dunia yang lebih baik. Karena itu, Preire di
kalangan pakar pendidikan adalah seorang humanis. Menurut saya, ke sanalah pula
arah dan substansi Kurikulum 2013 salah satunya diarahkan dan ditekankan.
Tentu
saja, gagasan Preire yang humanis-revolusioner itu tidaklah datang sendiri,
kecuali sebagai sebuah gugatan terhadap berbagai ketidakberesan struktur sosial
yang terjadi pada saat itu. Seperti pernah diungkapkannya bahwa kebanyakan
hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis, seperti yang terjadi masyarakat
kita, termasuk hubungan yang terlibat dalam dunia pendidikan, selalu didasarkan
pada hubungan penindasan.
Menurut
Preire yang secara kebetulan meninggal pada 2 Mei 1997, tanggal Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) tiap tahunnya kita peringati, pada dasarnya manusia adalah
makhluk yang tidak sempurna, incomplete and unfinished being. Karena itu,
manusia selalu dituntut berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas
eksistensialnya, yakni menjadi subjek yang manusiawi. Di situlah pula arti
pentingnya kehadiran pendidikan yang membebaskan (liberation).
Dalam
pemikiran filosofisnya, humanisasi adalah inti dalam pendidikan karena dia
merupakan panggilan ontologis manusia. Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi
atas panggilan ontologis manusia. Pemikiran filosofis Preire bertumpu pada
keyakinannya bahwa secara fitrah, manusia mempunyai kapasitas untuk mengubah
dirinya, dan ke sanalah arah pemikiran pendidikannya ditujukan, yakni
mengantarkan manusia menjadi subjek.
Misi Pembebasan
Atas
dasar pemikirannya itu pula, tugas utama pendidikan dalam pemikiran Preire
mesti memiliki misi ganda, yakni meningkatkan kesadaran kritispeserta didik
sekaligus mentransformasikan struktur sosial yang menindas. Baginya, kesadaran
manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan yang
membentuknya. Baginya pula, setiap manusia punya potensi untuk berkembang dan
memengaruhi lingkungan.
Namun
sebaliknya, dia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat
dia berkembang. Kesadaran kritis yang dimaksud Preire adalah bentuk kesadaran
yang selalu melihat struktur sosial sebagai sumber masalah. Itu sebabnya, arah
pendidikan dalam pemikiran Preire adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar
peserta didik terlibat dalam setiap proses penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik.
Itulah
pula yang kemudian melahirkan gagasan Preire tentang arti pentingnya peran guru
sebagai pekerja kultural (cultural workers). Dengan perannya itu, guru
dalam penyelenggaraan pendidikan selain memiliki tugas untuk memberikan
pengajaran di kelas, juga harus mampu menjadikan pendidikan sebagai medium
untuk mereproduksi struktur sosial yang membebaskan. Itu pula sebabnya, Preire
berpendapat bahwa pendidikan juga harus merupakan tindakan politik.
Seperti
dikutip Michael W Apple dkk, dalam Joy A Palmer (2003), Preire menulis:
“Pendidikan untuk orang tertindas, sebutlah pendidikan untuk anak dari kalangan
miskin, seperti anak yang bernama Fanny Wijaya asal Depok, (adalah) pendidikan
yang harus dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas dalam perjuangan
tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka.
Pendidikan
ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi objek refleksi kaum tertindas,
dan dari refleksi itulah lahir pembebasan (liberation)”. Dengan
gagasan-gagasannya itu, tidak keliru jika kemudian banyak pihak yang
menempatkan Paulo Preire sebagai seorang humanis-revolusioner.
Dengan
gagasan-gagasannya itu pula, kehadiran Preire menjadi sangat berharga untuk
kita simak karena arah politik pendidikannya yang begitu jelas berporos pada
keberpihakannya terhadap kaum tertindas (the oppressed), sebuah arah
politik pendidikan yang relevan dengan kondisi kekinian dunia pendidikan di
republik ini pada saat ini. Wallahu a’lam bisshawab.
Saeful
Millah ;
Dosen IAIN Cirebon, Alumnus Sekolah
Pascasarjana (S3) UPI Bandung
KORAN SINDO, 28 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi