Wisuda Sekolah Sukma Bangsa

ENAM tahun bukanlah waktu yang singkat untuk perjalanan seorang anak. Ketika para siswa kami jemput di 2006 untuk bersekolah di Sukma Bangsa, kondisi fisik mereka masih terlihat kecil. Jangan di tanya kondisi psikologisnya, jelas sedang mengerang duka dan kesedihan karena saat itu anak-anak masih dalam situasi traumatik pascakonflik dan tsunami. Namun, Jumat pekan lalu, tepatnya tanggal 17 Mei 2013, mereka diwisuda sebagai petanda telah selesainya mengikuti proses belajar di Sukma Bangsa.

Selain mensyukuri dengan penuh suka dan gembira, wisuda juga baik untuk alat berkaca diri tentang apa yang sudah terlalui. Itulah yang dilakukan anak-anak Sekolah Sukma Bangsa Angkatan 2006/2007 dalam refleksi personal mereka. Reza Saputra, putra asli Simeulue, melukiskan perasaannya dalam dialog dengan gurunya. Menurutnya, 6 tahun di Sukma Bangsa adalah masa-masa indah dan paling berharga dalam kehidupannya. Meski pada awalnya dia sempat merasa bosan dan rindu kampung halaman, Reza akhirnya bisa bertahan bahkan betah bersekolah karena selalu dimotivasi guru dan teman-temannya.

Ada Putri Mentari Bengi, gadis Gayo yang cukup tinggi untuk ukuran seusianya, juga bercerita tentang suka dan duka hidup di asra ma selama 6 tahun. Dia sempat minder dan tidak percaya diri karena ukuran badannya yang tinggi. Namun, karena pendekatan guru yang memercayai talentanya, Putri diminta berlatih pramuka dan baris-berbaris. Buahnya adalah kepercayaan dirinya meningkat, dan dia berhasil ikut seleksi pengibar bendera pusaka (paskibraka) mewakili Aceh untuk menja di pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka 17 Agustus 2012.

Sebagai orang yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab mengelola Sekolah Sukma Bangsa, saya menikmati benar momen-momen seperti wisuda ini. Sebagai sebuah sekolah yang awalnya didedikasikan terhadap anak-anak korban tsunami dan korban konflik, Yayasan Sukma saya anggap berhasil dalam membawa misi memperbaiki kualitas pendidikan di Tanah Rencong. Kualitas menjadi kata kunci yang harus terus-menerus diusahakan dan diperbaiki, terutama di bidang pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan berkualitas, diharapkan generasi bangsa dari Aceh akan mampu berkontribusi secara positif terhadap pembangunan Aceh yang lebih baik dari sekarang.

Dalam keceriaan wajah anak-anak ketika diwisuda, saya belajar banyak tentang ba gaimana seharusnya bangkit dari kehilangan harapan. Sebagai hamba Tuhan, kita memang tidak bisa memilih dan menghindari takdir. Ada anak yang dilahirkan dari para orangtua yang kurang beruntung, ada anak-anak yang dilahirkan dari keluarga kaya, bahkan kita tidak dapat menghindari jodoh dan kematian kita nanti. Demikian juga dengan musibah.

Membanggakan bisa melihat anak-anak saat ini sudah melupakan masa-masa sulit itu. Anak-anak Sukma saat ini terlihat lebih memiliki harapan untuk melangkah ke masa depan dengan penuh semangat dan bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh lagi. Ada idiom menarik dari karya Ahmad Fuadi yang menulis novel Negeri Lima Menara, yaitu man jadda wajada yang kurang lebih berarti‘siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan mendapatkannya’. Idiom ini mengisyaratkan bahwa mereka pasti akan lebih bersungguh-sungguh dalam menggapai cita-cita dan mimpi-mimpi ke depan.

Modal ilmu dan perilaku yang sudah dipelajari anakanak selama 6 tahun di Sekolah Sukma Bangsa merupakan tools atau alat untuk menentukan masa depan. Sekolah Sukma Bangsa merupakan sekolah yang sama sekali tidak menoleransi ketidakjujuran. Anak-anak telah dididik untuk menjadi orang jujur karena kejujuran merupakan mata uang yang berlaku di mana saja se panjang zaman. Saya berharap modal karakter ini dapat membimbing, menaungi, dan melindungi anak-anak Sukma Bangsa dari kegelapan masa depan yang hari ini sudah terasa buram.

Kehadiran Sekolah Sukma Bangsa di Aceh merupakan buah dari kerja sama semua pihak, terutama para pengelola dan guru serta donatur. Kehadiran dan keberadaan mereka akan tetap dibutuhkan untuk keberlangsungan sekolah yang indah dan berkarakter ini. “A person is a person because of other people.” Sekolah Sukma Bangsa hadir dan ada untuk berbagi pengalaman dan kehendak untuk terus belajar kepada seluruh masyarakat Aceh, dengan cinta dan kasih sayang. Hasil ini berbuah manis jika ukurannya ialah kelekatan anak-anak dengan guru mereka.

Meskipun sebagian besar siswa Sekolah Sukma Bangsa tidak lagi memiliki orangtua karena wafat akibat terseret tsunami serta terbunuh akibat konflik, bukan berarti mereka tak memiliki lagi kasih sayang. Guru-guru di Sekolah Sukma Bangsa telah menunjukkan empatinya setiap waktu kepada seluruh siswa mereka dalam sebuah proses panjang bernama sambungan kasih sayang (connecting love) sehingga kelekatan antara siswa dan guru mereka terjalin sangat erat dan lekat, baik secara spiritual maupun emosional.

Salah satu untaian puisi indah dengan judul Hari Kemarin ditorehkan oleh salah satu siswa bernama Muthmainah atau yang biasa disapa Nina, tentang bagaimana kelekatan cinta dan kasih sayang antara guru dan siswa terjalin:

Hari ini ketika kumenatap masa depan
Ada hari kemarin yang mengajariku harapan dan kekuatan

Hari ini ketika aku berani berdiri di tepian tantangan kehidupan
Ada hari kemarin yang mengajariku keberanian

Hari ini ketika jalan masih terbentang panjang
Ada hari kemarin juga sudah mengajariku untuk tak lelah berjuang

Di sana, hari kemarin, ada guruku
Guruku yang berpeluh atas teguhnya aku hari ini

Kemarin itu sungguh jauh
Tetapi cinta itu masih terasa dekat, melekat

Kemarin, hari ini dan esok
Kami selamanya mencintai kalian, wahai guruku tersayang... 

Ahmad Baedowi ;  
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 20 Mei 2013


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi