Berjuang di Pendidikan 2.0

ANGKA pada usia atau ketuaan adalah keniscayaan, tetapi keterpakuan pada gagasan usanglah yang menakutkan. Terlebih, jika gagasan usang dipaksakan pada kebijakan pendidikan publik, generasi mendatang jelas sedang diancam bahaya.

Pada 16 Oktober 1996, saat capres Bob Dole dari Partai Republik menantang kursi kepresidenan AS yang dipegang petahana Presiden Bill Clinton, isu perbedaan usia menyeruak. Bob Dole yang merupakan veteran Perang Dunia II berusia jauh di atas Presiden Clinton, yang berasal dari generasi Flower Power atau Daya Bunga. Media ramai mempertanyakan apakah Senator Dole tidak terlalu tua untuk menjadi presiden. Namun, Presiden Clinton menegaskan, “I can only tell you that I don't think Senator Dole is too old to be president. It's the age of his ideas that I question.“Keusangan gagasanlah yang harus dipertanyakan.

Gagasan usang

Pemaksaan gagasan usang dan tak sesuai itu juga yang kerap menjadi akar kebanyakan masalah pendidikan nasional. Padahal, syarat kesesuaian pendidikan dengan generasi anak sudah diingatkan, antara lain oleh Ali bin Abi Thalib ra: “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.“

Dalam ucapan itu terkandung tiga pesan. Pesan pertama mengingatkan bahwa penentu kebijakan pendidikan ha rus mampu merumuskan kecakapan apa yang dibutuhkan di masa depan, agar dapat membekali para siswa dengan kecakapan tersebut. Sebaliknya, hindari membekali siswa dengan kecakapan basi yang tak relevan.

Oleh karenanya, menjadi aneh saat mendengar pendapat pembelaan politisi pencetus UN, yang membandingkan soal 1950-an dengan soal matematika 2000-an. Terlebih lagi saat dikatakan bahwa soal 1950-an lebih susah jika dibandingkan dengan sekarang. Itu dua disiplin dan masa yang sangat berbeda. Yang satu namanya berhitung, sedangkan yang sekarang bernama matematika. Selain itu, di kehidupan tahun 1950 belum ada kalkulator, sedangkan sekarang benda itu tersedia dan bahkan mungkin lebih murah dari harga sebungkus nasi. Sebuah zaman, kata Friederich Schiller, tidak dapat dilihat dari perspektif zaman lain.

Matematika kerap dimaknai keliru sebagai keilmuan yang sudah tak berkembang lagi. Sekarang, kemampuan bermatematika dalam situasi sehari-hari jauh lebih dicari ketimbang berhitung. Merepotkan siswa dengan perhitungan ruwet nirmakna sudah bukan masanya.

Tampaknya, para pemaksa kebijakan UN ini berupaya memaksa memutarbalikkan arah jarum jam pada siswa. Karena kecakapan basi semata yang diujikan lewat ujian nasional, para siswa jadi menghar gai kecakapan berhitung rutin dan berpikir tingkat rendah. Kebijakan sejenis ini telah merusak citra matematika, yang sejati nya merupakan seni berpikir menjadi sekadar keterampilan berhitung.

Pesan kedua menyatakan bahwa penentu kebijakan pendidikan harus paham bagaimana cara siswa sekarang belajar. Perkembangan ilmu saraf modern membantu memahami bagaimana siswa belajar. Siswa di SD kelas 1 sekarang sampai mahasiswa tahun ke-2 di pendidikan tinggi termasuk generasi unik, yang disebut Generasi Z. Mereka belajar dengan cara sangat berbeda dengan gurunya apalagi dengan para penguasa pendidikan. Sudah sadarkah penentu kebijakan pendidikan bahwa warga asli dunia digital ini lebih suka belajar dari mesin, seperti video dan kegiatan interaktif, ketimbang dari manusia langsung?

Jika para guru dan juga orang tua kebanyakan sekarang lahir saat dunia masih bergelimang dengan peralatan analog, seperti telepon kabel tetap, piringan hitam, dan pita magnetik, para siswa sekarang justru lahir saat gelombang di gital itu sedang terbit dan me rasuki kehidupan mereka.

Layaknya semua perubahan, gelombang digital berdampak baik sekaligus buruk. Generasi ini dikatakan sulit konsentrasi dalam waktu yang lama, enggan membaca buku, haus keberhasilan yang seketika, dsb. Namun, mereka juga cerdas dan dikenal penggarap tugas banyak serta mengerjakan banyak hal secara bersamaan. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah apakah pembuat kebijakan pendidikan sudah mempertimbangkan ini?

Pesan ketiga mengatakan bahwa ketersediaan metode serta teknologi mutakhir dalam dunia pendidikan harus dimanfaatkan secara optimum. Khususnya, saat sekarang ini, permasalahan utama pendidikan adalah keterbatasan mutu serta penyebaran guru di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Itu adalah permasalahan abad ke-19 yang masih dihadapi bangsa ini sampai sekarang. Saat dikan adala keterbatasan mutu serta penyebaran guru di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Itu adalah permasalahan abad ke-19 yang masih dihadapi bangsa ini sampai sekarang. Saat menyimak usulan rencana sistem pelatihan tatap muka untuk dapat melayani lebih dari 2,8 juta guru, termasuk di daerah-daerah sulit dijamah pula, membuat dahi berkerut. Ditambah lagi, mana mungkin pelatihan hanya sekali, katakanlah selama dua pekan, langsung dapat membuat guru cakap? Tentu rumit.

Namun, jika permasalahan tersebut dikaji menggunakan ketersediaan peralatan dan tek nologi mutakhir, sebenarnya sederhana dan relatif mudah. Penerapan pelatihan nir dinding dan nirkabel akan mampu melayani pengembangan profesi para guru di pelosok. Penggunaan ponsel dan ponsel cerdas harus di manfaatkan dalam upaya pengembangan profesi para guru ini.

Kampanye Kurikulum 2013 lewat SMS sudah gencar dilakukan. Mengapa tak memanfaatkan cara ini untuk melatih guru? Ketimbang uang pajak dan keringat rakyat dihabiskan untuk kampanye politik seperti itu, mengapa tak langsung saja melatih cara membelajarkan bahasa Indonesia, fisika, sejarah, dsb lewat SMS?
Ini era digital baru!

Pendidikan 2.0

Dalam dunia teknologi informasi, Internet 2.0 ditandai dengan keadaan saat masyarakat bukan lagi sebagai penyerap informasi pasif belaka, tetapi juga sebagai sumber informasi. Jaring sosial semacam Facebook, Twitter, Youtube, Slideshare, Wikis, dsb merupakan ilustrasi yang tepat atas esensi Internet 2.0. Berbagai situs ini sebenarnya tak menguasai informasi, tetapi penggunanya justru yang membagikan informasinya.

Analoginya, jika di Pendidikan 1.0 siswa menyerap pengetahuan dari guru, di Pendidik an 2.0 siswa saling membagikan pengetahuannya. Dengan ketersediaan jaringan internet, Pendidikan 2.0 ini sangat cepat menjamur dan mewabah ke seluruh penjuru dunia.

Yang tadinya guru menentukan siapa siswanya, dalam Pendidikan 2.0 justru siswa menentukan ingin belajar dengan siapa gurunya. Ini seperti era Yunani kuno dan tradisi pesantren. Di era Pendidikan 2.0, setiap warga dunia maya dapat belajar dengan guru terbaik yang ada. Sangat jamak jika sekarang warga yang tinggal di pelosok Kalimantan dapat belajar langsung dengan Prof Sebastian Thrun yang pakar kecerdasan buatan atau Prof Keith Devlin yang pakar matematika. Gratis.  Sekarang, diperlukan kolaborasi Balitbang Dikbud, Pustekkom, berbagai QITEP bersama Kemenkominfo guna menyediakan layanan listrik dan internet untuk daerah terpencil agar Pendidikan 2.0 dapat dinikmati setiap warga. Peran utama Kemendikbud adalah pompa, bukan filter, bukan seperti kebijakan UN itu.

Di Pendidikan 2.0, siswa menentukan subjek apa dan kapan dia mau mempelajari. Akibatnya, persekolahan formal bukan satu-satunya tempat belajar lagi. Makhluk bernama kurikulum nasional untuk negara seluas Indonesia menjadi suatu gagasan yang sangat tak relevan, jika tak mau dikatakan usang.

Dalam buku The New Digital Age (Schmidt dan Cohen, 2013) difirmankan kurang-lebih sebuah berita gembira: `Siswa yang terpaksa berada dalam sistem sekolah dengan kurikulum dangkal atau hanya mengajarkan kecakapan menghafal, akan terselamatkan, karena sekarang akan memiliki peluang belajar di dunia maya yang mendorong penjelajahan keingintahuan dan berpikir kritis.'

Segera perlu dikampanyekan gerakan agar tiap warga saling menularkan virus hasrat membangun jaringan belajar mandiri. Mari berjuang dan belajar dengan menjadi guru, murid, bahkan pelatih guru di Pendidikan 2.0. Perjuangan tanpa penyorak ini sudah lahir. Tiap-tiap kita segera membangun jaringan belajar, menjadi guru pejuang di Pendidikan 2.0. Masa depan Republik di tangan kita, bukan Kurikulum 2013. Dengan berselancar di gelombang digital baru, nyalakan gagasan kemerdekaan di benak setiap anak republik.

Iwan Pranoto ;  
Siswa sekaligus Guru di pakiwan.com
MEDIA INDONESIA, 20 Mei 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi