Terungkapnya dugaan kasus korupsi di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) begitu menyentakkan. Apalagi kasus itu
diduga melibatkan Wakil Mendikbud Bidang Kebudayaan Wiendu
Nuryanti.
Wiendu selama ini kita kenal rekam jejaknya sebagai
pendidik yang dapat dipercaya. Kasus itu bermula dari laporan Ketua Inspektorat
Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Haryono Umar. Sebagai mantan
komisioner KPK laporan itu tentulah sangat bisa dipercaya. Dugaan korupsi,
kolusi dan nepotisme terkait dengan jasa event organizer yang mengelola
beberapa acara di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ada beberapa perusahaan yang ditunjuk melaksanakan proyek senilai Rp 27,31 miliar. Antara lain konferensi Federasi Promosi Budaya Asia di Surakarta yang lelangnya dimenangkan PT Fokus Konvensindo dengan nilai kontrak Rp 910 juta.
Ada beberapa perusahaan yang ditunjuk melaksanakan proyek senilai Rp 27,31 miliar. Antara lain konferensi Federasi Promosi Budaya Asia di Surakarta yang lelangnya dimenangkan PT Fokus Konvensindo dengan nilai kontrak Rp 910 juta.
Kemudian persiapan World Culture Forum 2013 di
Bali yang dimenangi PT Patihindo Convex senilai Rp 13,85 miliar. Hasil
investigasi Inspektorat PT Fokus berafiliasi dengan Yayasan Stuppa Indonesia
organisasi pengelola pertunjukan dan budaya milik Wiendu (Koran Sindo, 4
Juni 2013).
Kasus itu memang telah dilaporkan Mendikbud M Nuh
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengelola anggaran negara Rp 68 triliun – ketiga terbesar setelah
Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pekerjaan Umum membutuhkan pengawasan
yang sangat ketat. Lemahnya pengawasan dan pengelolaan anggaran tercermin dari
audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menempatkan Kemendikbud peringkat terburuk
(disclaimer).
Inspektorat Kemendikbud sebelumnya juga pernah
menyatakan indikasi korupsi pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Inspektorat
pun telah memberikan rekomendasi yang sebagian dilaksanakan Mendikbud.
Ini artinya melengkapi korupsi proyek pengadaan
laboratorium di sejumlah perguruan tinggi negeri yang sekarang sedang disidik
KPK. Ironis memang. Lembaga yang mengurusi pendidikan disebut-sebut dalam kasus
korupsi. Sebagai lembaga yang mengelola watak anak bangsa korupsi di
Kemendikbud harus dianggap persoalan serius dan memalukan.
Pertama, kasus korupsi itu dilakukan instansi
penting yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan. Di tangan orang-orang yang
duduk di dalamnya ditelurkan kebijakan pendidikan dari Sabang sampai Merauke.
Mereka adalah jantungnya pembentukan watak anak-anak bangsa.
Bagaimana mungkin kebijakan yang membentuk perilaku
generasi muda terkontaminasi korupsi? Mereka yang duduk di Kemendikbud harusnya
orang-orang yang kredibel, dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Maklum
sebagian dari mereka ditarik ke Kemendikbud dari perguruan tinggi negeri yang
kredibel baik sebagai rektor, dosen, dan guru besar.
Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah lingkungan
kerja di Kemendikbud sudah demikian korup sehingga pejabat-pejabat yang masuk
ikut-ikutan korupsi? Pengelolaan anggaran yang demikian telah menggiurkan para
pendidik yang notabene juga teladan anak didiknya terjerembab dalam kubangan
korupsi. Masalah utamanya tidak hanya menyangkut penyelewengan dan penyalahgunaan
wewenang yang pasti berdampak pada kemerosotan mutu pendidikan.
Uang dan anggaran yang besar memang menggiurkan
bagi siapa pun tanpa kecuali. Kritik terhadap Kemendikbud anggaran yang besar
tidak berdampak pada perbaikan mutu pendidikan.
Yang terpapar justru banyak kegagalan yang mencuat
ke permukaan seperti lambatnya perbaikan mutu, tidak terserapnya beasiswa,
pembayaran tunjangan sertifikasi yang tertunda-tunda. Korupsi ini serasa ironis
dengan masih banyaknya gedung sekolah yang nyaris roboh di berbagai pelosok
Tanah Air.
Kedua, korupsi di Kemendikbud pasti memiliki efek
domino di dunia pendidikan. Apa yang dilakukan pejabat di tingkat pusat akan
ditiru pejabat di daerah bahkan kepala sekolah dan guru. Yang terjadi kemudian
adalah pembusukan pendidikan.
Ketika pejabat yang mengurusi pendidikan, kepala
sekolah dan guru terjebak korupsi yang muncul kemudian adalah ketidakpercayaan
publik terhadap pendidikan. Sukar mendidik anak-anak untuk jujur seperti tidak
boleh menyontek dalam ujian ketika para pembuat kebijakan pendidikan saja
bertindak tidak jujur.
Apa argumentasi melakukan UN dengan 20 variasi soal
agar tidak terjadi kecurangan kalau pejabat-pejabatnya saja korup? Korupsi di
Kemendikbud pasti meresahkan dunia pendidikan.
Selama ini kasus-kasus korupsi dan penyimpangan
berhasil ditutup-tutupi para pejabat di Kemendikbud sehingga tidak menjadi
pemberitaan yang besar di media massa. Namun, repotnya upaya menutupi tidak
menyelesaikan masalah. Kasus-kasus kronis justru makin marak di lembaga yang
dipercaya mengelola pendidikan.
Momentum Bersih
Momentum Bersih
Langkah Mendikbud melaporkan kasus ini ke KPK harus
diapresiasi. Ini semata-mata untuk membersihkan Kemendikbud dari praktik KKN.
Imbasnya tentu saja mereka yang bersalah harus diproses secara hukum dan harus
ada yang bertanggung jawab. Kemendikbud berbeda dengan kementerian lain karena
berhubungan langsung dengan pembentukan karakter jutaan peserta didik seluruh
Tanah Air. Sanksi moral terhadap pejabat yang melakukan penyimpangan sangat
diperlukan.
Korupsi oleh pendidik adalah kiamat dunia
pendidikan. Kasus korupsi di Kemendikbud melengkapi kasus-kasus korupsi yang
menguasai hajat rakyat; dan di negeri korup ini apa pun menjadi ajang bancaan
korupsi mulai pendidikan, kitab suci, daging sapi, pupuk yang memotret kian
bejatnya pejabat dan wakil rakyat dari pusat sampai ke daerah. Keagungan
Kemendikbud yang setiap tahun memberikan penghargaan kepada siswa dan guru
berprestasi bisa luntur karena kepercayaan masyarakat yang cenderung merosot.
Terungkapnya kasus korupsi ini menjadi momentum
yang tepat agar Mendikbud M Nuh segera melangkah konkret melakukan
bersih-bersih ke dalam. Kepercayaan rakyat jauh lebih penting ketimbang
menyelamatkan muka pejabat.
Kehendak publik agar Kemendikbud direformasi total
adalah suara nurani rakyat yang menyaksikan Kemendikbud dikelola secara kurang
profesional. Kisruh pendidikan seperti karut-marut UN, tertunda-tundanya
pembayaran tunjangan sertifikasi adalah cermin pengelolaan lembaga yang kacau.
Penyelesaian secara terbuka dan transparan memang
sangat diperlukan. Jangan sampai ada upaya saling menutupi. Betapa pahit
rasanya ketika kementerian yang selalu menekankan kejujuran kepada guru dan
siswa, pejabat-pejabatnya harus dihadapkan pada sidang pengadilan tindak pidana
korupsi. Tetapi, ibarat dahan yang tidak produktif, tindakan itu harus
dilakukan demi pertumbuhan batang secara keseluruhan.
Paulus
Mujiran ;
Pendidik, Alumnus S-2 Universitas
Diponegoro Semarang
SINAR HARAPAN, 11 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi