Pada 14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan
publikasi: ”Spending More or Spending Better: Improving Education
Financing in Indonesia”. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah
memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang
relatif sama.
Program sertifikasi guru yang diselenggarakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama beberapa tahun terakhir ternyata
tidak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional. Padahal,
penyelenggaraannya telah menguras sekitar dua pertiga dari total anggaran
pendidikan yang mencapai 20 persen APBN (hal 68). Pada 2010, sebagai contoh,
biaya sertifikasi mencapai Rp 110 triliun!
Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah
meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan
melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang
bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa
Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak
terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik
di SD maupun SMP.
Tiga implikasi
Publikasi Bank Dunia tersebut bagai tumpukan
misteri yang mengingatkan saya pada film dokumenter An Inconvenient
Truth (2006) yang disutradarai Davis Guggenheim.
Film ini mengisahkan kerisauan mantan Wapres (AS)
Al Gore atas realitas-realitas berbahaya terhadap pemanasan global yang
memerlukan tanggung jawab semua pihak. Analog dengan film dokumenter itu,
publikasi Bank Dunia ini memuat begitu banyak realitas berbahaya bagi masa
depan bangsa yang perlu pembenahan secepatnya.
Bertolak dari temuan Bank Dunia tersebut,
kelihatannya terdapat tiga implikasi penting yang mendesak dibenahi. Pertama,
bagaimana menghilangkan pola formalitas penyelenggaraan program sertifikasi
guru.
Program ini sesungguhnya tuntutan yang diamanatkan
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mewajibkan seluruh guru
disertifikasi dan diharapkan tuntas sebelum 2015. Upaya ini semata-mata
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru, yang selanjutnya
akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sejak 2005, guru-guru telah diseleksi untuk
mengikuti program sertifikasi berdasarkan kualifikasi akademik, senioritas, dan
golongan kepangkatan, seperti harus berpendidikan S-1 dan jumlah jam mengajar
24 jam per minggu. Indikator ini digunakan untuk memperhatikan kompetensi pedagogis,
kepribadian, sosial, dan emosional mereka.
Sejak itu, sekitar 2 juta guru telah disertifikasi,
baik melalui penilaian portofolio pengalaman kerja dan pelatihan yang telah
diperoleh ataupun melalui pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) selama 90
jam. Para guru yang telah lulus disebut guru bersertifikasi dan berhak
mendapatkan tunjangan profesi sebesar gaji pokok yang diterima setiap bulannya.
Pemerintah telah mencanangkan, pada 2015 hanya guru yang bersertifikasi yang
diperbolehkan mengajar.
Dengan target tersebut, penyelenggaraan sertifikasi
guru kelihatannya telah dipersepsikan sebagai proyek besar yang keberhasilannya
diukur secara kuantitatif sesuai target. Akibatnya, proses pelaksanaannya mudah
terbawa ke kebiasaan formalitas birokrasi yang ada.
Kedua, bagaimana mengaitkan program sertifikasi
guru dengan pembenahan mekanisme pengadaan dan perekrutan calon guru di
perguruan tinggi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Sesuai amanat
UU, LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas menyelenggarakan program
pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan
dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan. Namun, pasca- konversi
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan jadi universitas, perhatian mereka
sebagai LPTK tidak lagi terfokus ke penyiapan guru, tetapi lebih tergoda ke
orientasi non-kependidikan.
Akibatnya, tugas-tugas penyelenggaraan sertifikasi
yang dibebankan kepada sejumlah LPTK tak tertangani maksimal. Bahkan, peran
dalam penyiapan calon guru tak lagi didasarkan atas perencanaan yang lebih
sistemis dan komprehensif.
Meski secara kuantitatif Indonesia adalah salah
satu negara dengan jumlah guru terbanyak di dunia, diukur dari rasio
guru-siswa, tetapi perekrutan mahasiswa calon guru, terutama di LPTK swasta,
seakan tanpa kendali. Studi UNESCO (UIS-2009) menunjukkan, untuk jenjang SD
rasio guru-siswa adalah 1:16,61, yang berarti seorang guru hanya mengajar 16-17
siswa. Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan Jepang (18,05), Inggris
(18,27), bahkan Singapura (17,44). Secara internasional, rata-rata di seluruh
dunia rasionya adalah 1:27,7 atau seorang guru dengan 27-28 siswa. Keadaan
serupa juga terjadi di jenjang pendidikan menengah.
Ketiga, bagaimana menyelenggarakan program
sertifikasi guru agar lebih berbasis di kelas. Selama ini mereka yang mengikuti
PLPG kelihatannya tidak dirancang untuk mengamati kompetensinya mengajar di
kelas. Proses sertifikasi guru berjalan terpisah dengan peningkatan mutu proses
belajar-mengajar di kelas. Akibatnya, penyelenggaraan program sertifikasi guru
tersebut tidak berdampak pada peningkatan mutu secara keseluruhan.
Data menunjukkan, pada 2011, TIMMS (studi
internasional tentang matematika dan IPA) melaporkan, untuk matematika skor
Indonesia 386, tak jauh beda dengan Suriah (380), Oman (366), dan Ghana (331).
Sementara untuk IPA, Indonesia (406) tak jauh beda dengan Botswana (404) dan
Ghana (306). Selanjutnya, studi PISA (program penilaian siswa internasional
untuk matematika, IPA, dan membaca) pun menunjukkan Indonesia selalu berada
pada urutan kelompok terendah di dunia (hal 11).
Fokus ke PBM di kelas
Saya teringat ketika membantu UNESCO sebagai
konsultan di Asia-Pasifik pada 1993-1994, ketika mengunjungi Manabo yang
berjarak sekitar 300 kilometer dari Manila. Guru-guru di pedesaan sana ternyata
akan memperoleh tambahan insentif jika mereka secara nyata berinovasi
meningkatkan mutu proses belajar-mengajar (PBM) di kelas.
Cara mengukurnya sederhana. Pengawas atau penilik
sekolah cukup mengamati kegiatan PBM secara berkala; apakah terdapat persiapan
yang memadai atau tidak, apakah ada media belajar sebagai kreasi inovatif guru
atau tidak, dan seterusnya. Pembinaan kesejahteraan dan promosi karier para
guru dilakukan dengan berbasiskan pada kinerja dalam meningkatkan kualitas
PBM-nya.
Akhirnya, meski penyelenggaraan sertifikasi guru
telah berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan guru, yakni dapat
menurunkan jumlah guru yang kerja rangkap secara drastis dari 33 persen sebelum
sertifikasi ke 7 persen sesudah sertifikasi (hal 73), perubahan apa pun yang
dilakukan, kurikulum apa pun yang diberlakukan, dan kebijakan apa pun yang
hendak diambil, jika tak menyentuh perbaikan proses belajar-mengajar di kelas,
hasilnya akan sia-sia.
Hafid
Abbas ;
Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 12 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi