TANGGAL 1 Juni merupakan hari dimana
pancasila lahir sebagai falsafah negera kita, indonesia. Sebagai satu-satnya
falsafah yang diakui oleh segenab lapisan bangsa, maka sudah seharusnya
setiap warga negara ikut andil berperan aktif mengindahkan segala pesan yang terkandung
didalamnya. Karena dengan begitu eksistensi pancasila sebagai falsafah negera
akan tetap berdiri kokoh, hidup mengakar mengalau perjalanan bangsa indonesia
kedepan.
Makna pancasila sebagai falsafah negara dalam
kelahirannya pada hakikatnya adalah satu produk falsafah yang didalamnya memuat
nilai-nilai bersifat fundamental, menjadi suatu sumber dari segala sumber
hukum, cermin dari keseluruhan aspek dalam negeri, menjadi wadah yang fleksibel
bagi faham-faham positif untuk berkembang, serta sebagai dasar ketentuan yang
menolak faham-faham yang bertentangan seperti Atheisme dan segala bentuk
kekafiran tak beragama, komunisme, kolonialisme, diktatorisme, kapitalis, dan
lain-lainnya.
Sebagaimana yang ditujukan dalam ketetapan MPR No.
II/MPR/1979, selain sebagai dasar negara Pancasila juga merpakan jiwa seluruh
rakyat Indonesia, serta juga pandangan hidup bangsa Indonesia. Arti pancasila
sebagai jiwa berarti memiliki makna subtansi yang mempunyai peran sentral
menggerakkan bangsa-negara. Baik itu dalam hal birokrasi, ekonomi, interaksi
sosial semua harus didasarkan pada sila yang lima. Sedangkan arti pancasila
sebagai pandangan hidup menunjukkan, bahwa pancasila yang didalamnya memuat
nilai-nilai humanis harus mampu diaktualisasikan dalam setiap keseharian.
Dijadikan barometer berperilaku, bersikap, berinteraksi dalam menjalin hidup
berbangsa dan bernegara.
Pancasila dan ketidakadilan social
Melihati perjalanan bangsa yang dewasa ini kian
tambah carut marut merupakan pertanda, bahwa nilai-nilai pancasila yang selama
ini didengung-dengungkan ternyata masih belum cukup mampu kita jiwai secara
mendalam. Jargon lima sila yang tertulis gagah ditengah dada Burung Garuda
seakan tinggal simbol tak bermakna, sebatas dilihati dan dihafalkan, namun
belum cukup mengakar menyusupi sendi-sendi pola hidup kita.
Betapa tidak? konflik kesukuan hingga keagamaan
masih terus saja bergejolak, tak pelak berujung pada tindak brutal hingga
menyebabkan nyawa berjatuhan. Aksai separatis, kekerasan, betrokan, serta
kriminalitas dalam bentuk yang beragam terus saja menghantui lapisan masyrakat.
Seakan tak pernah habis, konflik dan polarisasi sosial ramai menyeruak.
Fenomena seperti demikian dinegeri ini tak ubahnya bom waktu yang siap meledak
kapan pun dan dimanapun yang dimau.
Lain halnya dengan kriminalitas dan polarisasi
sosial, lain pula dengan kesenjangan sosial. Kemiskinan, pengangguran,
keterbatasan pangan, hingga pada aksi perbudakan semakin menambah catatan hitam
perjalanan bangsa ini. Pancasila yang didalamnya memuat jargon keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia bagaikan tong kosong. Rakyat tetap saja dibiarkan
hidup melarat, sedangkan para elit pejabat enak-enakan menikmati uang rakyat.
pantas saja kesenjangan sosial dinegeri ini tetap saja jalan ditempat. Isu kemiskinan
yang berhasil ditekan hanya sebatas angka, sedangkan realitasnya tetap saja
kemiskinan menggurita.
Jika mau jujur, subtansi keadilan yang disebutkan
dalam poin sila kelima sebenarnya masih mengabur, sama sekali belum jelas dan
tak tentu arah. Keadilan sosial dinegeri yang (katanya) demokratis ini tak
ubahnya semboyan kuno yang sifatnya untung-untungan. Bukan merupakan satu
jaminan pasti yang mutlak bisa dimiliki, dinikmati, dan dirasakan.
Asumsi demikian semakin tambah nyata ketika kita
melihati sekian tontonan lucu yang subur menjamur menyertai ruang hidup para
pemimpin dan elit politisi kita. Meski konsep keadilan tidak harus diartikan
secara sama rata dalam posisi yang sama, namun tidaklah dapat dibenarkan jika
dalam kenyataannya hidup seorang pejabat jauh mewah ketimbang hidup rakyat.
Tidak bersahabat, dan acuh tarhadap persoalan kebangsaan. Dan lebih tidak
dibenarkan lagi jika sampai hati mengerok hak rakyat.
Pancasila dan merebaknya hukum rimba
Persolan lain yang semakin mangaburkan subtansi
keadilan sosial pancasila adalah kian amburadulnya penegakan hukum. Hukum yang
sejatinya diberlakukan secara berimbang dan bijak pada segenab lapisan
masyarakat ternyata tidak berjalan lurus. Jauh bersebrangan dengan konsep dasar
serta jargon besarnya.
Istilah hukum yang tidak kenal tebang pilih tak
lain hanyalah topeng semata. Peradilan independen yang lepas dari intervensi
dan kekuasaan pihak manapun sebatas pada simbol, sedangkan subtansi keadilan
yang lantang digemakan tereduksi oleh nilai-nilai materi dan kekuasaan.
Akibatnya, penegakan hukum dinegeri ini kerap dijadikan media politisasi
mempertahankan status quo.
Hukum rimba dinegeri ini nampak kental sekali
mengidentitas
Dalam hukum rimba, posisi negera biasa diidentikkan
dengan Hutan. Kehidupan di dalamnya sangat buas dan kejam, saling memangsa
antara yang satu dan yang lainnya. Dunia rimba tidak mengenal istilah rukun dan
damai. Kalapun ada itu hanya sebatas topeng belaka, dibaliknya ada maksud terselubung
yang sulit dicerna pihak lawan. Karenanya, dalam dunia rimba hukum hanyalah
persoalan “silat lidah” dan adu kekuatan. Siapa yang kuat dialah penguasa, dan
yang lemah siap-siaplah menjadi mangsa.
Model hukum demikian memunculkan istilah “tidak ada
kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”. Bahkan kongkalikong
di dalamnya telah menciptakan budaya khas, seakan terikat dalam satu perangkat
sistem yang siap menerkam siapa pun yang singgah di lingkungan kekuasaannya.
Hukum dunia rimba yang terlampau ekstrim dan akut
membuat gelisah para penghuninya. Bagaikan berada di tengah semak belukar
pedalaman hutan, keselamatan menjadi satu bahan taruhan yang sulit didapat.
Tidak ada norma, tidak ada nilai. Sosio kultur mereka dibentuk berdasarkan
kekuatan dan kekuasaan. Norma sebagai cerminan berperilaku berubah arah,
tereduksi pada apa yang disebut rasionalisasi dan instrumental belaka.
Akibatnya, etika bukan merupakan satu bagian kaidah yang mendapat banyak
perhatian. Semua lebih tertuju pada estetika, kepuasan diri berdasarkan nafsu
bejat dan penggunaan rasio yang berlebihan.
Posisi kekuatan dan kekuasaan dalam dunia rimba
betul-betul mengakar, menduduki berbagai lini struktural hingga menyentuh pada
yang asas sekalipun. Kondisi ini mengakibatkan struktur dan sistem sosial
dibuat tak berkutik, tunduk dibawah intervensi dan dominasi kaum borjuis
kapital. Alienasi sebagai bentuk keterasingan kaum pribumi dari hak kepemilikan
pribadi menjadi satu realitas yang tak bisa disangkal. Persoalan pun kian tambah
akut ketika peradilan dipasung dan dihadapkan pada kepentingan sepihak. Sampai
disini pancasila pun hilang memudar, hanya sebatas jargon dan hiasan, sedangkan
nilai dan subtansinya dibawa lari oleh mereka-mereka yang memiliki kepentingan.
Miris memang menyaksikan betapa akutnya persoalan
kebangsaan dinegeri kita. mulai dari krisis sosial hingga pada bencana alam
yang menggoncang banyak daerah. Berbagai macam persoalan yang muncul selama ini
merupakan indikasi jelas betapa bangsa kita dihadapkan pada krisis yang
betul-betul kronis. Pancasila yang sejatinya dijadikan barometer, jiwa, cermin,
dan dasar perjalanan hidup ternyata masih belum mampu ditanam kuat. Sehingga
identitas bangsa kita sebagai negeri berrbasis pancasila hanya tinggal jargon
dan simbol semata.
Karenanya, marilah dihari kelahiran pancasila kali
ini kita jadikan momentum bangkitkan nilai-nilai pancasila, kembali kefitroh
dengan menjunjung setia sila yang ada dialamnya. Menegakkan keadilan sosial
bagi seluruh lapisan warga negara tanpa terkecuali. Dengan harapan, semoga
kedepannya perjalanan bangsa kita akan semakin lebih baik, dan hidup rakyat pun
bertambah rukun, tentram, dan sejahtera. Semoga!
Abd
Hannan ;
Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura
SUAR OKEZONE, 14 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi