Bagaimanapun,
haramnya pup mesti kita lokalisasikan di tempat yang namanya kakus atau toilet.
Kalau bisa, kakus itu dibuat sebersih dan seindah mungkin agar kesan joroknya
hilang. Tanpa kakus, maka pupitu akan bertebaran di mana-mana: di balik lemari,
di kolong tempat tidur, atau di bawah karpet. Hihihihi, jijaykan? Begitu
juga pelacuran. Banyak kepala daerah yg enggan disebut daerahnya ada
lokalisasi.
Tetapi
tanpa lokalisasi, PSK (pekerja seks komersial) tetap beroperasi dari mana-mana,
termasuk dari kos atau rumahnya sendiri. Siapa tahu mereka ada yang mengekos di
rumah Anda? Karena itu, sebaiknya (menurut saya) kita ikuti strategi Gubernur
Ali Sadikin dan Pemerintah Malaysia yang mengharamkan pelacuran di tempat lain
kecuali di lokalisasi dan memanfaatkan pemasukan dananya untuk pembangunan.
Akhirnya saya tutup tulisan saya minggu lalu itu dengan kalimat“Mungkin
sekali ada yang tidak setuju dengan pendapat saya. Apalagi kalau rujukannya
kitab suci. Ya, silakan saja. Tetapi, kenapa masih ada kakus di rumah Anda?”
Setelah
dimuat di KORAN SINDO, tulisan itu saya posting di Facebook saya. Tanggapan
yang masuk banyak sekali, kebanyakan setuju dan minta izin untuk sharing.
Tetapi, seperti yang saya duga, ada beberapa yang tidak setuju. Gak apa-apa,
beda pendapat itu kan biasa. Tetapi, saya ingin berbagi dengan Anda tentang
argumentasi yang mereka gunakan untuk menggugurkan pendapat saya.
Saya
ambil dua pendapat saja dari mereka yang berbeda pendapat dengan saya. “Jadi
maksud Prof, kita disuruh makan uang hasil judi, pelacuran, maksiat. Waduh,
Prof... Lebih baik kita berusaha sadarkan dan latih mereka. Hahaha... Negara
kita mau ditimpa bencana apalagi, Prof?”
“Pemusnahan
Lokalisasi menimbulkan masalah baru, kemana kah para PSK? Simpel: mereka bukan
penduduk asli, jadi bisa saja mereka pulang ke daerah asalnya....Kalau mereka
sulit mencari nafkah karena lokalisasi sudah ditutup, percayalah mencari mangsa
adalah jalan terakhir, kalau lah masih ada jalan yang lain, pastilah mereka
tempuh. Di sinilah peran pemerintah. Kalau sudah menutup, ya sediakanlah
usaha baru buat mereka, entah pelatihan menjahit, memasak dsb.”
Kedua
argumentasi itu normatif, yaitu sesuai dengan norma, terutama norma agama.
Kalau norma sama dengan fakta di lapangan maka argumentasi itu benar. Tetapi
nyatanya, datadi lapangan sangat berbeda dengan fakta di lapangan. Usaha untuk
menyadarkan dan melatih para PSK sudah sangat banyak dilakukan, baik oleh
pemerintah (pantipanti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial),
maupun oleh LSM (kebanyakan organisasi wanita dan/atau keagamaan).
Banyak
PSK yang ikut, ada yang berhasil, sebagian dipulangkan ke kampungnya
masing-masing. Tetapi, jauh lebih banyak yang tidak ikut panti, atau awalnya
ikut dan jadi residivis. Pasalnya, faktor yang berpengaruh banyak sekali, mulai
dari faktor ekonomi (kemiskinan) sampai adat-budaya (ada beberapa daerah yang
justru menjadi sumber SDM PSK). Karena itu, walaupun program-program
rehabilitasi tetap harus dijalankan, kita tidak boleh menafikan fakta bahwa
panti rehab tidak bisa menghapuskan pelacuran.
Untuk
itulah, lokalisasi diperlukan (agar mereka lebih bisa dikontrol kesehatannya
dll). Selain itu, tsunami di Aceh membuktikan bahwa tidak ada hubungannya
antara bencana dan agama.
Tetapi,
memang fakta tidak serta bisa mengubah jalan pikiran seseorang. Berikut ini
dialog seorang pasien dengan dokternya. “Dok, saya Zombie” “Gak mungkin. Kamu
kan bisa jalan.” “Tetapi, Zombie jalan juga, Dok.” “Kamu kan bernapas?” “Zombie
juga!” “Zombie mengeluarkan darah, gak?” “Ya, nggak, dong, Dok.” “OK, kalau
begitu kamu saya suntik. Kita lihat apakah kamu berdarah.”
Setelah
disuntik ternyata benar berdarah. “Wah, saya baru tahu, Dok! Ternyata Zombie
juga mengeluarkan darah!” Dalam ilmu Logika, kesimpulan sang pasien yang tetap
berpikir bahwa dia benar Zombie (mayat hidup) walaupun faktanya dia berdarah
disebut “the naturalistic fallacy”, yaitu salah menyimpulkan karena
kecenderungan untuk mengingkari fakta. Kalau fakta tidak sesuai dengan norma,
maka dicari argumentasi untuk tetap membenarkan norma.
Sulitnya,
banyak orang Indonesia yang tidak terlatih untuk menggunakan logika dengan baik
dan benar. Itulah sebabnya di tahun 1990-an, di awal era HIV/AIDS mulai melanda
dunia, ada pejabat tinggi Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia tidak
mungkin kemasukan HIV/AIDS karena Indonesia adalah negara Pancasila. Di tahun
1980-an seorang siswa SMA di Yogyakarta pernah dipecat dari sekolah karena laporan
hasil surveinya menyatakan bahwa 25% dari teman-teman yang disebarinya angket
mengaku sudah pernah berhubungan seks.
Kepala
Dinas Pendidikan ketika itu marah. Penelitian itu tidak mungkin benar, karena
Provinsi DIY adalah provinsi yang berbudaya. Demikian juga orang tua tidak
habis pikir, mengapa anaknya balik lagi jadi narkobais padahal ia sudah
mengirimkan anaknya yang kena narkoba ke pesantren, yang terbaik.
Seorang
ibu tetap tidak menyetujui putrinya pacaran dengan pemuda yang mengenakan jins robek-robek,
berambut gondrong, dan memakai anting, walaupun beberapa hari kemudian sang
pemuda itu datang lagi berbusana eksekutif, berdasi sangat rapi, dan rambut
terikat rapi, karena dia adalah CEO dari sebuah perusahaan IT (namun masih
tetap juga memakai anting di salah satu kupingnya).
Tentu
saja orang boleh berpendapat. Tetapi pendapat yang terbaik, terutama kalau
hendak memperbaiki keadaan masyarakat, haruslah yang berbasis fakta (empirical
based), karena hanya dengan fakta empirik bisa disusun program yang
efektif. Termasuk untuk menegakkan Pancasila yang bersih dari pup masyarakat.
Sarlito
Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 16 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi