Pendidikan Berkualitas untuk Indonesia

Target Pembangunan Milenium (MDGs), yang ditetapkan pada 2000 oleh 193 negara dan 23 organisasi internasional, akan mencapai tenggatnya dua tahun lagi. Ada delapan target pembangunan yang menjadi kesepakatan global, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mengurangi separuh angka kemiskinan di dunia.
Delapan target tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; menurunkan angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain; kelestarian lingkungan hidup; serta membangun kemitraan global untuk pembangunan.
Mayoritas negara berkomitmen memenuhi kedelapan target tersebut pada 2015. Artinya, MDGs segera berakhir dan negara-negara di seluruh dunia hanya memiliki dua setengah tahun lagi untuk memenuhi keseluruhan target tersebut. Beberapa kritik muncul terkait dengan delapan target tersebut, yang kemudian diturunkan menjadi beberapa indikator keberhasilan, misalnya pertumbuhan yang muncul bukanlah sekadar angka statistik. Contohnya adalah kematian anak.
Pada 2011, hampir 7 juta anak-anak meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka. Angka ini turun drastis dari 12 juta pada dua dekade lalu. Namun jumlah tersebut masih cukup tinggi untuk disimpulkan bahwa pembangunan telah terjadi dan berjalan di koridornya. Contoh lain adalah kesetaraan akses untuk pendidikan. Di suatu daerah, tercatat lebih dari 90 persen anak-anak usia sekolah telah terdaftar di sekolah dasar. Namun, di daerah lain, target MDGs itu belum berhasil.
Upaya Indonesia 
Pemerintah Indonesia telah memasukkan target MDGs sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004- 2009 dan 2010-2014, serta Rencana Kerja Program Tahunan. Laporan pencapaian MDGs pada 2010, yang dikeluarkan oleh Bappenas, menyebutkan bahwa Indonesia telah mencapai beberapa target MDGs, satu di antaranya adalah angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar mendekati 100 persen dan angka melek huruf melebihi 99,47 persen pada 2009.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak Indonesia telah mengenyam pendidikan dasar. Namun bukan berarti mereka telah mendapatkan pendidikan berkualitas. Jika dilihat dari peringkat Indonesia untuk Programme for International Students Assessment (PISA)-sebuah program yang mengevaluasi kompetensi anak berumur 15 tahun dalam hal membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan setiap 3 tahun-kita masih jauh tertinggal. Pada 2009, Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara.
Di semua negara, kemiskinan mengantarkan stres kronis untuk anak-anak dan keluarganya. Sebagai contoh, di Indonesia bagian timur, tingkat kemiskinan dua kali lipat lebih dari rata-rata angka nasional (13,33 persen), yaitu Papua 36,80 persen, Papua Barat 34,88 persen, dan Maluku 27,74 persen. Mereka juga memiliki persentase yang lebih rendah untuk partisipasi murni dalam pendidikan dasar. 
Ketimpangan pembangunan
Permasalahan pendidikan di Indonesia bukan sekadar jumlah anak yang masuk sekolah dan jumlah anak yang bebas dari buta huruf. Yang lebih penting adalah berkaitan dengan pendidikan yang merata dan berkualitas. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan jumlah anak yang ikut program Wajib Belajar 9 Tahun, salah satunya adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari total alokasi BOS untuk 2013, yaitu Rp 23 miliar lebih, sebagian besar (93 persen) ditujukan untuk sekolah di daerah tidak terpencil. Selain itu, penghitungan pemberian BOS didasari jumlah siswa. Jadi, semakin banyak siswa, semakin besar dana didapat. Lalu, bagaimana dengan sekolah di daerah terpencil dengan jumlah siswa yang sedikit? Inilah yang disebut sebagai ketimpangan pembangunan.
Pemerintah juga berupaya untuk melakukan standardisasi pendidikan nasional sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, serta pembiayaan, dan diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35. Salah satunya dengan ujian nasional, yang pada implementasinya mendapat banyak kritik, terutama terkait dengan negasi proses belajar, kualitas tenaga pengajar, serta infrastruktur/fasilitas belajar-mengajar yang berbeda dari setiap wilayah di Indonesia. Tidak aneh jika pada akhirnya ujian nasional juga dijadikan alat untuk mendongkrak prestise sekolah dan berujung pada mencoba segala cara untuk mendapatkan persentase kelulusan tinggi.
Komitmen pemerintah
Indonesia, melalui kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memainkan peran yang sangat penting dalam pembuatan agenda pembangunan setelah 2015. Presiden Yudhoyono adalah satu di antara tiga pemimpin anggota Panel Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa berjumlah 27 negara, bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Sejak September 2012 sampai Mei 2013, panel ini bertugas memberi rekomendasi kepada Sekjen PBB dalam agenda pembangunan global setelah 2015. 
Panel Tingkat Tinggi telah menyampaikan lima agenda transformatif serta 12 target dan 54 indikator pembangunan global yang berkelanjutan. Salah satu targetnya adalah penyediaan pendidikan berkualitas dan pembelajaran seumur hidup. Hal ini tentunya membutuhkan keseriusan pemerintah tiap negara untuk menjamin warganya mendapatkan akses belajar tanpa batasan kelas dan usia, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membaca, menulis, dan menghitung sebagai standar minimum sebuah proses pembelajaran.
Tiba saatnya negara-negara anggota PBB menjadikan agenda ini sebagai agenda serius sampai 2030. Komitmen dari para pemimpin negara diperlukan untuk memastikan bahwa agenda tersebut memberi manfaat kepada semua warga negara, bahkan yang paling sulit dijangkau, misalnya anak-anak di daerah paling terpencil dan miskin.

Ratna Hadikusumah   
Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati MDGS
KORAN TEMPO, 17 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi