MENARIK untuk mengandaikan apa kira-kira ja waban
anak-anak kita kalau mereka ditanya tentang makna kebangsaan dan cinta tanah
air. Masih adakah rasa cinta dan kebanggaan hati anak-anak kita terhadap
Indonesia? Di tengah porakporandanya sistem dan tata kelola pemerintahan pusat
dan daerah akibat kesalahan dalam mempraktikkan konsep desentralisasi, rasa
kebangsaan dan kebanggaan akan Indonesia kian menipis. Banyak contoh kebijakan
yang dibuat pusat tak bisa berjalan. Sama halnya kebijakan daerah melalui peraturan
daerah tak jarang overlapping dengan kebijakan pusat.
Selain itu, rasa keindonesiaan juga semakin menipis
jika indikatornya ialah kesamaan pandangan tentang bangunan proses pendidikan.
Isu pendidikan lebih banyak ditarik menjadi isu politik yang hanya menarik
ditawarkan ketika kampanye, tetapi gagal ditarik sebagai isu besar dan
fundamental yang harus ditangani secara komprehensif, apalagi sebagai basis dan
sandaran moral kehidupan berbangsa dan bernegara.
Minim konsensus
Beberapa hasil riset di beberapa negara
menunjukkan, jika persoalan pendidikan dikemas dalam balutan politik secara
serampangan, hasilnya adalah tumbuhnya situasi yang tidak seimbang dan tidak
konsisten menyangkut relasi di antara sesama politisi. Terlebih lagi politisi
dengan birokrasi serta birokrasi dengan masyarakat luas, terutama tentang ke
mana sebenarnya pendidikan akan diarahkan. Meskipun dalam delapan tahun
terakhir ini kita banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai
pendidikan, dalam praktiknya terjadi banyak overlapping dan
kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Gary K Clabaugh dan
Edward G Rozycki, 2006).
Problem masih banyaknya partai politik peserta
pemilu tahun ini pasti akan mengganggu banyak rencana kebijakan, apalagi jika
partai politik tidak memiliki platform yang jelas tentang roadmap pendidikan
Indonesia ke depan.
Karena itu, dibutuhkan konsensus antara birokrasi,
masyarakat, dan partai politik dalam bingkai dialog secara terbuka untuk
mencermati dan membuat rancangan program pembaruan pendidikan ke depan.
Kebutuhan akan konsensus akan menjadikan skema dan rencana pembangunan
pendidikan Indonesia menjadi lebih terang dan jelas. Begitu konsensus terjadi,
seluruh partai pendukung capres/cawapres tak akan lagi berhitung dari partai
mana kelak, misalnya menteri pendidikan berasal.
Salah satu agenda yang cukup penting untuk
dipetakan dalam konsensus ialah dualisme pendidikan umum dan agama, yang
meskipun peraturan dan perundang-undangannya telah ada, dalam praktiknya tak
cukup serius ditangani. Hal itu berimplikasi pada pembagian peran yang
terkadang tidak adil antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
Kementerian Agama.
Jika konsensus soal kehidupan beragama dan
aspek-aspek sosial, budaya, dan ekonomi kita telah jelas dalam rumusan
Pancasila, tidak demikian dengan arah implementasi pendidikan. Kedua
kementerian itu masih dibelenggu posisi mereka di hadapan undang-undang tentang
otonomi daerah; yang satu telah didesentralisasi, satunya lagi masih berporos
sentralistis. Hal itu cukup mengganggu para pengelola pendidikan di tingkat
daerah karena tak jarang dengan posisi tersebut, banyak pemerintah daerah
berlaku diskriminatif terhadap peserta didik tertentu.
Titik tolak konsensus soal pendidikan bisa
dilakukan berdasarkan besarnya persoalan (breadth of consensus) atau
berdasarkan kedalaman (depth) atau keseriusan sebuah persoalan (Debra
Viadero, 1986). Dalam konteks Indonesia, kedua pendekatan tersebut bisa
digunakan karena secara luas di Indonesia saat ini terdapat begitu banyak
partai politik yang katanya peduli terhadap persoalan pendidikan, tetapi dari
aspek kedalaman tak banyak partai politik melakukan kajian tentang
masalah-masalah fundamental pendidikan yang berbasis ruang belajar dan hubungan
sekolah dengan masyarakat (orangtua).
Di sisi lain, terbelahnya tanggung jawab program
pendidikan di dua kementerian mengindikasikan adanya kedalaman masalah
pendidikan di daerah, tetapi secara luas hal itu tidak memperoleh perhatian (concern)
dari partai politik. Jika dengan demokrasi kita belajar mengenai cara untuk
menghargai keragaman, soal kasus pengembangan pendidikan keragaman tersebut
harus dapat diminimalkan berdasarkan komitmen dan konsensus bersama.
Melacak isu dan mengembangkan pendekatan merupakan
bagian penting dari sebuah konsensus. Konsensus dalam bidang pendidikan sangat
diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectation) masyarakat
terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya,
dengan tidak lupa memberi mereka peran (task) untuk terlibat secara langsung
dalam memecahkan masalah tersebut.
Apa yang menjadi janji-janji para politikus dan
birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitor secara
bersama. Tinggal tugas dan peran para politikus, birokrat, dan masyarakat
terutama LSM untuk menunjukkan sumber daya (resource) yang memungkinkan
sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).
Dengan cara tersebut, mungkin pemilihan presiden ke depan akan memiliki nilai
tambah karena mereka akan menghargai peran serta masyarakat dalam pengambilan
keputusan.
Aspek lain dari konsensus yang juga penting ialah
menyepakati model evaluasi berkesinambungan yang tidak terputus meski menteri
pendidikan dan menteri agama datang silih berganti. Dalam perspektif manajemen
pendidikan Fenwick W English (2002), salah satu titik lemah
sistem pendidikan suatu negara ialah rendahnya perhatian dan riset serta
pendanaan bagi proses pemikiran berkelanjutan (continuous assessment)
yang komprehensif dan bertanggung jawab
Ahmad
Baedowi;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
MEDIA INDONESIA, 17 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi