Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

REFLEKSI mengenai ke mana arah pendidikan sejauh ini dibawa dan hendak menuju menjadi sangat penting untuk dikritisi. Pendidikan merupakan aspek penting bangsa. Bukan saja pendidikan menjadi wahana bagi penyadaran esensi, kesejatian, harga diri dan hak asasi, tetapi pendidikan juga menjadi kekuatan perubahan sebuah bangsa untuk merdeka lepas dari belenggu penjajahan. Tanpa pendidikan, sulit dipastikan bangsa ini sadar akan harga diri, yang selama lebih dari setengah abad dirampas penjajah.

Kesadaran itulah, yang mendorong para founding fathers berusaha mendidik bangsa dengan berbagai cara. Ada yang melalui pesantren, sekolah rakyat, sekolah Nahdlatul Ulama, Sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan sebagainya. Para founding fathers seperti Ki Hadjar Dewantara, Raden Ajeng Sartika, KH Hasyim As'ary, KH Ahmad Dahlan, dan sebagainya juga memperjuangkan kesetaraan pendidikan bagi rakyat Indonesia.

Pendidikan harus dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu, tanpa membedakan suku, bangsa, bahasa, status ekonomi/sosial, dan sebagainya. Buah dari perjuangan itu adalah kewajiban negara untuk mencerdaskan seluruh rakyat, seperti tertuang dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945.

Dalam pasal tersebut, juga ditegaskan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional minimal sebesar 20%, yang diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan begitu, tidak ada alasan bagi negara untuk tidak mencerdaskan rakyatnya. Sekali lagi, tugas konstitusi negara adalah mencerdaskan rakyatnya! Pertanyaannya kemudian adalah, apakah saat ini pemerintah telah mencerdaskan rakyatnya?

Problem pelik

Jika kita cermati, pemerintah belum serius melaksanakan amanat konstitusi. Benar, aneka kebijakan pendidikan dibuat seolah-olah hendak mencerdaskan rakyat. Namun, kenyataannya kebijakan pendidikan itu justru merampas hak asasi rakyat. Kebijakan pendidikan terkadang justru berpihak kepada golongan elite, pemilik modal, dan mereka yang memiliki status sosial tinggi. Lebih ironis lagi, kebijakan itu tidak jarang menciptakan tatanan feodal-feodal baru.

Kebijakan sekolah bertaraf internasional (SBI) misalnya, justru menimbulkan kesenjangan yang menganga. Hanya kalangan berduit yang bisa menikmati sekolah bermutu internasional. Meski kebijakan itu sudah dimentahkan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi bukan tidak mungkin akan muncul kebijakan serupa selama pemerintah sebagai pemegang kebijakan berkeyakinan bahwa pendidikan bermutu hanya bisa diwujudkan dengan modal dan biaya mahal. Bukankah sekolah-sekolah penganut pendapat ini sudah menjamur di negeri ini? Di level perguruan tinggi (PT) kasus serupa juga terjadi: komersialisasi pendidikan semakin nyata.

Dari sisi angka partisipasi sekolah (APS) di Indonesia masih terbilang rendah. Data Kemendiknas (2011) menyebut angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Adapun APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60%. Jika mengacu data Kemendiknas (2012), dari 3,7 juta lulusan SMP, yang melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Itu artinya ada lebih dari setengah juta lulusan SMP yang terlempar ke jalan. Kondisi lebih parah mungkin terjadi di daerah tertentu. Di Sulawesi Selatan, misalnya, APK tingkat SMA dan sekolah baru berkisar 53%. Ini berarti, dari dua anak berusia 16-18 tahun, ada satu anak yang tidak bersekolah.

Angka partisipasi untuk perguruan tinggi lebih rendah lagi, yakni 18,7%. Jumlah mahasiswa di Indonesia baru berkisar 4,8 juta orang. Padahal, jumlah anak usia belajar di perguruan tinggi berkisar 25 juta orang. Dengan demikian, ada puluhan juta pemuda Indonesia yang terpaksa menjadi tenaga kerja murah atau pengangguran.

Belum lagi persoalan infrastruktur: bangunan sekolah, fasilitas belajar, sarana transportasi sekolah, dan lain-lain. Data teranyar yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) setahun lalu menyebutkan, jumlah sekolah rusak di Indonesia mencapai lebih dari 140 ribu bangunan.

Yang menyita perhatian masyarakat baru-baru ini adalah karutmarut sistem evaluasi pendidikan dalam bentuk ujian nasional (UN). Tahun 2013 merupakan potret buram kegagalan pelaksanaan UN, dari keterlambatan pelaksanaan, kualitas hingga aroma korupsi yang kental pada tender pencetakan. Belum esensi UN yang sejatinya hanya menindas anak didik. Saya berkali-kali mengingatkan Kemendikbud (sejak namanya Kemendiknas), bahwa UN itu tidak lebih monster mengerikan yang selalu menyiksa anak didik (Agus Wibowo, 2008). UN diakui banyak pihak justru menindas, memenjara, dan merampas hak anak didik sehingga membuat mereka tersudut dalam pilihan sulit.

Belajar dari UN 2013, Mendikbud Mohammad Nuh, tidak cukup hanya dengan meminta maaf. Benar meminta maaf itu tindakan kesatria yang tinggi nilainya. Itu patut diteladani para pemangku pendidikan-bahkan para elite di negeri ini.

Namun, permintaan maaf itu jauh lebih tepat jika dibarengi dengan aksi nyata merumuskan format evaluasi pendidikan--yang lebih manusiawi ketimbang UN. Terkait dengan hal itu, sudah banyak usulan seperti evaluasi model portofolio atau rekam jejak anak didik selama mengikuti pendidikan (Ahmad Baedowi, 2013).

Model evaluasi portofolio menurut penulis jauh lebih adil karena melibatkan aspek proses yang dilalui anak didik, bukan sekadar ending pendidikan. Proses adalah aspek penting pendidikan. Dalam proses pendidikan itulah siswa dilatih sabar, tekun, dan tidak pantang menyerah. Dalam proses terjadi dinamika yang unik dan menarik, karena proses pendewasaan terbentuk. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang menghargai proses. Mereka terlalu lelah jika harus berproses sehingga lebih memilih jalan instan atau menerabas.

Ada lagi usulan agar UN diganti dengan penilaian yang diserahkan kepada tiap-tiap guru di sekolah, penilaian yang melibatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, penilaian berbasis kualitatif, dan sebagainya. Berbagai usulan format penilaian pendidikan itu, kesemuanya bertujuan membebaskan anak didik dari siksaan psikologis akibat UN. Mestinya, Mendikbud meresponsnya secara bijak, bukan berkukuh memperta hankan UN yang cacat bawaan sejak lahir.

Pemimpin berani

Terkait dengan karut-marut pelaksanaan UN 2013, Kemendikbud dalam waktu dekat akan menggelar konvensi nasional pendidikan. Mereka yang diundang dalam konvensi itu adalah para guru yang tergabung dalam organisasi profesi guru, pengamat pendidikan, dan internal Kemendikbud. Menurut Mendikbud, Mohammad Nuh (2013), konvensi ini dimaksudkan untuk mencari titik temu menyangkut berbagai pandangan mengenai UN, U UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dan berbagai masalah pendidikan lainnya. Melalui konvensi nasional ini juga diharapkan terjadi kesepakatan dalam sejumlah isu-isu nasional pendidikan sehingga ke depannya tidak akan ada lagi pro-kontra berkepanjangan mengenai isu-isu tersebut di dunia pendidikan.

Langkah mengadakan konvensi nasional pendidikan, patut disambut positif. Apalagi, jika dalam konvensi itu nanti bisa dirumuskan model evaluasi pengganti UN, upaya menghapus berbagai bentuk komersialisasi, dan arah pendidikan bangsa ke depan. Namun, jika tidak ada keberanian dari pemerintah melalui Mendikbud beserta jajarannya untuk melaksanakan hasil-hasil yang dicapai, konvensi tidak ada gunanya.

Nasib konvensi setali tiga uang dengan rembuk pendidikan nasional (rembuknas) yang belum lama ini dilaksanakan. Singkatnya, Mendikbud harus berani mengambil langkah `radikal' demi memperbaiki pendidikan, khususnya dalam meletakkan fondasi pendidikan bangsa yang lebih baik di akhir kepemimpinannya.

Pendidikan kita, butuh pemimpin yang berani. Bukan hanya berani melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang memihak rakyat, melainkan berani berseberangan dengan arus mayoritas pemodal demi mencerdaskan anak bangsa. Selain itu, sebagaimana Ki Hadjar Dewantara, Mendikbud ke depan harus berani Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Ajaran Ki Hadjar itu mengandung tiga hal penting, yang secara ringkas berupa aspek keteladanan, aspek inspirasi, dan aspek motivasi/ dorongan.

Aspek keteladanan jika di tafsirkan secara bebas artinya Mendikbud harus memberi keteladanan utama, tidak plinplan, tegas berkaitan dengan arah pendidikan bangsa, dan memberikan teladan untuk berkarakter mulia. Keteladanan menjadi penting direvitalisasi mengingat aspek itu kian luntur. Kian hari yang dipertontonkan adalah keteladanan minus pekerti dan jauh dari susila sehingga output pendidikan kian destruktif. Apa pun model manajemen pendidikan yang diterapkan jika minus keteladanan, jangan diharapkan keberhasilannya.

Aspek inspirasi, bahwa Mendikbud harus senantiasa menginspirasi atau sumber inspirasi. Ia harus menjadi sumber inspirasi bawahannya hingga ke level para guru dan anak didik. Inspirasi inilah yang akan menghidupkembangkan pendidikan bangsa. Tanpa inspirasi yang dibarengi imajinasi, dunia pendidikan akan kering. Sementara itu, insan pendidikan laksana robot-robot yang digerakkan motoriknya.

Aspek motivasi/dorongan bahwa Mendikbud seyogianya tidak pernah lelah memotivasi bawahannya hingga ke level para guru. Motivasi dan dorongan ini menjadi penting ketika pendidikan kita dihempas cobaan yang dahsyat. Ketika Mendikbud nanti mampu menjadi motivator ulung, dunia pendidikan akan tumbuh dinamis, sedangkan output-nya akan menjadi generasi dengan semangat dan mental baja.

Akhirnya, melalui momentum Hardiknas tahun ini, harus ada langkah berani dari pemerintah melalui Mendikbud beserta jajarannya. Karut-marut pendidikan bangsa hanya bisa diatasi dengan keberanian dari pemimpin. Dalam hal ini, keberanian pemerintah melalui Mendikbud menentukan arah pendidikan bangsa. Mau tetap membodohi dan menindas rakyat dengan aneka kebijakan yang tidak prorakyat, atau melaksanakan amanat para bapak bangsa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencerdaskan rakyat. 

Agus Wibowo   
Magister Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 17 Juni 2013



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi