Membaca dan merenungkan semua tulisan Driyarkara
tentang pendidikan, kita bisa menangkap spirit pendidikan. Dalam pandangan dia,
yang juga pendiri Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma pada
1955, mendidik berarti memanusiakan manusia (Sudiarja dkk, 2006:364).
Bila insan yang mendidik itu adalah guru atau orang
tua, dan peserta didik adalah anak-anak, dari usia TK hingga SMA/ SM maka
mendidik berarti memanusiakan manusia muda. Artinya, mereka yang belum menjadi
’’manusia seutuhnya’’ dimanusiakan: dibimbing, dibina, dan dibantu, hingga
mencapai pribadi utuh.
Banyak negarawan Angkatan 1945, termasuk Bung
Karno, mengenal baik pribadi Driyarkara ataupun spirit pendidikan yang
dinyalakan. Pertanyaannya, masihkah spirit itu menyala, dan menerangi
lingkungan sekitar?
Dalam visitasi akreditasi prodi di Universitas
Sanata Dharma (USD) Yogyakarta beberapa waktu lalu, seorang asesor dari BAN PT
bertanya,’’ Di mana spi-rit pendiri Sanata Dharma se-karang ini
dimanifestasikan’’? Setelah ia mencermati, kesungguhan Sanata Dharma mengemban
amanat pendiri terlihat jelas dalam rumusan visi misi universitas, fakultas
keguruan (FKIP), ataupun prodi.
Substansi gagasan pemanusiaan manusia muda terlihat
jelas sehingga bisa menjadi api atau roh yang menghidupkan spirit
keguruan/kependidikan di Universitas Sanata Dharma, sebagaimana pada
1970-1980-an yang menyala besar di tengah sejumlah IKIP di
Indonesia. Secara teoritis tugas memanusiakan manusia muda, entah bagi
guru/dosen sebagai pendidik di lingkungan sekolah, ataupun bagi orang tua
sebagai pendidik di lingkungan keluarga, mudah dipahami. Apakah dalam
kenyataannya mudah dilaksanakan, lebih-lebih terhadap anak-anak zaman sekarang?
Fenomena yang terjadi adalah kebanyakan orang tua
merasa telah mendidik anak jika telah menyekolahkan, memberikan bekal uang, dan
membelikan perlengkapan sekolah. Perbuatan yang secara personal dilakukan
terhadap anak bisa jadi justru jauh dari kategori ’’mendidik’’ sebagaimana
diinginkan Driyarkara. Di sekolah, kebanyakan guru merasa telah mendidik
murid jika telah melaksanakan tugas mengajar di kelas dengan terus-menerus
berbicara, menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran. Perbuatan yang secara
personal dilakukan terhadap tiap murid, entah di kelas atau di luar kelas, bisa
jadi justru ’’tidak mendidik’’.
Tidak Berwatak
Dalam praksis pendidikan zaman sekarang ini,
terutama lingkup pendidikan formal, tujuan mendidik untuk memanusiakan manusia
muda acap dikalahkan oleh kepentingan (prioritas) untuk membekali peserta didik
dengan pengetahuan kognitif dan keterampilan pragmatis. Hasilnya adalah
orang-orang yang cerdas dan ahli tetapi tidak berwatak atau tidak
bermoral. Keberhasilan pendidikan formal acap lebih diukur berdasarkan
rata-rata IPK atau NEM. Penguasaan berbagai keterampilan praktis, seperti
menguasai ICT, Bahasa Inggris, dan bidang ilmu yang digeluti seringkali lebih
diutamakan. Padahal moral (kesusilaan) merupakan aspek paling hakiki dari
kemanusiaan.
Di lain sisi, pendidikan yang hanya menitikberatkan
pada pengembangan aspek moral belumlah cukup membuat lulusan bisa berkiprah,
ambil bagian dalam proses pengembangan masyarakat. Watak yang baik saja belum
cukup untuk menjalani hidup dan berfungsi dengan baik di masyarakat mengingat
tujuan pendidikan adalah ketercapaian manusia yang utuh. Tantangan terbaru
bagi pendidikan terkait era internet adalah mungkinkah pencapaian tujuan
pendidikan berjalan efektif jika proses mendidik dilakukan tanpa interaksi
personal yang intensif?
Semisal peserta didik hanya belajar lewat internet
dengan terus-menerus ’’bertanya’’ kepada Google, tanpa pernah secara personal
berinteraksi dengan pribadi manusia lain, dari hati ke hati. Mungkinkah tujuan
pendidikan untuk mencapai manusia utuh yang dewasa susila seperti dikemukakan
Driyarkara benar-benar bisa tercapai?
YB
Adimassana ;
Dosen Prodi PGSD Universitas Sanata
Dharma (USD) Yogyakarta
SINAR MERDEKA, 17 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi