Tujuh
perguruan tinggi negeri (PTN) sudah ditetapkan sebagai badan hukum milik negara
(PTBHMN) yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut
Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga.
PTBHMN
disebut PTN badan hukum (PTNBH) oleh UU Pendidikan Tinggi 2012 (UU Dikti 2012).
Kini sejumlah pihak menghalangi pembentukan PTNBH baru dengan mengujikan UU
Dikti 2012 di Mahkamah Konstitusi (perkara Nomor 103/ PUU-X/2012, Nomor
111/PUUX/ 2012, dan Nomor 033/PUUXI/ 2013). Pengujian ini juga dipersepsikan
akan membubarkan PTNBH yang sudah ada. Tulisan ini menyajikan pendapat lain.
Semangatnya adalah menghormati ruh dan badan intelektualitas mengembara di
relung-relung civil society bergerak bebas di ruang publik.
Otonomi
Kampus
Status
badan hukum bagi PTN adalah model kelembagaan untuk mewujudkan otonomi kampus
yang dijanjikan Orde Baru, namun tak direalisasikan. Dengan UU Sistem
Pendidikan Nasional 1989 Orba mengakui kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan dalam penyelenggaraan PT. Otonomi pengelolaan
kelembagaan PT juga diakui.
Otonomi
pengelolaan PT diwujudkan setelah Orba berakhir, diawali dengan penerbitan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/1999 tentang Penetapan PTN sebagai Badan
Hukum. Selanjutnya, sebagai contoh, UI ditetapkan sebagai badan hukum dengan PP
Nomor 152/2000 dan Unair dengan PP Nomor 30/2006. UU Sistem Pendidikan Nasional
2003 meneruskan kebijakan otonomi pengelolaan kelembagaan PT, tetapi
menyeragamkan bentuk “badan hukum pendidikan”.
Penyeragaman
itu dirinci dalam UU Badan Hukum Pendidikan 2009, termasuk bagi PT swasta yang
didirikan badan hukum. MK membatalkan keseluruhan UU BHP dan penjelasan Pasal
53 (1) UU Sisdiknas 2003 (Putusan Nomor 11, 14, 21, 126, dan 136/PUU-VII/2009).
Tetapi, MK mempertahankan frasa “badan hukum pendidikan” pada Pasal 53 (1)
dalam makna “sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk
badan hukum tertentu”. UU Dikti 2012 melanjutkan kebijakan otonomi kampus.
Pertama,
UU Dikti menderivasikan kebebasan berpikir dan berpendapat sebagai otonomi
akademik dan otonomi pengelolaan PTN serta memungkinkan PTN berbadan hukum.
Kedua, UU Dikti menjamin tiga otonomi akademik (kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan) dan dua otonomi pengelolaan PTN
(pengelolaan akademik dan pengelolaan nonakademik). Otonomi pengelolaan
akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tri
Darma Perguruan Tinggi.
Otonomi
pengelolaan nonakademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional dan
pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, maupun sarana dan
prasarana. Ketiga, otonomi pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan statuta
masing-masing PT. UU Dikti mengakui keberadaan PTS dan memberikan pilihan bagi
PTN. Setelah MK membatalkan UU BHP, otonomi PTS dilaksanakan menurut peraturan
dari badan hukum pembentukannya masing-masing.
PTN
diberi pilihan sebagai satuan kerja Kemendikbud, PTN badan layanan umum, atau
PTNBH. Statuta PTN ditetapkan dengan peraturan menteri. Statuta PTNBH
ditetapkan dengan PP. Keempat, pembatalan UU BHP 2009 dan penjelasan Pasal 53
(1) UU Sisdiknas 2003 oleh MKbukanlah pembatalan dasar hukum penetapan PTN
sebagai badan hukum maupun pembubaran PTN yang telah berbadan hukum. Karena
itu, UU Dikti menegaskan bahwa PTBHMN ditetapkan sebagai PTNBH dan harus
menyesuaikan dengan UU Dikti paling lambat Agustus 2014 (Pasal 97 huruf c).
Khitah
Yogya
PTNBH
adalah subjek hukum di bidang pendidikan tinggi yang memiliki hak dan kewajiban
tertentu, harus berprinsip nirlaba, ditugaskan memberikan layanan pendidikan
yang terjangkau masyarakat, bukan yayasan atau badan usaha seperti koperasi dan
perseroan terbatas.
Status
PTNBH dapat dibandingkan dengan kebijakan Pemerintah RI (Yogyakarta) menjelang
Indonesia kembali berbentuk negara kesatuan (17/8/1950) dan Pemerintah RI akan
kembali beribu kota di Jakarta. Saat itu Acting Presiden RI (Yogyakarta) Assaat
mengatur bahwa UGM dapat berstatus badan hukum “masyarakat hukum-kepentingan”
(Belanda: publiekrechtelijke doel corporatie) yang ditetapkan dalam
PP. UGM yang berbadan hukum itu diawasi oleh “Dewan Kurator” yang diangkat oleh
menteri pendidikan.
UGM
sebagai suatu badan otonom dapat mempunyai keuangan dan milik sendiri serta
mengatur rumah tangga dan kepentingan sendiri (PP Nomor 37/1950 tanggal
14/8/1950). Sumber keuangan UGM berasal dari APBN, uang kuliah dan uang ujian
yang dibayar mahasiswa, serta dari trust fund yang dibentuk oleh atau dengan
bantuan pemerintah. Menteri pendidikan dapat mengizinkan yayasan atau badan
hukum lain menyelenggarakan pendidikan di UGM setelah memperoleh pertimbangan
UGM.
Menteri
pendidikan juga mewajibkan UGM membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa yang tak
mampu secara ekonomis, tetapi diperkirakan dapat menyelesaikan pendidikan pada
waktunya. Apabila UU Dikti dibatalkan, PTNBH tidak kehilangan pijakan hukum dan
tidak bubar. Status badan hukum PTNBH sudah selesai ditentukan dengan
masing-masing PP penetapannya.
Distribusi
kekuasaan negara tidak memberikan fungsi kepada pemerintah atau pembentuk UU
untuk membubarkan badan hukum tanpa putusan pengadilan. Bukan wewenang MK pula
melarang negara untuk membentuk, mengesahkan, atau mengatur badan hukum.
Pembatalan UU Dikti justru menghilangkan rambu-rambu bagi PTNBH.
Mohammad
Fajrul Falaakh ;
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta
KORAN SINDO, 18 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi